Semakin lama tinggal di rumah membuat perempuan memikul beban yang berlipat ganda saat pandemi Covid-19. Menurunnya pendapatan keluarga memicu ketegangan dalam keluarga. Sejumlah perempuan menjadi korban KDRT.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Situasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan melewati delapan bulan semakin menempatkan perempuan pada posisi sulit. Berbagai survei dan kajian menemukan, perempuan menghadapi beban pekerjaan rumah berlipat ganda daripada laki-laki. Semakin lama tinggal di rumah, tekanan psikologis terus meningkat, bahkan sejumlah perempuan menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga.
Kendati demikian, hanya sebagian kecil yang mau bersuara atau melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya kepada lembaga layanan korban kekerasan ataupun ke aparat penegak hukum. Sebagian besar perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan, tidak bisa meninggalkan keluarga karena pembatasan sosial, sehingga terpaksa memilih diam dan bertahan menjalani hari-hari yang berat.
Survei daring Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19 yang dilakukan pada April-Mei 2020 menemukan hanya 10 persen perempuan (responden) yang memilih melaporkan kasusnya ke pengada layanan semasa Covid-19. Sebagian besar lebih memilih sikap diam atau hanya memberitahukan kepada saudara, teman, dan/atau tetangga.
”Ini menarik karena ada sekitar 80,3 persen korban tidak melapor ke lembaga layanan sehingga betul-betul fenomena gunung es kekerasan di masyarakat kita. Selain itu, 68,8 persen tidak menyimpan kontak layanan pengaduan. Ini menunjukkan manajemen risiko di masyarakat Indonesia masih sangat rendah,” ujar Alimatul Qibtiyah, komisioner Komnas Perempuan dalam diskusi daring ”Upaya Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Jender yang Efektif di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar European Union, United Cities and Local Government Asia Pasific (UCLG-ASPAC), dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Kamis (12/11/2020).
Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga lebih dari 3 jam dan jumlahnya hampir empat kali lipat daripada laki-laki, para perempuan, terutama usia 31-40 tahun, mengakui, selama pandemi, hubungan dengan pasangan semakin tegang. Beban kerja yang bertambah membuat perempuan mengalami stres. Saat di rumah, selain mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, perempuan juga harus mengurus dan mendampingi anak-anak yang sekolah dari rumah, melayani suami, dan bagi perempuan yang berstatus karyawan masih harus bekerja meski dari rumah.
Semakin panjang masa pandemi, kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat. Bahkan, Komnas Perempuan terus menerima laporan berbagai kekerasan yang dialami perempuan. Hingga awal Oktober 2020, Komnas Perempuan menerima 1.617 kasus, terdiri dari 1.458 kekerasan berbasis gender (KBG) dan 159 kasus non-KBG.
Sebagian besar KBG terjadi di ranah rumah tangga/personal (960 kasus), sisanya ranah komunitas (480 kasus) dan negara (18 kasus). Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan psikis (946 kasus) yang banyak terjadi di ranah personal dan kekerasan seksual (888 kasus) yang terjadi di ranah komunitas.
”Yang perlu mendapatkan perhatian adalah KBG berbasis siber yang didominasi kekerasan seksual. Ini menunjukkan bagaimana sangat penting Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan karena akan mengakomodasi kekosongan payung hukum secara komprehensif di tingkat komunitas,” kata Alimatul.
Kekerasan berbasis siber meningkat tajam seiring lamanya masyarakat tinggal di rumah. Padahal, pada 2017, pengaduan kekerasan berbasis siber hanya 16 kasus, tetapi pada 2020 data hingga Oktober sudah mencapai 659 kasus.
Merasa tidak ada dukungan
Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan Veni Siregar menilai, para perempuan korban memilih diam karena merasa tidak ada dukungan dan tidak memiliki orang-orang yang dapat dipercaya sehingga mereka khawatir jika bicara terbuka bisa jadi risiko yang akan dialami jauh lebih besar.
