Kalau Subsidi Cair, Guru Honorer Yuni Akan Perluas Kebun Pisang
Bantuan subsidi upah bagi guru honorer amat dinantikan mereka yang berhak. Bantuan dari pemerintah yang diterimakan satu kali saja ini direncanakan menjadi penopang aneka kebutuhan guru honorer.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantuan subsidi upah atau BSU senilai Rp 1,8 juta menjadi oase di tengah kecilnya upah yang diterima oleh guru honorer. Sayangnya, BSU tidak bisa didapatkan guru honorer yang belum mengantongi nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan atau NUPTK.
Sri Wahyuni (31), guru honorer bimbingan konseling (BK), belum bisa mengakses info.gtk.kemdikbud.go.id untuk memastikan namanya sudah tercantum sebagai penerima BSU. Situs pemerintah itu berulang kali down saat ia mencoba mengakses daftar penerima BSU.
Akan tetapi, ada dokumen yang dia terima melalui pesan Whatsapp. Dokumen itu memuat namanya sebagai salah satu penerima BSU. ”Saya antara percaya dan enggak percaya. Soalnya, dokumen itu enggak ada kop surat. Tetapi, ada nama saya dan nomor NUPTK saya di dokumen itu. Makanya, masih belum bisa dipastikan ini saya dapat BSU apa enggak,” kata Sri, Jumat (20/11/2020).
Jika mendapat BSU, dia akan menggunakan dana subsidi itu untuk memperluas kebun pisang. Dia masih punya beberapa lahan kosong yang bisa ditanami demi menambah pemasukan keluarga.
Sebagai guru honorer, Sri sudah mengajar di tiga provinsi. Dia memulai karier pada 2011 di Muaro Bungo, Jambi, dengan upah Rp 1,6 juta. ”Muaro Bungo itu, kan, daerah pelosok, makanya ada tunjangan transportasi dan lain lain. Disana, gaji saya terbesar selama jadi guru,” ujarnya ketika dihubungi.
Di Muaro Bungo, Yuni mengajar hingga akhir tahun 2013. Dia tak kuat karena lokasi sekolahnya jauh terpelosok. Fasilitas pun minim. Air untuk mandi susah dan listrik sering mengalami gangguan.
Awal tahun 2014, ia pindah ke Duri, Riau, dengan gaji yang lebih kecil, yakni Rp 800.000 sebulan. Meski bergaji kecil, Riau menyimpan kisah tersendiri. Di situ, ia bertemu pria idaman yang kini menjadi suaminya.
”Tahun 2015, suami terkena PHK. Makanya, saya pindah ke kampung halaman, ke Sumatera Barat, tepatnya SMPN 1 Palupuh, Kabupaten Agam,” ujarnya.
Di Palupuh, gajinya setara dengan gaji di Riau. Suaminya yang dulu menjadi buruh pabrik kini beralih menjadi petani kebun pisang. Hasil kebun seluas setengah hektar itu menopang kehidupan pasangan yang dikaruniai dua anak ini. Komoditas inilah yang bakal diperluasnya apabila BSU masuk rekeningnya kelak.
Di Jawa Barat, guru honorer di MTSN 12 Cirebon, Laela (26), mengaku sudah terdaftar sebagai penerima BSU. Hanya saja, dia belum tahu pasti kapan dana subsidi itu masuk ke rekeningnya. ”Kabarnya dalam waktu dekat, tetapi saya belum tahu kapan,” ujarnya.
Laela mengajar Pendidikan Kewarganegaraan dan Prakarya. Dia mengajar 24 jam seminggu dengan upah di bawah Rp 1 juta. ”Pokoknya jauh di bawah Rp 1 juta. Malu saya nyebut angkanya. Ha-ha-ha,” ujarnya.
