Penelitian Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, tak ada bukti belajar dari rumah berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa. Karena itu pemerintah diminta menunda pembelajaran tatap muka dan melanjutkan BDR.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, kondisi psikologis yang dialami siswa di masa pandemi Covid-19 ini tidak secara langsung disebabkan oleh metode belajar dari rumah. Bahkan, kondisi psikologis siswa yang belajar dari rumah relatif lebih baik dibandingkan dengan mereka yang mengikuti pembelajaran tatap muka ataupun pembelajaran campuran.
Penelitian yang dilakukan terhadap 15.304 siswa SD, SMP, SMA/SMK di 32 provinsi pada Desember 2020 tersebut juga menunjukkan, belajar dari rumah (BDR) tidak menimbulkan stres yang lebih tinggi pada siswa dibandingkan metode pembelajaran lain. Temuan-temuan tersebut membuktikan bahwa BDR tidak terbukti berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa.
Karena itu, Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia meminta pemerintah dan pemangku kepentingan menunda pembelajaran tatap muka hingga kondisi aman atau tingkat infeksi Covid-19 kurang dari 5 persen sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Saat ini tingkat infeksi Covid-19 di Indonesia mencapai 31 persen.
Memang (dengan BDR) ada risiko learning loss (hilang pengalaman belajar), tetapi daripada life-loss atau pun health-loss. Risiko learning loss dapat diantisipasi dengan meningkatkan efektivitas proses BDR dan mengejarnya di kemudian hari ketika kondisi sudah membaik.(Annelia Sari Sani)
”Memang (dengan BDR) ada risiko learning loss (hilang pengalaman belajar), tetapi daripada life-loss ataupun health-loss. Risiko learning loss dapat diantisipasi dengan meningkatkan efektivitas proses BDR dan mengejarnya di kemudian hari ketika kondisi sudah membaik,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 IPK Indonesia Annelia Sari Sani, Senin (18/1/2021), di Jakarta.
Penelitian tersebut dilakukan Satgas Penanggulangan Covid-19 IPK Indonesia bersama Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Annelia mengatakan, penelitian ini mengukur aspek kesehatan mental siswa dengan cara membandingkan kondisi psikologis siswa yang melakukan BDR, pembelajaran tatap muka, dan pembelajaran campuran.
Pengukuran tingkat kondisi psikologis siswa dilakukan dengan menggunakan tiga skala. Pertama, strength and difficulties questionnaire (SDQ) untuk mengukur masalah emosi dan perilaku, kemudian Children’s Revised Impact of Event Scale-13 (CRIES-13) untuk mengukur gejala trauma, dan ketiga, Psychological Well-Being Scale-18 (PWB-18) untuk mengukur kesejahteraan psikologis.
”Kami mendata juga faktor lain, seperti akses internet, pendamping belajar, dan kegiatan anak di luar belajar. Hasil analisis lanjutan menunjukkan, tidak ada bukti yang menyatakan fasilitas belajar berpengaruh pada kondisi psikologis anak. Mau ada akses internet baik atau tidak, enggak memberikan pengaruh,” katanya.
Dampak BDR, kata Annelia, berpengaruh pada pendampingan orangtua kepada anak, masalah yang sebenarnya sudah ada sejak sebelum pandemi. Konsep keterlibatan orangtua pada pendidikan yang menyerahkan pendidikan anak-anak sepenuhnya pada sekolah harus diubah. Orangtua juga mempunyai kewajiban mendampingi anak dalam belajar.
Untuk mengefektifkan BDR, orangtua juga perlu dibantu agar lebih mudah memahami proses belajar yang sedang dijalani anak. Salah satu caranya, pemerintah menyiapkan modul-modul belajar untuk pengayaan bagi orangtua. Bantuan seperti ini bermanfaat untuk mengurangi beban kesehatan mental orangtua.
Dukungan psikososial
Untuk tingkat sekolah, IPK Indonesia merekomendasikan perlunya peningkatan kapasitas serta keterampilan guru dalam pengelolaan kelas dan penyampaian materi belajar sesuai dengan metode BDR. Guru juga perlu ditingkatkan kapasitasnya agar dapat memberikan dukungan psikososial kepada para siswa.
Marwoto, Kepala SMP Tarakanita Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, mengatakan, mulai semester II Tahun Ajaran 2020/2021 ini pihaknya meningkatkan sistem pembelajaran untuk memudahkan siswa dan meningkatkan efektivitas BDR. Pembelajaran yang selama ini menggunakan Google Class Room, secara bertahap akan dialihkan menggunakan Learning Management System (LMS).
Selain itu, kata dia, mulai semester ini ada gerakan untuk memberikan apresiasi dan empati kepada siswa sebagai bentuk dukungan psikologis. Sapaan setiap hari yang dilakukan guru kepada siswa selama ini dikuatkan lagi, misalnya melalui kata-kata yang menghibur, menghidupkan, menguatkan, bukan menghakimi.
”Sapaan setiap hari kami kuatkan dengan the power of appreciation. Aplikasi bukan sebuah jaminan (siswa dapat belajar dengan baik), tetapi perhatian sekolah, guru melalui sapaan, apresiasi, itu yang menguatkan siswa dalam kondisi seperti sekarang ini,” kata Marwoto.
Hal senada dikatakan Heru Purnomo, Kepala SMP 52 Jakarta Timur. Selain menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, guru juga mempunyai tanggung jawab memberikan dukungan psikologis kepada siswa selama BDR. ”Wali kelas bertindak sebagai motivator dan juga pendorong pembelajaran, guru Bimbingan Konseling memberikan motivasi dan membantu jika ada masalah pada anak, guru bidang studi menanyakan masalah yang dihadapi anak,” katanya.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, kata Heru, sekolahnya mengembangkan pembelajaran tematik untuk meringankan beban tugas siswa sekaligus memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Guru-guru juga semakin kreatif melakukan pembelajaran dengan memanfaatkan sarana pembelajaran yang ada.