Indonesia kehilangan sosok pemikir yang kritis sekaligus aktivis gerakan sosial, Toeti Heraty Noerhadi. akademisi yang juga penyair dan budayawan ini menjelajahi dunia intelektual dan sosial hingga akhir hayat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Toeti Heraty Rooseno
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar purnabakti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Toeti Heraty Noerhadi (87), berpulang pada Minggu (13/6/2021). Jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, setelah disemayamkan di kediamannya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Toeti meninggal pada pukul 05.10 WIB karena sakit. Sebelum tutup usia, ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Care (MMC), Jakarta.
Toeti merupakan sosok cendekiawan, dosen, budayawan, dan penyair yang menaruh perhatian pada isu kesetaraan jender. Ia menjadi salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, organisasi nirlaba yang memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak peremuan. Yayasan Jurnal Perempuan didirikan pada tahun 1995.
Menurut catatan Universitas Indonesia (UI), Toeti merupakan sarjana muda kedokteran pada 1955. Ia kemudian belajar psikologi dan lulus pada 1962. Toeti melanjutkan studinya di bidang filsafat dan meraih gelar sarjana dari RIjk Universiteit di Belanda pada 1974. Pada 1979, ia menyandang gelar doktor filsafat dari UI.
Kompas/Wawan H Prabowo
Toeti Heraty
Toeti lalu mengajar di Fakultas Sastra UI. Ia turut terlibat dalam pendirian program studi filsafat di fakultas tersebut dan menjadi Ketua Jurusan FIlsafat UI. Ia bahkan terlibat dalam pengembangan filsafat UI selama lebih kurang 40 tahun (Kompas, 14/2/2016).
Selanjutnya Toeti menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Bidang Studi Filsafat UI. Pada 1994, Toeti dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra UI. Ia juga pernah menjadi rektor di Institut Kesenian Jakarta dan ketua bagi Dewan Kesenian Jakarta periode 1982-1985.
”Universitas Indonesia berduka dan kehilangan atas kepergian Prof Dr Toeti Heraty, seorang guru besar yang akan dikenang sebagai dosen dan pendidik yang berdedikasi,” kata Kepla Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI melalui keterangan tertulis.
Toeti juga dikenal sebagai penyair kontemporer. Karyanya antara lain berangkat dari pandangan feminisme dan pemahaman akan suatu isu. Toeti yang lahir pada 27 November 1933 menulis puisi sejak muda. Pada 1966, ia mengirim puisi-puisinya ke majalah Horison. Puisinya terbit pertama kali di Horison pada awal tahun 1967. Puisinya juga dimuat di Sastra dan Budaya Jaya. Toeti kemudian dikenal sebagai perempuan penulis dan mendapat perhatian kritikus sastra (Kompas, 14/2/2016).
Kompas/Wawan H Prabowo
Para tokoh nasional (dari kiri ke kanan) Taufiequrahman Ruki, Albert Hasibuan, Bivitri Susanti, Emil Salim, Ismid Hadad, dan Toeti Heraty memberikan keterangan kepada para jurnalis di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (3/10/2019). Mereka menyampaikan dukungan dan mendorong Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu sebagai koreksi atas Revisi UU KPK.
Ia juga menulis sejumlah buku. Beberapa di antaranya Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu-Fragmen Autobiografi; Aku dalam Budaya: Telaah Teori dan Metodologi Filsafat Budaya; Sajak-sajak 33; dan Transendensi Feminin: Kesetaraan Gender Menurut Simone de Beauvoir.
Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Nasir Tamara mengatakan, Toeti merupakan tokoh yang berjasa menjembatani penulis Indonesia dengan luar negeri. Itu berkaitan dengan kemampuan Toeti berbahasa Inggris, Belanda, dan Perancis.
”Kemampuan itu membuka pintu antara Indonesia dan dunia Barat. Ia menjadi jembatan sejak dulu hingga akhir hayatnya. Ia juga tidak pelit mengenalkan penulis-penulis Indonesia dengan penulis luar negeri,” kata Nasir saat dihubungi terpisah.
Nasir mengenang Toeti sebagai sosok yang sabar dan tidak ragu membagi ilmu. Toeti kerap memberikan rekomendasi buku-buku kepada penulis untuk mengasah kemampuan mereka serta mendidik para penulis.
Toeti merupakan tokoh yang berjasa menjembatani penulis Indonesia dengan luar negeri. Itu berkaitan dengan kemampuan Toeti berbahasa Inggris, Belanda, dan Perancis.
Toeti yang sebelumnya menjabat sebagai salah satu Dewan Penasihat Satupena juga dikenal sebagai orang yang pemikirannya terbuka dan bicaranya gamblang. Nasir memandang Toeti sebagai rekan diskusi yang bisa diandalkan.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Guru Besar purnabakti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Toeti Heraty Noerhadi (87), meninggal pada Minggu (13/6/2021). Jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat.
”Indonesia kehilangan tokoh besar di bidang kebudayaan, pemikiran, dan penulisan. Entah apa akan ada gantinya. Namun, kami akan meneruskan semangat beliau,” katanya.
Produktif
Toeti pun masih produktif di usianya yang ke-80-an. Ia menulis beberapa buku, seperti Lika-Liku Dasawindu dan Dialog dengan Kematian. Keduanya terbit pada 2014.
Menurut Nasir, semangat Toeti merupakan antitesis dari narasi umum tentang lanjut usia (lansia), yakni bahwa lansia bukan saatnya lagi bekerja. Nasir memandang Toeti sebagai sosok pekerja keras dengan semangat hidup yang tinggi.
Pada 2013, saat merayakan ulang tahun ke-80, Toeti mengatakan bahwa ia merasa betul-betul bebas melakukan apa pun. Ia tidak mau didikte orang. “For me, life begins at 80,” tuturnya (Kompas, 14/2/2016).