Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia Tak Wajib, Peraturan Pemerintah Diusulkan Dicabut
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standardisasi Nasional Pendidikan tidak mencantumkan Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah/pelajaran wajib.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Tidak tercantumnya mata kuliah/pelajaran Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standardisasi Pendidikan Nasional mengundang protes. Kebijakan yang tertuang dalam peraturan pemerintah itu dinilai tidak menghormati dasar negara dan pemersatu bangsa.
Dalam pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standardisasi Pendidikan Nasional tertulis, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa. Sementara pada pasal 35 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam pasal 40 ayat (2) PP No. 57/2021 juga tertulis, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan/Kejuruan, serta Muatan Lokal.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin saat dihubungi Kamis (15/4/2021), di Jakarta, mengatakan, prinsip hukum PP seharusnya sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan UU. Jika ada PP tidak sesuai atau bertentangan dengan UU, maka PP itu harus segera dicabut atau direvisi.
Pancasila merupakan dasar negara, sedangkan Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional dan pemersatu bangsa. Karena itulah, Komarudin berpandangan, dua mata kuliah itu seharusnya tetap dicantumkan dalam PP No. 57/2021.
"Dari sisi proses penyusunan regulasi, kami menyayangkan hal itu terjadi. Saya yakin, dalam tim penyusunan terdapat banyak ahli yang terlibat dan menguasai materi, baik aspek pendidikan maupun hukum," ujar dia.
Menurut Komarudin, proses penyusunan sebuah regulasi, termasuk PP biasanya melalui diskusi dan debat panjang mulai dari pasal per pasal hingga ayat per ayat. Demikian pula, proses sinkronisasi dan harmonisasinya.
Koordinator Bidang Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU Circle, Ahmad Rizali, secara terpisah mengatakan, dari sisi konsep, PP No. 57/2021 lebih baik daripada PP sebelumnya, yaitu PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Namun, sebagai regulasi, isi dalam PP No. 57/2021 harus dikritisi.
"Meski PP No. 57/2021 jelas tertulis melingkupi pendidikan formal di jenjang pendidikan tinggi, (tapi) isi PP bertentangan dengan UU No. 12/2012," ujar dia.
Apabila taat asas, segala isi ketentuan dalam PP No. 57/2021 wajib diikuti. Namun, ketika PP tidak sesuai dengan UU, maka PP itu tidak wajib ditaati dan harus dicabut untuk direvisi.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengusul PP sudah memberikan penjelasan kepada publik. Namun, hal itu hanya menunjukkan kepanikan karena kesalahan yang dibuat.
"Cabut dan perbaiki PP. No 57/2021 segera," imbuh Ahmad.
Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi berpendapat senada. Kebijakan dalam PP No. 57/2021 menunjukkan pengambilan keputusan tanpa informasi lengkap, pertimbangan mendalam, dan mencerminkan sikap yang tidak bertanggungjawab terhadap Pancasila.
Pusat Studi Pancasila UGM meminta pemerintah membatalkan PP No. 57/2021. Pusat Studi UGM juga merekomendasikan digelarnya uji materi terhadap pasal-pasal yang tidak relevan dalam mendukung kemajuan pendidikan karakter bangsa.
"Kami mengajak segenap elemen bangsa, para relawan advokat, (dan) para ahli untuk bahu membahu bersama dengan guru, dosen, pendidik, dan pegiat Pancasila di tanah air, bergabung mewujudkan uji materi ke Mahkamah Agung," kata Agus.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia Tarto Sentono mengatakan, Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa sudah seharusnya diajarkan di dunia pendidikan. Namun, isi PP No. 57/2021 tidak mencantumkannya.
"Hal itu merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam mengarusutamakan Pancasila," tutur Tarto.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia Jamal Wiwoho memiliki pandangan berbeda. PP No. 57/2021 memerlukan penjelasan detail ataupun peraturan turunan setingkat menteri agar bisa dijalankan.
"Kementerian perlu mengumpulkan ahli-ahli kurikulum pendidikan tinggi dan muatan regulasi yang harus tertuang. Kalau saya, memilih menunggu itu," ujar dia.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman, dalam pernyataan resmi, Rabu (14/4/2021) malam, menekankan, PP No. 57/2021 merupakan mandat dan turunan dari UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi juga tetap berlaku.
“Kami tegaskan bahwa mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia tetap menjadi mata kuliah wajib di jenjang pendidikan tinggi,” ujar dia.
Pasal 39 PP. No 57/2021 disebutkan, pada jenjang pendidikan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi untuk setiap program studi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan mata kuliah wajib, sivitas akademika tetap bisa mengacu kepada Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib Pada Kurikulum Pendidikan Tinggi.