Anak-anak Miskin Sudah Kehilangan Belajar Hampir Empat Bulan
Laporan terbaru menunjukkan, pembelajaran jarak jauh berdampak pada kehilangan belajar. Namun, siswa yang terkendala akses pembelajaran jarak jauh lebih lama kehilangan belajar daripada mereka yang tidak terkendala.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran jarak jauh berdampak kehilangan belajar pada semua anak karena pembelajaran yang tidak efektif. Namun, kehilangan belajar pada anak-anak yang terkendala pembelajaran jarak jauh lebih lama dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terkendala. Tanpa intervensi khusus, semakin lama sekolah ditutup mereka akan semakin tertinggal.
Hal tersebut tergambar dalam laporan yang diterbitkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak- anak (Unicef), dan Bank Dunia pada 29 Oktober 2020.
Temuan survei tentang respons pendidikan terhadap Covid-19 di hampir 150 negara pada Juni dan Oktober 2020 tersebut menunjukkan, anak-anak sekolah di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah telah kehilangan hampir empat bulan sekolah. Adapun anak-anak sekolah di negara-negara berpenghasilan tinggi kehilangan hampir enam minggu sekolah.
Anak-anak sekolah di negara berpenghasilan rendah dan menengah paling kecil kemungkinannya untuk mengakses pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan untuk dimonitor kehilangan belajar mereka. Mereka juga paling mungkin mengalami penundaan pembukaan kembali sekolah dan jika sekolah dibuka kembali, sumber daya yang ada juga tidak memadai untuk memastikan sekolah yang aman.
Laporan tersebut tidak menyebutkan secara detail kondisi setiap negara, tetapi kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Hingga kini masih ada siswa yang terkendala PJJ karena ketiadaan akses ke teknologi digital ataupun internet.
Tetap ada learning loss (kehilangan belajar), terutama anak-anak di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) yang kesulitan untuk mengakses pembelajaran daring ataupun luring. (Nugroho Indera Warman)
”Tetap ada learning loss (kehilangan belajar), terutama anak-anak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan tertinggal) yang kesulitan untuk mengakses pembelajaran daring ataupun luring,” kata Education Specialist Unicef Indonesia Nugroho Indera Warman ketika dihubungi di Jakarta, Senin (2/11/2020).
Hasil kaji cepat Unicef Indonesia pada awal pandemi, sebanyak 35 persen siswa terkendala akses ke PJJ, baik karena tidak ada gawai maupun akses internet. Kalaupun ada akses internet, kualitas jaringannya buruk atau tidak stabil.
Literasi menurun
Adapun Survei Save the Children Indonesia terhadap 2.232 anak pada Juli 2020 menunjukkan, tujuh dari 10 anak belajar lebih sedikit selama pandemi dan empat dari sembilan anak kesulitan memahami PR, bahkan 1 persen anak sama sekali tidak belajar. Survei belajar dari rumah yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Mei-Juni 2020 pun menunjukkan, konsentrasi lima dari 10 siswa berkurang.
”Jika PJJ terlalu lama, potensi tidak lanjut sekolah (putus sekolah) bertambah, juga learning loss. Hasil kajian Bank Dunia, sebelum pandemi kita peringkat 75 dari 77 untuk literasi, setelah pandemi turun hingga 7 poin,” kata Kepala Pendidikan Save the Children Indonesia Imelda Usnadibrata dalam diskusi daring yang diselenggarakan Bappenas pada Senin (26/10).
Kajian Bank Dunia tentang dampak Covid-19 pada pendidikan di Indonesia menunjukkan, kehilangan belajar bisa berdampak pada penurunan hasil Program Asesmen Pelajar Internasional (PISA). Skor PISA dalam membaca pada pelajar Indonesia pada 2018 sebesar 371. Penutupan sekolah selama empat bulan akan berpotensi menurunkan skor tersebut menjadi 360, jika penutupan enam bulan menjadi 355, dan jika penutupan delapan bulan menjadi 350.
Untuk meminimalkan dampak PJJ, kata Nugroho, harus ada intervensi secara komprehensif untuk mengatasi kesenjangan digital. Perlu kerja sama antarinstansi kerja antarinstansi pemerintah untuk menyediakan akses layanan internet, serta gawai yang terhubung langsung dengan konten pembelajaran tanpa menggunakan internet. Selain itu juga literasi digital agar guru ataupun siswa dapat menggunakan teknologi untuk pembelajaran dengan baik.
Adapun untuk mengoptimalkan PJJ, Imelda mengatakan, perlu peningkatan akses materi PJJ baik daring ataupun luring karena 8 dari 10 anak tidak dapat mengakses bahan belajar yang memadai. Selain itu, perlu peningkatan kualitas pengelolaan dan metode PJJ yang partisipatif inklusif, serta peningkatan kapasitas orangtua untuk mendukung proses belajar di rumah bersama guru.