Kasus Covid-19 yang cenderung meningkat membuat para guru dalam posisi dilematis. Para guru menyadari pembelajaran jarak jauh belum efektif, tetapi membuka sekolah di masa pandemi juga berisiko memicu kluster sekolah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Kasus Covid-19 yang cenderung meningkat membuat para guru khawatir pembelajaran tatap muka di tengah pandemi akan memicu kluster Covid-19 di sekolah. Namun, memperpanjang pembelajaran jarak jauh juga akan menimbulkan dampak negatif yang semakin besar pada siswa.
Para guru menyadari, pembelajaran jarak jauh selama sembilan bulan ini tidak efektif karena berbagai kendala, baik pada guru, siswa, maupun orangtua. Kendala teknis dan kemampuan memberikan pembelajaran jarak jauh (PJJ), misalnya, membuat banyak guru masih memberikan banyak tugas kepada siswa. Interaksi guru dan siswa yang dua arah juga terbatas.
Survei terhadap 384 guru oleh Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Agustus 2020 menunjukkan 92,3 persen guru memberikan tugas berupa soal kepada siswa. Survei terhadap 320 guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah/yayasan oleh Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) pada 24-27 November 2020 pun menunjukkan, 52 persen responden memberikan tugas setiap minggu kepada siswa.
Selain itu, meski 76 persen guru memberikan pembelajaran selama 1-4 jam per hari, masih ada 17 persen guru yang memberikan pembelajaran 5-6 jam per hari. Bahkan ada yang lebih dari 7 jam per hari (6 persen). Hal ini bukan hanya membebani siswa, tetapi juga guru.
Hal itu, kata Sekretaris P2G Afdal, Kamis (3/12/2020), menandakan masih banyak guru belum memahami urgensi relaksasi PJJ atau belajar di rumah. Masih banyak guru belum menerapkan prinsip meringankan beban penugasan kepada siswa dan kontekstual terhadap kondisi siswa selama pandemi.
Karena itu wajar jika PJJ membuat anak bosan dan tertekan sehingga ingin sekolah segera dibuka. Banyak anak juga kesulitan memahami pelajaran yang disampaikan secara daring. Penutupan sekolah juga membuat anak-anak tidak bisa berinteraksi secara langsung dengan teman-temannya.
Survei Ada Apa dengan Covid-19 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Agustus 2020 menunjukkan, 76 persen anak setuju sekolah dibuka. Anak-anak (78 persen) juga siap mengikuti pembelajaran tatap muka di masa pandemi.
Orangtua pun menginginkan sekolah segera dibuka kembali. Survei Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) pun menunjukkan, lebih dari 70 persen orangtua ingin anak segera dapat mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah.
Guru, kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, sejatinya juga jenuh karena tidak bisa melayani siswa secara optimal. Tugas guru untuk menumbuhkan keterampilan berpikir dan bersikap pada siswa terkendala selama PJJ. “Dengan PJJ minim sekali dan tidak bermakna. Obsesi guru banyak, tetapi kondisi saat ini menjadi dilema,” kata dia, Sabtu (5/12).
Berisiko
Membuka sekolah di masa pandemi, apalagi dengan kasus Covid-yang masih terus meningkat sangat berisiko. Meski pembukaan sekolah harus memenuhi prosedur 5 siap (anak, orangtua, sekolah, sekolah, sarana prasarana, dan pemerintah daerah siap), guru tetap khawatir sekolah bisa menjadi kluster Covid-19 ketika dibuka.
“Risikonya kalau ada apa-apa sekolah akan disalahkan,” kata Wakil ketua Pimpinan Pusat Pergunu Aris Adi Leksono, Sabtu.
Karena itu, kata Aris, rencana pembukaan sekolah di masa pandemi perlu dikaji lebih mendalam dengan mengutamakan keselamatan siswa, guru, tenaga pendidik, juga orangtua. Surat keputusan bersama empat menteri, kata Aris, harus ditindaklanjuti dengan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah harus mengawasi secara langsung kesiapan sekolah.
Rencana pembukaan sekolah di masa pandemi perlu dikaji lebih mendalam dengan mengutamakan keselamatan siswa, guru, tenaga pendidik, juga orangtua.
Heru pun mengatakan, check list atau daftar periksa yang harus dipenuhi sebelum sekolah dibuka akan lebih mudah dipenuhi. Demikian juga guru, siswa, dan orangtua secara umum tahu soal 3M (mengenakan masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak).
Namun di lapangan, seperti juga tercermin di masyarakat selama ini, masih perlu upaya untuk membangun kesadaran dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Kasus sekitar 30 guru di sebuah sekolah menengah tingkat atas di Jakarta yang positif Covid-19 menjadi salah satu bukti masih kurangnya kesadaran dan disiplin protokol kesehatan.
Padahal, kata Heru, sikap perilaku yang patuh protokol kesehatan merupakan kunci utama membuka sekolah dengan aman. Untuk itu, harus ada standar prosedur operasional (SOP) mengenai hal ini, mulai dari bagaimana orangtua menyiapkan anak untuk ke sekolah, panduan untuk datang ke sekolah dan pulang dari sekolah, hingga pedoman untuk mengatur perilaku guru dan siswa.
Selain itu, di sekolah perlu ada pengawas pelaksanaan protokol kesehatan, demikian juga di luar sekolah untuk memastikan siswa segera pulang setelah selesai pembelajaran tatap muka. “Sekolah bisa saja menjamin anak-anak melaksanakan protokol kesehatan selama pembelajaran tatap muka, tetapi bagaimana ketika sudah di luar pagar sekolah,” kata Heru.
Menyeimbangkan keselamatan dan tumbuh kembang siswa di masa pandemi membutuhkan kerja sama semua pihak. “Pembelajaran jarak jauh yang tidak efektif merupakan kondisi yang harus disikapi secara bijak, semua harus berdiri di posisi sesuai fungsinya. Orangtua mempunyai kewajiban mendampingi anak (belajar), guru memberikan pembelajaran, pemerintah memberi dukungan untuk pembelajaran yang efektif,” kata Aris.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Iwan Syahril dalam seri webinar guru belajar, Jumat lalu, menekankan, kesehatan dan keselamatan warga sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan yang utama. Pembelajaran tatap muka harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk tingkat kasus Covid-19 di masyarakat.