Perempuan Mengalami Kerugian Berlapis di Masa Pandemi
Situasi pandemi Covid-19 memperberat beban kaum perempuan di Tanah Air. Sebagian perempuan membutuhkan dukungan saat menghadapi berbagai kekerasan berlapis selama pandemi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi Covid-19 menyebabkan jurang sosial dan persoalan yang sebelumnya ada menjadi semakin nyata. Salah satunya, relasi timpang berbasis jender yang menyebabkan perempuan menghadapi kerugian berbeda dan berlapis dibandingkan dengan laki-laki.
Akibat peran jender pada pengasuhan, perempuan berada di garis depan terpapar SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, sekaligus memikul beban berlipat ganda dari kebijakan penanganan netral jender. Beban ini terutama hadir di rumah tangga yang kini menjadi ruang dominan seluruh aktivitas di masa pandemi seiring kebijakan kerja dan belajar dari rumah.
“Keletihan akibat beban tersebut, ditambah berkurangnya pemasukan keluarga sementara ada pembengkakan pengeluaran di masa pandemi, turut menghasilkan kerentanan baru perempuan pada kekerasan,” ujar Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani pada “Peluncuran dan Diseminasi Tiga Policy Brief terkait Pemenuhan Hak Konstitusional, Dampak dan Kebijakan di Mata Perempuan serta Resiliensi Perempuan di Masa Pandemi Covid-19 “, Rabu (24/3/2021), secara daring.
Ketiga policy brief tersebut meliputi ringkasan kebijakan berjudul "Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Era Pandemi Covid-19 dan Kebiasaan Baru”, kedua berjudul “Melihat Dampak Pandemi Covid-19 dan Kebijakan PSBB Melalui Kacamata Perempuan Indonesia”, dan ketiga berjudul “Resiliensi Perempuan dalam Menyikapi Pandemi Covid-19”.
Pada ringkasan kebijakan atau policy brief pertama, Komnas Perempuan menyampaikan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk pengendalian penyebaran Covid-19 menyebabkan perempuan menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi lebih berat. Selain itu pandemi berdampak pada penurunan kesempatan kerja dan peningkatan risiko pemutusan hubungan kerja bagi perempuan.
Meski menjadi persoalan sebelum pandemi dan mencuat pada masa pandemi, beban ganda dan kekerasan sulit didokumentasi. “Dokumentasi beban ganda, tindak kekerasan, dan kesulitan ekonomi lebih mencuat di masa pandemi jadi bukti keharusan ada pengadaan pertolongan dan perlindungan terbuka (hotline) selama 24 jam selama tujuh hari, dilengkapi bantuan evakuasi. Ini kategori mendesak,” kata Maria Ulfa Ansor, Komisioner Komnas Perempuan.
Kebijakan PSBB menyulitkan perempuan untuk mendapat pertolongan, layanan kesehatan reproduksi seperti pemeriksaan kehamilan, persalinan dan layanan gangguan mental emosi, serta pemeriksaan rutin penyakit tidak menular. Situasi itu terjadi karena prioritas sistem kesehatan terpaku pada penanganan Covid-19.
Situasi yang dihadapi perempuan itu membutuhkan inisiatif negara untuk melindungi perempuan. Respons pemerintah terhadap Covid-19 harus mencerminkan pemenuhan kebutuhan spesifik dalam menghadapi risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan lainnya. Respons itu juga harus bersifat transformatif yang mengakui bahwa waktu, ketahanan fisik, dan mental perempuan terbatas.
Kendati demikian, Komnas Perempuan mengapresiasi berbagai kebijakan, program dan skema yang dikembangkan pemerintah seperti program jaminan sosial dan perlindungan atas rasa aman, termasuk perlindungan dari kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, program jaminan sosial dinilai menjadi penyangga penting untuk meredam dampak pandemi bagi perempuan dan kelompok marginal.
Dukungan negara
Kehadiran negara dalam merespons pandemi Covid-19 terkait perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dinilai penting, dengan menjamin tambahan anggaran dan dukungan kepada fasilitas layanan berbasis masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, swasta dan organisasi keagamaan). Sebab, kasus kekerasan meningkat, sedangkan di tingkat pengada layanan tak ada anggaran berkelanjutan.
Tanpa dukungan pemerintah, pengada layanan akan mengalami kesulitan beroperasi dan terancam tutup. Karena itu, Komnas Perempuan mengimbau agar negara memberi dukungan berupa subsidi agar layanan di masa kegawatdaruratan kesehatan masyarakat bisa diakses.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengapresiasi policy brief Komnas Perempuan. Untuk upaya penanganan kasus kekerasan pada perempuan, Bintang menegaskan sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KemenPPPA mendapat tambahan tugas dan fungsi sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang butuh perlindungan khusus.
“ Berbagai penguatan pun dilakukan secara internal maupun eksternal melalui peningkatan kapasitas, penguatan unit-unit pelayanan, dan penganggaran. Salah satunya, kami baru meluncurkan call center SAPA 129 sebagai wadah pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang butuh perlindungan khusus pada 8 Maret 2021 lalu,” kata Bintang.