Anak-anak Rindu Kembali ke Sekolah
Hampir sembilan bulan menjalani pembelajaran jarak jauh, sejumlah anak mengungkapkan kerinduan mereka untuk kembali bersekolah. Tidak sedikit anak yang mulai merasakan tekanan psikososial selama belajar di rumah.
Di sebuah warung tepi Jalan Banjir Kanal, Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (20/11/2020) siang, Muhammad Iqbal Saputra (10) dan Sisilia Salwa Nandi (8) terlihat serius mengerjakan tugas sekolah. Keduanya didampingi Sanyani (40), ibunda Iqbal sekaligus tante dari Sisil.
Tidak jauh dari lokasi tersebut, sekelompok anak seusia mereka bermain dengan riang. Sesekali, Iqbal mengalihkan pandangannya dari buku tulis ke teman-temannya, seakan menyiratkan bahwa ia ingin segera bergabung.
Sayang, Iqbal masih harus menuntaskan tugas sekolahnya karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Selesai mengerjakan tugas pendidikan agama, ia punya kewajiban menonton siaran belajar dari rumah di TVRI Nasional. Selain itu, ada satu tugas lain dari guru.
”Saya memang keras mendidik Iqbal. Kalau tugas belum selesai, enggak boleh main. Beberapa kali dia nangis,” kata Yani saat ditemui.
Baca juga : Anak-anak Miskin Sudah Kehilangan Belajar Hampir Empat Bulan
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat Yani memiliki kuasa penuh terhadap proses pembelajaran Iqbal. Sekali saja tidak menuruti perkataannya, Yani tak segan memarahi Iqbal. Hal ini terpaksa Yani lakukan untuk menjaga kedisiplinan Iqbal. Maklum, PJJ kerap membuat anak keduanya itu kehilangan gairah belajar.
”Saya dulu kesulitan buat sekolah. Makanya saya enggak mau anak saya sekarang jadi menyepelekan sekolah. Saya terpaksa mendidik dengan keras,” ungkap Yani.
Saat ditanya apakah takut dengan pola didikan ibunya, Iqbal terdiam dan melirik ke arah Yani. Ia hanya mengungkapkan ingin kembali ke sekolah. Ia rindu suasana di kelas. ”Ingin ke sekolah lagi belajar sama teman-teman di kelas,” kata siswa kelas IV SD Negeri Kota Bambu 01 Pagi ini.
Hal yang sama dengan polosnya juga diungkapkan Sisil, sepupu Iqbal. Siswa kelas II SD Negeri Kota Bambu 02 Pagi ini juga ingin segera masuk sekolah. Alasannya sederhana, ia hanya ingin diajar kembali oleh guru di sekolah.
Baca juga : Hoaks tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Mengintai Siswa
Selama ini, Sisil selalu didampingi Yani saat mengerjakan tugas. Kebetulan ayahnya harus bekerja sedari pagi hingga sore hari sebagai buruh bangunan. Sementara ibu Sisil sudah meninggal.
Selama diajari oleh Yani, Sisil tak pernah neko-neko. Kebetulan Sisil adalah tipe anak yang pendiam dan penurut.
Yani sepakat dengan jawaban Iqbal dan Sisil. Menurut dia, akan lebih baik jika sekolah kembali dibuka. Dengan begitu, ia tak perlu capek-capek memarahi Iqbal setiap hari. Ia juga lega jika Sisil kembali menemukan pendamping belajar yang tepat, yaitu guru kelasnya.
Selama ini, Yani bisa menangkap keinginan anak dan keponakannya tersebut untuk kembali bersekolah. Beberapa kali keduanya memang terlihat putus asa mengerjakan tugas yang sebenarnya tidak terlampau sulit.
”Kayaknya mereka sudah mulai jenuh dan stres. Kalau di sekolah, kan, enak, ya, ada penjelasan dari guru. Baru, deh, habis itu dikasih pekerjaan rumah,” ungkapnya.
Dian (40), warga Kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, memiliki dua putra yang masih bersekolah. Keduanya adalah Faeza Akbar Raditya (7) yang masih kelas I SD dan Pramusti Dwi Kananda (12) yang duduk di kelas VI SD.
Selama mengikuti PJJ, Dian memasrahkan pendampingan kedua putranya kepada suaminya karena ia harus menjaga warung. Baru setelah pulang dari warung pada sore hari, Dian mengecek kembali tugas-tugas yang dikerjakan anak-anaknya.
Dian mengaku resah dengan kecakapan Faeza membaca dan menulis. Ia khawatir anak bungsunya belum bisa menulis dan membaca saat duduk di kelas II SD. Selama PJJ, Faeza belum pernah sekali pun mendapatkan bimbingan langsung dari guru.