Dia akan menggunakan BSU untuk membeli bahan ajar prakarya, seperti alat-alat praktik. Berhubung kemampuan dana bantuan operasional sekolah (BOS) terbatas, dia merelakan subsidi itu untuk menambah kecukupan bahan ajar. ”Maklum, prakarya, kan, kebanyakan praktik. Sementara dana BOS terbatas karena jumlah murid tak sedikit,” ungkapnya.
Sebagai perempuan lajang, gaji Rp 1 juta itu jauh dari cukup. Dia mencari pemasukan tambahan dengan menjual daring aneka olahan ikan. ” ”Pendapatan dari jualan ini enggak menentu. Kalau lagi ramai, ya, bisa dapat lebih dari gaji honor sebulan dalam waktu kurang dari seminggu,” ucapnya.
Pendapatan dari jualan ini enggak menentu. Kalau lagi ramai, ya, bisa dapat lebih dari gaji honor sebulan dalam waktu kurang dari seminggu.
Sementara itu, Fitra Yadi (27), guru honorer di Tanah Datar, Sumatera Barat, akan menjadikan BSU sebagai modal usaha. ”Apa usahanya belum kepikiran. Yang pasti uangnya jadi modal usaha, bukan untuk konsumtif,” katanya.
Yadi mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam selama 12 jam seminggu. Dia mengajar saban Senin, Selasa, dan Rabu. Setiap bulan, dia menerima upah Rp 600.000.
Di luar sekolah, lulusan Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) ini juga mengajar mengaji di surau. Sekali pertemuan, dia diupah Rp 10.000. Dia mengajar mengaji empat kali seminggu. ”Saya juga bantu orangtua di ladang untuk tambahan penghasilan,” ujarnya.
Belum punya NUPTK
Sementara itu, guru honorer di SMP Luar Biasa swasta di Jakarta Pusat, Erfan Kurniawan (23), tak menerima BSU lantaran dia belum memiliki NUPTK.
Untuk memiliki NUPTK atau terdaftar di Data Pokok Pendidikan atau Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (Dapodik), guru honorer harus mengajar minimal dua tahun di satu institusi. Sementara Erfan tipikal guru yang mencari pengalaman sebanyak mungkin dengan berpindah sekolah beberapa kali.
Erfan mengajar di SMP Luar Biasa sejak awal tahun. Sebelumnya, dia pernah mengajar di beberapa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Jakarta.
Mengajar anak berkebutuhan khusus di SMP luar biasa, kata Erfan, punya tantangan tersendiri. Dia kebagian mengajar anak tunagrahita atau down syndrom. ”Mereka tidak bisa menalar abstraksi. Kalau kita menjelaskan buku, misalnya, bukunya harus ada bentuknya dulu baru mereka tahu. Kalau hanya menjelaskan, mereka enggak nangkap,” ujar lulusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta ini.
Setiap bulan, Erfan menerima upah Rp 1 juta. Gaji itu tak cukup sebab dia juga tengah kuliah pascasarjana. Akan tetapi, mengajar anak berkebutuhan khusus membuatnya bisa terus mendalami disiplin ilmunya. ”Untuk tambahan pendapatan, saya kerja juga di beberapa lembaga bimbingan belajar (bimbel) di Jakarta,” katanya.
BSU diberikan kepada 2.034.732 pendidik dan tenaga kependidikan dengan status non-pegawai negeri sipil. Total anggaran yang disediakan Rp 3,66 triliun.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Selasa (17/11/2020), di Jakarta, memerinci sasaran BSU, yaitu dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta (162.277 orang), guru honorer di sekolah negeri dan swasta (1.634.832 orang), serta tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga administrasi (237.623 orang).
Persyaratan calon penerima, di antaranya, bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan, terdaftar di Data Pokok Pendidikan atau Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dan tidak menerima bantuan sosial pemerintah lainnya (termasuk dari Kementerian Tenaga Kerja) sampai 1 Oktober 2020. Persyaratan lengkapnya bisa disimak di info.gtk.kemdikbud.go.id.