Anak berhadapan dengan hukum atau ABH masih menjadi persoalan di Indonesia. Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak sejak 2012 masih menghadapi tantangan. Diversi harus dioptimalkan untuk melindungi ABH.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Semangat undang-undang tersebut untuk memberikan kesempatan kedua kepada anak yang berhadapan dengan hukum belum terwujud. Kenyataannya, hingga kini ribuan anak ditahan, diadili, dan dipenjara karena terkait berbagai kasus.
Hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bersama Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia dan Unicef menemukan, meskipun jumlah anak yang dipenjara menurun, penahanan terhadap anak masih konsisten terjadi. Diversi (sistem damai) semakin banyak diterapkan, tetapi dampak dan akuntabilitasnya belum dilakukan transparan.
Hingga kini, pelaksanaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) belum sepenuhnya menghindarkan anak dari sistem peradilan. Buktinya, selama periode 2017-2018, sebanyak 90 persen anak yang diproses di pengadilan diputus dengan hukuman penjara (rata-rata 419 hari). Bahkan, penahanan dan pemenjaraan masih ditemukan pada anak-anak di bawah usia 14 tahun, kebanyakan masih bersekolah, serta 40 persen anak ditahan di fasilitas orang dewasa.
UU SPPA belum optimal melindungi anak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Namun, kami masih percaya UU SPPA sebagai salah satu pintu masuk terpenting kalau Indonesia memang serius ingin menegakkan keadilan restoratif.
”UU SPPA belum optimal melindungi anak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Namun, kami masih percaya UU SPPA sebagai salah satu pintu masuk terpenting kalau Indonesia memang serius ingin menegakkan keadilan restoratif,” ujar Santi Kusumaningrum, Direktur Puskapa UI pada Webinar dan Peluncuran Kajian ”Kesempatan Kedua dalam Hidup: Memulihkan Kesempatan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” yang digelar daring, Rabu (4/11/2020).
Studi yang dilakukan pada tahun 2019 mengkaji UU SPPA yang intinya bertujuan melindungi anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum lewat pemenuhan hak tersangka, korban, saksi, dan terpidana. Selain itu, mencegah anak dari menjalani proses pidana, penahanan, pemenjaraan, dan dari pengulangan perbuatan. Adapun tempat studi dipilih berdasarkan jumlah anak yang didampingi pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan (PK Bapas), yakni di Surabaya (7.713 anak), Palembang (3.997 anak), Kendari (1.011 anak), dan Tangerang (84 anak).
Tim peneliti melakukan 129 wawancara dengan aparat penegak hukum dan pejabat lembaga terkait, wawancara dengan tujuh eks anak berhadapan dengan hukum (ABH), dan analisis 651 putusan pengadilan tahun 2017-2018 yang mewakili 799 anak ABH, serta kajian atas sistem database pemasyarakatan, kajian literatur, dan diskusi fokus.
Soal sebagian besar anak ditempatkan di fasilitas orang dewasa, alasannya masih alasan klasik, yaitu kedekatan jarak geografis dengan rumah keluarga, kemudahan, dan jaminan keamanan. ”Pertimbangan tersebut tidak sejalan dengan tujuan UU SPPA untuk menahan dan memenjarakan anak sebagai upaya terakhir,” ujar Santi.
Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan, jumlah anak yang ditahan pada 2014-2018 turun, yakni 3.606 anak (2014), 2.612 (2017), dan 2.901 (2018). Namun, sistem hukum masih menjerat anak-anak dengan karakteristik yang sama. Sebanyak 92 persen ABH laki-laki terlibat kasus pencurian.
Terkait diversi memang terjadi, tetapi dari 92 persen anak yang menjalani diversi, dikembalikan kepada orangtua, tidak ada dokumentasi langkah yang terkait diversi yang diambil. Selain itu pendampingan hukum dan nonhukum tidak tersedia dengan proporsional, upaya rehabilitasi dan reintegrasi minim sumber daya yang memadai, dan mekanisme pemantauan dan evaluasi hampir tidak tersedia.
Pergeseran paradigma
Guru Besar Fakultas Hukum UI Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, UU SPPA lahir karena UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak belum memasukkan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak, belum menginkorporasikan nilai dan standar dalam Beijing Rules, dan belum mampu menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
Terjadi pergeseran filosofi SPPA menjadi keadilan restoratif, serta perluasan cakupan anak tidak hanya pelaku, tetapi anak korban dan saksi. Meskipun ada sejumlah peluang, implementasi dari UU SPPA menghadapi sejumlah tantangan, antara lain masih adanya perbedaan persepsi antarpenegak hukum mengenai syarat diversi, masih ada putusan pengadilan yang tidak menunjukkan pemahaman SPPA, tidak semua anak mendapat bantuan hukum, sarana dan prasarana belum tersedia, dan lain-lain.
”Belum adanya kartu identitas anak yang menyulitkan proses, khususnya anak yang tidak bersekolah dan yang hidup terpisah dari orangtuanya, sehingga ketika dalam penanganan menyulitkan pemberian layanan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, makin banyak anak yang terlibat dalam kejahatan terorganisasi, seperti pelacuran, narkoba, dan perjudian,” ujarnya.
Selain Harkristuti sebagai pembicara kunci, dan Slamet Soedarsono (Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kementerian PPN/Bappenas), hadir sebagai penanggap Slamet Prihantara (Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Kemenkumham), Kanya Eka Santi (Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kementerian Sosial), Kartiko Nurintias (Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional), dan Ciput Eka Purwianti (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Selain itu, hadir sebagai pembahas Agustinus Pohan (pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan).