Perempuan berperan dalam semua aspek kehidupan dan masyarakat. Namun, kuatnya budaya patriarki menghambat sehingga tidak merdeka menentukan masa depannya, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Budaya patriarki yang langgeng di tengah masyarakat sangat memengaruhi dan membatasi kebebasan perempuan dalam mengambil keputusan terkait dengan hidupnya. Hingga kini, keputusan yang diambil sejumlah perempuan cenderung dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk keputusan terkait dengan hak kesehatan seksual dan reproduksinya.
Kondisi tersebut membuat perempuan tetap berada dalam ruang yang terbatas sehingga tidak memiliki otonomi atas tubuhnya dan masa depannya. Selain minim akan pengetahuan terkait arti pentingnya kesehatan reproduksi, sejumlah perempuan tidak mampu mengakses informasi, pendidikan, dan ekonomi, termasuk akses layanan kesehatan.
”Perempuan memiliki peranan penting dalam mengambil keputusan dalam segala aspek kehidupannya. Namun, faktanya perempuan masih belum sepenuhnya benar-benar merdeka dalam setiap pilihannya,” ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Herna Lestari pada Pemutaran Video Kampanye dan Talkshow ”Saatnya Perempuan Memutuskan” yang digelar oleh YKP, Kamis (29/4/2021), secara daring.
Mereka tidak bisa mengakses kontrasepsi karena tidak ada izin dari pasangan atau suaminya.
Ini terjadi karena norma jender yang tidak setara dan tidak menguntungkan posisi perempuan dalam bernegosiasi seputar organ reproduksi, khususnya yang mereka miliki. Selain itu, kondisi tersebut terjadi karena langgengnya norma yang menentukan sikap, peran, dan relasi antaranggota dari struktur masyarakat yang sifatnya hierarki membuat kedudukan perempuan terpinggirkan.
Relasi kuasa yang sangat besar memengaruhi setiap keputusan perempuan atas dirinya. Perempuan yang merupakan pusat reproduksi justru terkesan dipisahkan dari tubuhnya. Sistem reproduksi yang mereka miliki diatur oleh orang lain, yakni suami, orangtua, masyarakat, penafsiran agama, bahkan oleh negara.
Herna, mengutip hasil survei DKT Indonesia (layanan informasi mengenai permasalahan kesehatan reproduksi) tahun 2019 terhadap 891 perempuan di 7 kota besar Indonesia, menemukan masih ada sekitar 10 persen perempuan yang sesungguhnya belum ingin punya anak lagi. Namun, mereka tidak bisa mengakses kontrasepsi karena tidak ada izin dari pasangan atau suaminya.
”Padahal, perempuan berkontribusi melahirkan generasi bangsa yang nantinya akan melahirkan generasi berkualitas. Perempuan berhak untuk menentukan kapan dia akan punya anak, berapa jumlah anak yang diinginkan, jarak kelahiran anak satu dengan anak yang lainnya, serta kapan untuk tidak punya anak lagi,” papar Herna.
Di tangan suami
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Leny Nurhayanti Rosalin, yang menjadi pembicara kunci pada acara tersebut, menegaskan, isu kesehatan perempuan erat berkaitan dengan isu jender. Hingga kini masih banyak persoalan yang dihadapi perempuan yang terkait akses, partisipasi, dan kontrol atas kesempatan.
Misalnya, hingga kini akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan kurang karena keputusan untuk memanfaatkan pelayanan ada di tangan suami/keluarga dan layanan yang terkait dengan pencegahan HIV/AIDS. Dari sisi partisipasi, hingga kini masih kurang dukungan suami/keluarga pada kesehatan ibu. Perempuan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan program kesehatan dalam keluarga.
Dari sisi kontrol, sebagian suami/keluarga masih beranggapan bahwa mempunyai anak laki-laki merupakan penerus keturunan. Perempuan tidak mempunyai cukup kontrol/wewenang untuk memilih pelayanan atau menggunakan uang bagi kesehatannya sendiri, dan masih bergantung kepada suami atau laki-laki, bahkan keluarga lainnya (orangtua).
”Jadi, isu kesehatan perempuan erat kaitan isu jender, terutama dalam upaya mengurangi angka kematian ibu yang masih cukup tinggi,” ujarnya.
Dalam unjuk bincang yang dipandu Budhis Utami, Deputi Program Institut KAPAL Perempuan, hadir juga berbicara Satyawanti Mashudi (Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan), Kalis Mardiasih (aktivis perempuan), Ika Ayu (aktivis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi dan Save All Women and Girls, serta Rika Rosvianti (founder perEMPUan).
Para pembicara juga mengungkapkan betapa masih terjadi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan pun belum memiliki otonomi atas tubuhnya, termasuk untuk menikah pun dipengaruhi orang lain.
”Keputusan yang paling dianggap sulit dialami perempuan ketika dia sebenarnya tidak berkeinginan menikah, tetapi kemudian tekanan menjadi besar, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun lingkungannya. Karena, mereka selalu mengatakan perempuan itu kodratnya menikah, memiliki keturunan, dan seterusnya,” ujar Satyawanti.