Suara kaum perempuan di Papua kerap terabaikan dalam proses pembangunan. Bahkan, mereka rentan menjadi korban kekerasan. Padahal, perempuan bisa berperan penting dalam mewujudkan perdamaian di daerah itu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan menjadi kunci dalam mencari solusi atas berbagai konflik yang terjadi di Papua. Bahkan, suara perempuan menentukan Papua sebagai tanah damai. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan di Tanah Papua seharusnya dilakukan melalui perempuan.
”Perempuan di semua komunitas, suku, adat yang ada di Papua berperan sebagai agen perdamaian. Dalam situasi Papua saat ini sebenarnya kehadiran perempuan penting karena bicara dari lubuk hati paling dalam,” ujar aktivis perempuan Papua, Sofia Maipauw (Poppy), dalam Diskusi ”Perempuan Papua Bicara” (Voicing of Voiceless) yang digelar PIKI Salemba 10 secara daring, Rabu (30/6/2021).
Selain Poppy, tampil berbicara Antie Solaiman (Ketua Pusat Studi Papua-Universitas Kristen Indonesia) dan Pendeta Anike Merino (Sekretaris Komisi Keadilan dan Keutuhan Ciptaan, GKI Tanah Papua, Klasis Port Numbay). Dua perempuan penyintas asal Papua menyampaikan testimoni, yakni Jessie Hembring (mahasiswa asal Papua) dan Raga Kogeya (sukarelawan pendamping perempuan pengungsi, penyintas kekerasan militer).
Poppy yang pernah menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua periode 2009-2014 menegaskan, pada masa awal ketika otonomi khusus (otsus) mulai dilaksanakan di Papua, sebenarnya ada harapan besar dari perempuan akan sebuah perubahan yang lebih baik. Sebab, perempuan bisa menyuarakan hal-hal yang positif.
”Harapan ada cahaya baru yang dapat menolong dan mengangkat kami kaum perempuan dari persoalan kekerasan hidup yang kami alami, baik kekerasan domestik maupun kekerasan oleh negara melalui kebijakan yang mengikat perempuan,” katanya.
Harapan ada cahaya baru yang dapat menolong dan mengangkat kami kaum perempuan dari persoalan kekerasan hidup yang kami alami.
Otsus dipandang menjadi era kebangkitan kaum perempuan Papua untuk menyuarakan hak-hak yang terpasung oleh kebijakan selama ini, mulai dari hak pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga politik. Apalagi, Undang-Undang Otsus mengamanatkan pemerintah wajib memberdayakan perempuan.
Sebagai korban
Akan tetapi, dalam implementasinya tidak berjalan. Perempuan justru berada dalam posisi korban. Eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan perempuan kehilangan akses terhadap sektor ekonomi. Kesempatan meraih pendidikan di luar Papua pun hanya diberikan kepada keluarga yang mampu.
Begitu pula dari sisi politik, stigma separatis dilekatkan kepada perempuan. Suara perempuan terbungkam ketika berbicara kebenaran. ”Ketika di ujung mulut bibir kami bicara tentang kebenaran, keadilan, di atas tanah leluhur kami, selalu dilihat sebagai kelompok separatis. Akhirnya membunuh daya demokrasi kami, yang seharusnya bangkit di era otonomi khusus,” tuturnya.
Situasi yang dialami kaum perempuan Papua juga digambarkan Anike. Ia mencontohkan saat menangani sekitar 180 pengungsi Nduga, anak-anak maupun orang dewasa menderita penyakit kulit. Sekitar tiga tahun berlalu, anak-anak pengungsi tidak bersekolah. ”Harus ada pemulihan trauma. Jika dibiarkan terus, trauma akan terus terbawa,” ujarnya.
Raga menceritakan bagaimana praktik kekerasan terjadi di depan mata. Dia menyaksikan adik sepupunya yang masih remaja diperkosa oknum tentara hingga hamil dan melahirkan. ”Kekerasan tidak pernah berhenti, dari tahun ke tahun terus berjalan. Kami tidak pernah aman. Saya pernah disiksa di tahanan,” ujarnya.
Antie Solaiman yang pernah tinggal di Papua juga menyampaikan pengalamannya ketika menyaksikan berbagai kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan perempuan dewasa di Papua. Anak-anak perempuan hamil pada usia 13-14 tahun setelah mengalami kekerasan seksual dari oknum tentara dan diiming-imingi telepon genggam. ”Anak-anak perempuan setiap tahun ada saja yang melahirkan. Dalam setahun bisa sampai tujuh anak melahirkan,” ungkap Antie.
Suara kepedihan juga disampaikan Jessie saat berjuang keluar dari Papua, datang ke Jakarta dengan modal nekat. Dia akhirnya bisa menempuh pendidikan di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dengan bantuan Antie dan beberapa dosen. ”Saya hanya modal nekat, modal iman,” ujar Jessie.