Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak seringkali terhambat karena terbatasnya data yang tersedia. Untuk itu, sejak tahun 2016 Kementerian PPPA dan Badan Pusat Statistik melakukan survei nasional.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perlindungan perempuan dan anak dari berbagai kekerasan hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia. Untuk meningkatkan perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pendataan menjadi salah satu faktor penting agar program dan intervensi dilakukan tepat sasaran.
Karena itulah, data dan informasi statistik yang terkait dengan situasi dan kondisi kekerasan terhadap perempuan harus terus diperbaharui. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) kembali melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), dan pengembangan Indeks Perlindungan Anak (IPA) Tahun 2021.
“Memang tidak mudah mendapatkan data kekerasan yang secara representatif bisa menggambarkan kasus kekerasan yang terjadi. Ada banyak kendala yang kita hadapi, antara lain budaya yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib. Masih ada istri yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang biasa, sehingga ia enggan melapor,” ujar Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris KemenPPPA, Jumat (29/1/2021) dalam keterangan pers, usai persiapan pelaksanaan survei yang akan dilakukan KemenPPPA dan BPS secara virtual.
Menghadapi keterbatasan data kekerasan perempuan dan anak, hingga kini berbagai upaya telah dilakukan KemenPPPA. Misalnya, dengan menyediakan aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), yang memanfaatkan teknologi, informasi, dan komunikasi.
Menurut Pribudiarta, melalui SIMFONI PPA dilakukan pengintegrasian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi unit pelaksana teknis daerah (UPTD) di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Data SIMFONI PPA juga rencananya akan dikembangkan agar tidak hanya menggambarkan data kekerasan, tetapi juga dapat menggambarkan pengelolaan dan manajemen kasusnya serta dapat mengetahui kondisi korban.
Selain integrasi data tersebut, KemenPPPA juga melakukan SPHPN, yang telah dimulai pada tahun 2016 saat KemenPPPA dan BPS melakukan SPHPN pertama. Survei yang dilakukan melalui kuesioner yang menggunakan standar internasional dengan mengadopsi kuesioner World Health Organization (WHO) “Women’s Health and Life Experiences”.
Model survei yang didesain khusus untuk menggali informasi kekerasan terhadap perempuan, menjangkau 8.757 rumah tangga dari 9.000 rumah tangga sampel atau sekitar 97,3 persen.
Setelah SPHPN 2016, KemenPPPA juga melakukan SNPHAR pada tahun 2018. Pada tahun 2019 BPS dan Kemen PPPA juga sudah mengembangkan indikator yang dapat menunjukkan capaian pembangunan perlindungan anak melalui IPA.
Terkait dengan kerjasama KemenPPPA dan BPS dalam survei tersebut, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono mengakui dalam pelaksanaan survei SPHPN yang dilakukan sebelumnya terdapat beberapa hambatan. Misalnya, sejumlah responden menolak diwawancarai karena merasa takut menceritakan kasusnya, dan merasa sensitif ketika menyinggung soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, emosional atau psikologi, fisik, dan ekonomi.
Karena itu, ke depan, Ateng berharap agar hasil Sensus Penduduk dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dapat dipadankan dengan SPHPN, SNPHAR, dan IPA, sehingga data tersebut dapat menjadi satu kajian yang lebih komprehensif.