UU Penghapusan Kekerasan Seksual Dibutuhkan untuk Melawan Budaya dan Sistem Patriarki
Perjuangan perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapat keadilan seharusnya mendapat dukungan berbagai pihak. Hadirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan menjawab berbagai kebuntuan yang dihadapi korban.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan karena kekerasan seksual bukan hanya soal tindakan seseorang pada suatu kasus, melainkan juga soal keberulangan perilaku di dalam suatu masyarakat, budaya, dan institusi patriarki yang harus dilawan secara sistematis.
”Untuk bisa melawan sesuatu yang sifatnya institusional, itu membutuhkan sesuatu yang juga sifatnya sistematis seperti undang-undang. Bahwa kita juga harus melawan dengan cara-cara lain, iya. Akan tetapi, ketika kita berbicara yang sistematis, undang-undang menjadi penting,” ujar Bivitri Susanti, ahli hukum Tata Negara dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera pada Webinar ”Prioritas Agenda Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: Upaya Memutus Rantai Kekerasan” yang digelar Perempuan Mahardhika, Jumat (4/11/2020).
Selain itu, mengapa Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting? Karena selama ini jarang ada yang membicarakan soal korban/penyintas kekerasan seksual, yang sebenarnya mengalami dampak psikologis atas kekerasan yang dialaminya.
Dari sisi penegakan hukum, hingga kini proses hukum dari sejumlah kasus kekerasan seksual masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
Karena kita tidak bisa membicarakan kekerasan seksual seperti kita membicarakan kasus penipuan, pencurian, dan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya. Ada persoalan kemanusiaan, budaya, dan sistem.(Bivitri Susanti)
Oleh karena itu, harus ada agenda politik yang jelas. ”Karena kita tidak bisa membicarakan kekerasan seksual seperti kita membicarakan kasus penipuan, pencurian, dan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya. Ada persoalan kemanusiaan, budaya, dan sistem,” papar Bivitri.
Selain Bivitri hadir menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar dalam rangka 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) menuju Peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2020, adalah Yuniyanti Chuzaifah (Pegiat HAM Perempuan dan Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan), RR Sri Agustine (Advokat dan Direktur Ardhanary Institute), dan Asfinawati (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Berbagai situasi dan dinamika yang dihadapi perempuan korban kekerasan yang tidak kunjung berakhir, tetapi malah semakin canggih modusnya seharusnya semakin mendorong negara untuk hadir menghentikan praktik-praktik kekerasan tersebut.
Yuniyanti berpandangan, kekerasan seksual hingga kini sulit diputus karena berbagai faktor, antara lain karena masyarakat hidup dalam budaya dengan konstruksi ”toksik maskulinitas” yang melanggengkan kekerasan yang berpusat pada laki-laki. Budaya tersebut direplikasi oleh masyarakat dari berbagai tingkatan, termasuk anak-anak. Bahkan, agama juga ikut melanggengkan dominasi kuasa.
”Kekerasan seksual yang dua jam sekali dialami perempuan kalau dihitung selama sepuluh tahun berapa banyak perempuan yang menjadi korban? Lalu, dia ke depan akan berkontribusi apa kalau kekerasan seksual tidak dicegah dengan sangat serius. Artinya, ini sebetulnya (menunjukkan) masyarakat yang sakit,” papar Yuniyanti.
Situasi kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat menunjukkan dampak kesakitan masif di masa mendatang. Seperti kekerasan yang dialami perempuan dari pasangannya sejak pra hingga pasca-perkawinan.
”Kemudian soal kompleksitas kekerasan di dunia virtual baik itu simbolik, bahkan ada kasus yang tanpa pelaku. Korban melapor ke polisi, sebagai korban daring dan polisi menanyakan di mana alamatnya, padahal korban tidak tahu di mana alamatnya pelakunya. Artinya aparat penegak hukum belum siap revolusi maupun transisi dengan pola-pola kekerasan ini,” ujar Yuni.
Sementara Asfinawati menilai, isu perempuan sangat luas. Karena itu, bicara tentang perempuan tidak bisa dipandang sebagai identitas yang tunggal. Masalah perempuan begitu kompleks dan ada dimensi kekerasan terhadap perempuan yang mengikuti identitas perempuan.