”Enggak tahu, nih, nanti ketinggalan pelajaran enggak dia. Kadang disuruh menyalin tulisan saja dia sering nangis. Katanya susah,” ungkapnya.
PJJ juga membuat jadwal kegiatan Pramusti berantakan. Dian mengaku, putra keduanya ini hampir tidak pernah lagi bangun pagi. Padahal, saat aktif bersekolah, Pramusti rutin bangun pukul lima pagi.
”Dulu jam 5 saya sudah nyiapin sarapan. Sekarang, jam 9 kadang baru bangun,” ujarnya.
Selama PJJ, Dian membekali Pramusti dengan gawai pribadi yang berbeda dari adiknya. Ternyata, hal ini menjadi bumerang baginya. Karena merasa memiliki gawai pribadi, Pramusti kini kecanduan gim daring. Beberapa kali Dian memergoki putranya ini mabar (main bareng) gim Mobile Legends bersama teman-temannya dari dalam kamarnya sampai dini hari. Alhasil, Pramusti bangun kesiangan.
”Kacau sekali kegiatannya. Kalau besoknya libur, malah main gim sampai pagi. Habis itu tidur sampai siang,” katanya.
Karena merasa memiliki gawai pribadi, Pramusti kini kecanduan gim daring. Beberapa kali Dian memergoki putranya ini mabar (main bareng) gim Mobile Legends bersama teman-temannya dari dalam kamarnya sampai dini hari. Alhasil, Pramusti bangun kesiangan.
Tekanan psikologis
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menyampaikan, dari hasil pemantauan pelaksanaan PJJ fase I yang berlangsung Maret-Juni 2020, siswa cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis. Sebab, sebelumnya mereka sempat mengikuti pembelajaran tatap muka selama sembilan bulan.
Mereka tidak kesulitan beradaptasi karena guru mata pelajaran, wali kelas, dan teman-teman satu kelasnya relatif masih sama. Apalagi mereka juga sudah sempat berkomunikasi aktif sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu.
Akan tetapi, berdasarkan hasil pemantauan PJJ fase II yang dimulai sejak Juli hingga saat ini, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis sehingga berpengaruh pada kesehatan mental mereka. Hal ini terjadi karena pada fase II ini situasi yang dihadapi anak sangat berbeda.
”Wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan-kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya. Sementara siswa belum mengalami pembelajaran tatap muka sejak awal tahun ajaran,” urainya.
Menurut Retno, pergantian kelas tanpa diawali tatap muka membuat anak-anak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya. Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung sendiri oleh anak. Kondisi ini lebih berat jika anak tidak berani bertanya kepada gurunya.
Dengan kata lain, pandemi ini cukup berdampak pada aspek psikososial anak dan remaja. Mereka cenderung bosan karena harus tinggal di rumah, khawatir tertinggal pelajaran, timbul perasaan tidak aman, merasa takut terkena penyakit, merindukan teman-teman, dan khawatir tentang penghasilan orangtua.
Dalam hal ini, orangtua bisa menjadi penguat anak sekaligus sumber masalah bagi mereka. Sejumlah kasus kekerasan pada anak mencuat karena orangtua tidak memiliki kesabaran mendampingi anak belajar.
Kekerasan ini bisa berbentuk kekerasan verbal seperti merendahkan kemampuan anak dalam belajar atau menerapkan pola mendisiplinkan anak yang tidak tepat, seperti memberikan hukuman. Hal ini kerap dianggap sebagian orangtua dapat membangkitkan semangat anak. Padahal, justru sebaliknya, malah dapat menimbulkan tekanan psikologis anak.
KPAI mencatat, setidaknya ada empat kasus kematian anak yang dipicu oleh PJJ. Kasus pertama menimpa anak SD berusia delapan tahun yang dianiaya orangtuanya karena sulit memahami materi.
Ada pula siswi SMA dan siswa MTS yang bunuh diri akibat depresi karena PJJ.
Teranyar, seorang siswi SMA asal Kabupaten Tangerang meninggal, diduga mengalami depresi. Menurut Retno, ayah korban sempat menuturkan bahwa putrinya sangat disibukkan dengan PJJ sehingga waktunya banyak tersita.
Bertepatan dengan Hari Anak Sedunia ini, beberapa anak mengungkapkan keinginannya kembali ke sekolah. Mereka seakan yakin bahwa sekolah adalah tempat yang paling aman dan nyaman untuk belajar tanpa tekanan psikologis.