Pandemi berdampak meningkatkan tekanan psikososial pada anak-anak. Jika tidak ditangani dengan baik, ini akan memengaruhi tumbuh kembang mereka.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 merupakan disrupsi besar terhadap kehidupan dan menjadi sumber stres yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosional masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Apalagi, anak merupakan kelompok usia rentan karena perkembangan fisik dan mental mereka yang belum optimal.
Sebelum pandemi, masalah kesehatan jiwa pada anak, terutama remaja, sudah cukup besar. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan mental emosional pada pelajar mencapai 7,7 persen.
Berdasarkan Survei Kesehatan Siswa Berbasis Sekolah Global pada 2015 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 60,17 persen pelajar SMP-SMA mengalami gejala gangguan mental emosional. Mereka mengalami gejala merasa kesepian (44,54 persen), cemas (40,75 persen), dan ingin bunuh diri (7,33 persen).
Anak-anak yang sebelum pandemi mengalami gangguan mental emosional berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental dan emosional pada masa pandemi ini dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Demikian juga anak-anak dari keluarga yang perekonomiannya terganggu akibat pandemi, mengalami kekerasan, ataupun yang terkendala dalam pembelajaran jarak jauh.
Jika permasalahan tersebut tidak ditangani dengan baik, akan memengaruhi tumbuh kembang mereka yang pada akhirnya berdampak terhadap kualitas dan produktivitas mereka saat dewasa. Apalagi jika gangguan mental dan emosionalnya masuk kategori berat, bahkan hingga ada keinginan bunuh diri.
Apalagi jika gangguan mental dan emosionalnya masuk kategori berat, bahkan hingga ada keinginan bunuh diri.
Seorang anak usia 16 tahun yang mengakses saluran telepon darurat (hotline) dukungan psikososial awal Save the Children Indonesia, misalnya, sudah mengarah pada keinginan bunuh diri. Zubedy Koteng, Child Protection Advisor di Save the Children Indonesia, mengatakan, anak tersebut telah mengalami halusinasi dan merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya.
Sejak Maret hingga September 2020, ada 60 orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, yang mengakses hotline dukungan psikososial awal Save the Children Indonesia. Umumnya, kata Zubedy, mereka menyampaikan kekhawatiran terkait situasi pandemi ini.
”Ketidakjelasan terkait kegiatan belajar membuat anak-anak bingung. Mereka kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan teman. Ditambah lagi, pembelajaran jarak jauh yang tidak sesuai harapan, misalnya masalah sinyal atau harus berbagi gadget dengan saudara. Kebanyakan bertanya kapan pandemi berakhir, ini menambah kekhawatiran mereka,” kata Zubedy, Selasa (12/1/2021).
Memahami perasan anak
Untuk kasus-kasus berat seperti anak 16 tahun tadi, kata Zubedy, akan dirujuk ke psikolog. Sedangkan untuk kasus-kasus yang tergolong tidak berat akan ditangani Tim Save the Children Indonesia yang sudah terlatih. Dengan melalui telepon, mereka menghibur serta membantu anak-anak merasa tenang dan nyaman. Anak juga diajak memahami perasaan diri dan situasi mereka.
Membantu anak mengatasi masalah tekanan psikososial juga harus melibatkan orangtua. Agar dapat membantu anaknya, orangtua harus terlebih dahulu mengatasi permasalahan mereka. Penelitian Save the Children menunjukkan, penutupan sekolah juga menurunkan kondisi psikososial orangtua, juga krisis akibat pandemi yang memengaruhi perekonomian mereka.
Anak-anak membutuhkan kehadiran orangtua yang dapat melindungi mereka tetap sehat dan selamat. Saskia Rosita Indasari, psikolog, spesialis pendidikan WVI Nusa Tenggara Timur dalam kanal Youtube WVI, mengatakan, orangtua harus dapat menjadi teman bagi anak.
”Jadilah teman bicara tentang kesehatan sesuai dengan bahasa yang mudah mereka mengerti agar anak semangat untuk menjaga kesehatan mereka dan keselamatan mereka di tengah pandemi. Ciptakan suasana menyenangkan di rumah, bisa bermain, berolahraga bersama, atau melakukan hobi bersama-sama di rumah,” katanya.
Guru yang hampir setiap hari berinteraksi dengan anak dalam proses belajar-mengajar mempunyai peran sangat penting untuk membantu anak menjalani masa pandemi ini dengan baik. Dosen psikologi Universitas Diponegoro, Semarang, Endah Kumala Dewi, mengatakan, guru harus juga menjadi pendamping dan memfasilitasi siswa untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di masa pandemi.
”Kalau selama ini guru hanya menyiapkan materi sesuai kurikulum, sekarang enggak cukup itu. Sapalah siswa, bisa lewat Whatsapp ataupun menggunakan media lain. Fokus mendekatkan (diri ke siswa) secara emosional dan menunjang kesehatan mental siswa, beri mereka semangat,” kata Endah dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Trilogi Jakarta, Senin (11/1/2021).
Guru juga harus dapat memahami kebutuhan emosi siswanya, memahami kondisi siswa yang terpisah dari teman-temannya. Kecemasan yang dialami siswa tidak selalu bisa terlihat secara langsung. Karena itu, guru harus dapat mengidentifikasi ketika siswanya malas belajar atau kurang konsentrasi selama mengikuti pelajaran.
Karena pembelajaran jarak jauh masih berlanjut, guru harus menciptakan iklim belajar yang kondusif. Iklim belajar yang membuat siswa saling terhubung secara bebas, saling berpartisipasi, mendukung satu sama lain, membuat tugas bersama. Ini tidak hanya akan membuat siswa lebih bersemangat, tetapi juga membantu siswa beradaptasi di masa pandemi.