Hoaks tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Mengintai Siswa
Para siswa rentan terpapar hoaks mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Hal ini disebabkan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah kurang berjalan optimal selama pembelajaran jarak jauh.
JAKARTA, KOMPAS — Guru Bimbingan Konseling (BK) SMP Negeri 111 Jakarta, Rita Tresnawati, menegaskan, pendidikan kesehatan reproduksi perlu terus dibekalkan kepada siswa sekalipun di masa pandemi Covid-19. Ini penting mengingat pergaulan remaja saat ini semakin mengkhawatirkan.
”Sangat penting dan perlu diberikan terus. Mereka harus diarahkan supaya tidak kebablasan,” kata Rita saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (4/11/2020).
Di saat bersamaan, hoaks mengenai kesehatan reproduksi banyak tersebar, terutama berkaitan dengan perilaku pacaran remaja. Sering kali, informasi tidak benar menyebar dari siswa satu ke siswa lainnya.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kian Terhambat
Rita khawatir, siswa SMP yang rata-rata berusia 12-14 tahun tersebut terpapar informasi salah dan menerimanya mentah-mentah. Maka dari itu, guru perlu meluruskan pemahaman-pemahaman mereka yang salah. Di sisi lain, orangtua juga perlu membekali anak dengan pendidikan agama.
Sayangnya, selama pembelajaran jarak jauh (PJJ), materi kesehatan produksi yang kerap disampaikan Rita kepada siswa kurang berjalan optimal. Salah satu pemicunya adalah tidak terjalinnya komunikasi yang intensif antara siswa dgan dirinya.
”Kalau pembelajaran tatap muka, siswa lebih responsif. Sekarang, kalau kita sampaikan materi pakai Google Meet, kadang ada siswa yang kurang menyimak. Beberapa juga mematikan kamera,” katanya.
Selama ini, Rita mengajar di kelas VIII dan IX. Ia mengajar satu jam pelajaran untuk setiap kelas. Namun, selama pembelajaran jarak jauh ini, dalam satu kali pertemuan Rita harus mengajar dua kelas sekaligus.
”Jadi kalau dulu, satu kali pertemuan mengajar 36 siswa. Jadinya personal. Kalau sekarang harus mengajar 72 siswa setiap pertemuan. Bahkan, sebelumnya sempat 108 siswa atau tiga kelas,” ujarnya.
Materi mengenai kesehatan reproduksi yang kerap disampaikan Rita misalnya tentang mengenali diri secara fisik, hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta mengenai pergaulan bebas dan dampaknya.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Mitigasi Risiko
Materi tersebut ia sampaikan dari sisi sosialnya. Sementara untuk penjelasan yang lebih teknis, Rita menyerahkannya kepada guru IPA.
Sering kali, materi-materi tersebut mengundang rasa penasaran para siswi. Tidak jarang setelah mendapatkan materi tersebut, mereka datang ke ruangan Rita secara personal untuk berkonsultasi. Namun, selama PJJ ini berjalan, belum ada satu pun siswi yang berkonsultasi dengannya secara virtual.
Selain itu, Rita juga beberapa kali mendatangkan perwakilan dari puskesmas setempat untuk memberikan penyuluhan kesehatan reproduksi remaja. Kegiatan tersebut setidaknya diselenggarakan satu kali setiap semester.
”Kebetulan selama pandemi ini belum bisa dilakukan. Dari puskesmas pernah menyampaikan penyuluhan tentang Covid-19 pada awal semester ini. Itu pun untuk beberapa perwakilan siswa saja,” ujarnya.
Penyuluhan dari perwakilan puskesmas sebelumnya juga kerap dilakukan di SMP Negeri 229 Jakarta. Menurut Wakil Kepala SMP Negeri 229 Jakarta Bidang Kesiswaan, Saul Tanjung, kegiatan tersebut biasanya dilakukan setidaknya satu tahun sekali.
Biasanya, kegiatan tersebut dilakukan pada saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) untuk kelas VII. Selain itu, kegiatan yang sama juga digelar untuk kelas IX secara kolektif.
”Selama pandemi ini penyuluhan semacam ini belum bisa diselenggarakan,” katanya saat ditemui Rabu siang.
Maka, selama pandemi PJJ ini, pihak sekolah hanya bisa memberikan pendidikan kesehatan reproduksi melalui guru BK dan guru IPA melalui PJJ. Khusus untuk guru IPA, hanya mengajarkan materi tentang reproduksi untuk kelas IX.
”Kebetulan materi soal reproduksi ini masuk kurikulum kelas IX. Jadi buat kelas VII dan VIII yang menyampaikan adalah guru BK,” kata Saul yang juga guru IPA kelas VIII ini.
Menurut Saul, salah satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh guru BK selama PJJ ini adalah melakukan konseling secara privat mengenai kesehatan reproduksi ini. Biasanya, ia dan guru BK kerap memanggil siswa di SMP Negeri 229 yang kedapatan pacaran dengan siswa lain. Keduanya diberikan pengarahan.
”Kalau ada yang pacaran, dulu sering kami panggil. Kami berikan rambu-rambu soal seks bebas dan batasan-batasan pacaran. Apa saja bahayanya buat reproduksi si cewek,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyampaikan, baik pandemi maupun tidak, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi remaja sangat penting. Materi ini harus disesuaikan dengan usia, budaya, dan konteks kehidupan remaja.
”Harapannya remaja dapat mengambil keputusan penting mengenai kehidupan seksual mereka sehingga dapat mencegah risiko yang tidak diinginkan,” katanya saat dihubungi.
Pengembangan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja adalah untuk melindungi mereka dari risiko pernikahan dini, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS, hingga kekerasan seksual. Terlebih di masa pandemi, kasus-kasus tersebut masih sering terjadi.
”Selama pandemi, sejumlah kepala sekolah di daerah mengakui kalau ada siswanya yang berhenti sekolah karena menikah. Berdasarkan penelusuran kami, kasus tersebut terjadi di Wonogiri, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Utara, Bima, dan Seluma,” ujarnya.
Hasil dari Diskusi Para Pihak dan Pameran Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas di Asia Pasifik yang diselenggarakan secara virtual di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (3/11/2020), menjelaskan, PJJ membuat penyampaian materi kesehatan reproduksi dan seksualitas makin menantang. Apalagi, akses internet masih menjadi kendala bagi sejumlah negara (Kompas, 4 November 2020).
Sejumlah pihak telah mencoba menyampaikan materi kesehatan reproduksi secara daring, tetapi tetap saja kualitas dan jangkauannya tidak sebaik pendidikan tatap muka.
Di luar hal itu, guru dituntut untuk dapat menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan baik. Jangan sampai materi disalahpahami oleh siswa dan orangtua mereka.
”Guru perlu dilatih untuk bisa mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan baik. Jika tidak, anak muda tidak akan mendapatkan pembelajaran berkualitas yang mereka butuhkan,” ujar Direktur Biro Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Asia Pasifik Shigeru Aoyagi.