Kalaupun ingin melapor tidak mudah bagi para korban untuk menjangkau lokasi layanan korban kekerasan, terutama di daerah-daerah pelosok dan kepulauan. Misalnya, perempuan korban kekerasan di Soe, Nusa Tenggara Timur, untuk menjangkau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang jaraknya jauh di ibu kota kabupaten.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah atau intervensi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan berlanjut dan meningkat. ”Desa-desa diminta membuat pos-pos pengaduan dengan melibatkan pejabat setempat, lalu membuat program penyadaran masyarakat, pencegahan, dan penanganan perempuan korban dengan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat hingga ke desa-desa,” ujar Veni.
Situasi kekerasan yang dialami perempuan di masa pandemi Covid-19 sangat memprihatinkan. Bahkan, diprediksi, pascapandemi ini ada 13 juta anak perempuan dikawinkan di bawah umur dan Indonesia merupakan salah satu penyumbangnya. ”Indonesia masih masuk dalam tahap penyadaran, belum dianggap sebagai problem, sebagai masalah yang krusial di masa pandemi,” ujar Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan.
Misiyah mengingatkan, tahun 2020 menjadi tahun yang kritis untuk memajukan kesetaraan jender. Di tingkat dunia, diperkirakan 750 juta perempuan menjadi korban perkawinan anak, 400 juta perempuan hidup dalam kemiskinan, dan sekitar 243 juta perempuan korban kekerasan dari pasangan intimnya setiap tahun, sekitar 200 juta anak dan perempuan di seluruh dunia mengalami mutilasi alat kelamin perempuan. Semua hal tersebut juga terjadi di Indonesia.
Dampak global
Dampak Covid 19 terhadap Perempuan dan Anak Perempuan secara global juga disampaikan Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union (UE), Selasa (10/11/2020).
Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan seksual atau fisik yang dilakukan oleh pasangan intimnya dalam satu tahun terakhir. Sejak pandemi, kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, semakin meningkat.
Situasi tersebut diperburuk oleh sejumlah faktor, seperti kondisi keamanan, kesehatan, kekhawatiran uang, kondisi kehidupan yang terbatas karena pembatasan ruang gerak, ruang publik yang sepi, dan isolasi dengan pelaku kekerasan. Berbeda dengan di Indonesia yang memilih tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya, di sejumlah negara, seperti Singapura, Siprus, Perancis, dan Agentina, laporan dari perempuan korban kekerasan justru meningkat.
”Sebelum pandemi, kurang dari 40 persen wanita yang mengalami kekerasan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan. Namun, sejak adanya lockdown, laporan kekerasan dalam rumah tangga atau panggilan telepon meningkat,” ujar Laurence.
Hal itu terjadi karena akses untuk melapor disiapkan. Di Perancis, misalnya, semenjak awal diterapkan lockdown, pemerintah menyosialisasikan melalui iklan layanan masyarakat di televisi nomor telepon yang bisa diakses perempuan korban kekerasan.
UN Women juga mendokumentasikan, pandemi Covid-19 juga memberikan dampak pada kemiskinan secara global. Perempuan paling merasakan dampak yang tidak proporsional, terutama pada perempuan yang dalam usia reproduksi. Diperkirakan, pada 2021, di antara setiap 100 laki-laki berusia 25 hingga 34 tahun yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, terdapat 118 perempuan.
Semua pihak juga diingatkan soal kesehatan reproduksi perempuan yang terganggu. UN Women menunjukkan, di empat dari 10 negara di Eropa dan Asia Tengah, setidaknya terdapat setengah dari perempuan yang membutuhkan layanan keluarga berencana mengalami kesulitan besar dalam mengaksesnya sejak krisis. Jika perawatan kesehatan rutin terganggu dan akses ke makanan menurun, peningkatan kematian anak dan ibu akan terjadi.
Maka, ketersediaan akses yang mudah dijangkau oleh korban menjadi salah satu kunci untuk mendengarkan suara perempuan korban sehingga bisa melindungi perempuan dari berbagai kekerasan yang bisa saja berlanjut di masa pandemi saat ini. Jangan biarkan perempuan bungkam dan terus -menerus menjadi korban kekerasan.