Evaluasi Menyeluruh Bantuan Kuota Internet agar Lebih Tepat Sasaran
Bantuan kuota internet mendapat apresiasi positif dari masyarakat dan diharapkan berlanjut hingga tahun depan. Namun, evaluasi perlu dilakukan agar bantuan ini sesuai kebutuhan peserta didik dan pendidik.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantuan kuota internet terbukti membantu memperlancar pembelajaran dalam jaringan atau daring. Meskipun demikian, setelah penyaluran bantuan tahap pertama dan kedua pada September 2020, perlu ada evaluasi menyeluruh agar penyaluran tahap ketiga dan keempat pada November nanti dapat lebih tepat sasaran.
Survei persepsi publik terhadap program bantuan kuota internet oleh Lembaga Arus Survei Indonesia pada 7-11 Oktober 2020 menunjukkan program ini mendapat respons positif. Mayoritas responden, 80,5 persen dari 1.000 responden, berharap program ini dilanjutkan pada 2021. Para responden berasal dari 34 provinsi yang diwawancarai melalui telepon.
Sinyal internet yang tidak stabil menjadi kendala utama, disampaikan oleh 33,8 persen responden, disusul akses internet terbatas oleh 23,4 persen responden. (Ali Rif’an)
Hasil survei juga menunjukkan ada sejumlah catatan yang bisa menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan program ini ke depan. ”Sinyal internet yang tidak stabil menjadi kendala utama, disampaikan oleh 33,8 persen responden, disusul akses internet terbatas oleh 23,4 persen responden,” kata Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia Ali Rif’an dalam diskusi dan pemaparan survei ini secara daring, Jumat (16/10/2020).
Kendala lainnya, tambah Ali, jumlah bantuan kuota internet juga dinilai minim (12,3 persen). Dari 30 persen responden yang mendapatkan bantuan kuota internet, sebanyak 39,3 persen menyatakan kapasitas bantuan masih kurang.
Bantuan kuota internet ini diberikan sebesar 20 gigabyte (GB) per bulan pada September hingga Desember 2020 untuk siswa pendidikan anak usia dini (PAUD), 35 GB untuk siswa sekolah dasar hingga menengah, 45 GB untuk guru, serta 50 GB untuk dosen dan mahasiswa.
Besaran kuota internet tersebut dibagi menjadi kuota umum sebesar 5 GB dan sisanya kuota belajar. Kuota umum bisa bebas digunakan untuk mengakses seluruh laman dan aplikasi. Sementara kuota belajar hanya bisa digunakan untuk mengakses 60 laman dan aplikasi pembelajaran yang terdaftar di http://kuota-belajar.kemdikbud.go.id.
”Kuota umum 5 persen kurang bagi mahasiswa. Mereka butuh banyak (kuota besar) untuk browsing (menjelajahi situs web) perpustakaan, jurnal, dan lain-lain. Untuk ini mereka butuh 1-2 gigabyte per hari,” kata Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Moch Bruri Triyono, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.
Proporsi pembagian kuota seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan pendidik yang berbeda-beda di setiap jenjang pendidikan. Apalagi dilihat dari perilaku responden yang mendapatkan bantuan kuota, sebagian besar memanfaatkan kuota internet untuk membuka media sosial (38,3 persen) dan Youtube (18,8 persen). Hanya 26,1 persen responden yang menggunakan kuota internet untuk mengakses laman dan aplikasi.
Selama ini, banyak guru yang memanfaatkan aplikasi media sosial untuk pembelajaran jarak jauh. Ini sesuai dengan hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang, dan Perbukuan Kemendikbud pada 8-15 Agustus 2020 terhadap 384 guru dan 384 siswa, bahwa interaksi guru-siswa selama pembelajaran jarak jauh mayoritas menggunakan media sosial.
Sasaran
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, menambahkan, tidak semua laman dan aplikasi pembelajaran yang terdaftar di Kemendikbud tersebut dikenal oleh pendidik dan peserta didik. Banyak pendidik mengunggah materi pembelajaran ataupun mencari bahan untuk materi pembelajaran di Youtube. ”Tetapi, ini tidak termasuk situs web yang mendapat bantuan,” katanya.
Menurut Anggi, perlu evaluasi menyeluruh untuk mengetahui apakah pelaksanaan program bantuan kuota internet ini sudah tepat sasaran atau belum. Evaluasi ini termasuk akurasi dan ketepatan pemberian bantuan kuota internet. Tidak semua siswa dapat mengikuti pembelajaran daring karena kendala akses ke teknologi digital dan akses internet.
”Pertanyaannya, bagaimana kebijakan kepada mereka yang tidak mempunyai akses. Ini perlu dipikirkan pemerintah. Kebijakan pemerintah lebih banyak menyuplai mereka yang mempunyai akses ke teknologi digital dan internet,” kata Anggi.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud Hasan Chabibie mengatakan, hasil survei tersebut menjadi masukan untuk perbaikan program ke depan. ”Ini menjadi cambuk bagi kami untuk memberi pelayanan lebih baik. Kami upayakan semaksimal mungkin nyala api belajar siswa tetap terjaga, salah satunya dengan bantuan kuota internet,” katanya.