Hentikan Tayangan Sinetron yang Melanggengkan Perkawinan Anak
Penayangan sinetron yang mempertontonkan praktik poligami dengan pemeran masih berusia anak menuai kecaman. Hal itu dinilai melanggengkan dan memonetisasi praktik perkawinan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Aktivis melakukan aksi damai Gerakan bersama Stop Perkawinan Anak di Jawa Timur di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Kecaman dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat terus bergulir atas tayangan sinetron ”Suara Hati Istri” di sebuah televisi swasta. Tayangan yang mempertontonkan pemeran Zahra, aktris berusia 15 tahun yang memerankan istri ketiga dari lelaki berusia 39 tahun, dinilai tidak sejalan dengan upaya pencegahan perkawinan anak.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk segera bertindak, serta menghentikan sementara tayangan itu dan memberikan sanksi berat kepada rumah produksi Mega Kreasi Films dan jaringan penyiaran Indosiar yang memproduksi dan menayangkannya.
”Kami meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk menginvestigasi tayangan tersebut dan memberikan perlindungan kepada aktris anak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut, atas dampak produksi yang telah berlangsung maupun dampak dari pemberitaan media,” ujar Riska Carolina, mewakili Kompaks, Rabu (2/6/2021).
Menurut Kompaks, tayangan ”Suara Hati Istri” di Indosiar melanggengkan dan merupakan monetisasi praktik perkawinan anak. Sebab, sesuai Undang-Undang Perkawinan No 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, batas usia minimal perkawinan anak di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
Kekerasan berbasis jender
”Penayangan sinetron ini telah melanggengkan praktik perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis jender dan momok bagi banyak anak perempuan di Indonesia,” ujar Riska.
Oleh karena itu, Lembaga Sensor Film juga diminta untuk bekerja secara kritis, benar, dan bertanggung jawab atas penayangan sinetron tersebut. Kompaks menuntut jaringan penyiar Indosiar untuk menghentikan sementara penayangannya, serta menarik konten promosi yang menayangkan cuplikan adegan-adegan dari sinetron tersebut dari kanal Youtube Indosiar ataupun platform lain yang digunakan sebagai kanal promosi.
Penayangan sinetron ini telah melanggengkan praktik perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis jender dan momok bagi banyak anak perempuan di Indonesia.
Sebaliknya, jaringan televisi terkait diminta memproduksi dan menayangkan konten edukatif terkait dengan isu perkawinan anak yang tidak melanggengkan bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender tersebut.
Dari penelusuran Kompaks, sinetron ”Suara Hati Istri” telah mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak. Bahkan, kekerasan seksual terhadap anak dengan promosi yang dilakukan melalui kanal Youtube Indosiar, yakni penggunaan judul clickbait pada salah satu episodenya, ”Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta! Istri Pertama & Kedua Panas? | Mega Series SHI-Zahra Episode 3”.
Tayangan dan promosi dari sinetron tersebut juga dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditujukan untuk kegiatan penyelenggaraan penyiaran baik TV maupun radio di Indonesia, yakni Pasal 14 Ayat 2 mengenai Perlindungan Anak berbunyi, ”Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.”
KPI segera rapat
Menanggapi hal tersebut, Ketua KPI Agung Suprio menegaskan pihaknya sudah mendapat informasi dan pengaduan masyarakat terkait tayangan tersebut. Pada Rabu (2/6/2021), KPI akan menyelenggarakan rapat untuk membahas hal tersebut.
”Mekanismenya, kami akan melakukan verifikasi karena kami punya tim pemantauan yang bekerja 24 jam. Kami dalam membuat keputusan, apalagi terkait sanksi atau hukuman, harus dengan bukti yang kuat, tidak bisa dibantah. Jadi tidak semata-mata karena viral,” ujar Agung.
Selanjutnya, jika tayangan itu terkait perkawinan anak, hal tersebut dinilai menyalahi UU Perkawinan karena batas usia perkawinan bukan 15 tahun. KPI tentu saja mengakomodasi setiap perundang-undangan yang berlaku.
”Ini yang tidak boleh tayang kalau kemudian melanggar UU Perkawinan,” kata Agung seraya memastikan setelah rapat dilakukan akan ada keputusan dari KPI.