Ketika Film Jadi Sarana Kampanye Stop Perkawinan Anak
Oleh
·3 menit baca
Jamilah (16) masih duduk di kelas I SMA di daerah Lombok Barat ketika memutuskan menikah (merariq)dengan Ismail (28). Pemuda di desanya itu merebut hatinya dengan cara selarian (kawin lari). Guru Jamilah meminta kepala dusun setempat agar membatalkan pernikahan adat itu, tetapi tidak berhasil karena Ismail sudah menyogok kepala dusun.
Pernikahan berlangsung tanpa ada dokumen apa pun. Jamilah putus sekolah dan menjadi ibu rumah tangga. Karena masih anak-anak dan tidak banyak mengerti urusan rumah tangga, Jamilah sering dimarahi ibu mertuanya. Dia juga dipukuli suaminya gara-gara tidak bisa membuat kopi untuk tamu, yang ternyata jaringan perdagangan orang (TPPO) yang berkedok agen pengiriman tenaga kerja wanita ke Arab Saudi ilegal. Ismail setuju mengirim Jamilah ke Arab Saudi karena mendapat uang dari orang yang berkedok agen TKW.
Ketika Ismail menyampaikan niatnya kepada Jamilah, ternyata Jamilah menolak. Jamilah pun dipukuli Ismail dan tetap dipaksa berangkat ke Arab Saudi. Saat Ismail menelepon dan menyatakan istrinya siap berangkat, Jamilah yang mendengar percakapan tersebut langsung kabur dari rumah Ismail, tetapi terjatuh di dekat rumah. Film diakhiri dengan penyesalan Ismail sebelum akhirnya menceraikan Jamilah.
Kisah ini tertuang dalam film Bahaya Merariq Kodeq. Film perkawinan anak ini dibuat Forum Pemuda Peduli Pendewasaan Usia Perkawinan (FPP PUP) Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Pemutaran film itu merupakan serangkaian acara Konferensi dan Pentas Seni Anak Muda Membawa Perubahan, Selasa (16/1), di Gedung Sangkaring, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Pemutaran film dilakukan selama dua hari, pada acara yang mengusung tema ”Ciptakan Ruangmu, Ciptakan Perubahanmu: Anak Muda Bisa Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan”. Kemarin, hari pertama, Senin (15/1), diputar film berjudul Istrimu Budakmu karya anak-anak muda di Akapela.
Disambut antusias
Kedua film itu ditonton para siswa, mahasiswa, dan perwakilan organisasi kepemudaan di NTB yang hadir dalam acara yang digelar Oxfam (The Oxford Committee for Famine Relief) Indonesia bekerja sama dengan Aliansi Kerukunan Pemuda Lintas Agama (Akapela), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan NTB, dan Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) NTB.
Pemutaran film itu menjadi ajang kampanye gerakan stop perkawinan anak di NTB.
Apalagi sebagian isi film Bahaya Merariq Kodeq diangkat dari kisah nyata yang dialami Rizal alias Ceper (32). Dia adalah anggota FPP PUP yang menikahi istrinya, Mubarratin, saat berusia 16 tahun. ”Saya punya anak perempuan tiga tahun, saya enggak ingin dia mengalami nasib yang sama dengan ibunya,” ujar Rizal yang tampil sebagai narasumber dalam dialog ”Bahaya Perkawinan Anak” yang juga menghadirkan Mentari Novel (Duta Perkawinan Anak Nasional) dan Hazmita Nurzakia (Forum Anak Kabupaten Gowa).
NTB adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak relatif tinggi. Data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB tahun 2015 menunjukkan, 34,9 persen perempuan NTB menikah pada usia 10-19 tahun (Kompas, 23/4/2016). (SON/RUL)