Cegah Anak Ikut Aksi Unjuk Rasa, Risiko Amat Tinggi
Keterlibatan anak-anak dalam unjuk rasa agar dicegah karena berisiko tinggi terhadap keamanan dan keselamatannya. Penanganan para pelajar yang ditangkap dalam unjuk rasa agar diprioritaskan dikembalikan kepada orangtua.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan sejumlah anak dalam unjuk rasa terkait penolakan atas Undang-Undang Cipta Kerja harus mendapat perhatian serius semua pihak. Selain rentan mengalami kekerasan, kehadiran anak-anak dalam kerumunan masa berisiko tinggi terhadap keamanan dan keselamatan jiwa anak.
Karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyerukan kepada pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan pencegahan agar anak-anak tidak terlibat unjuk rasa.
”KPAI meminta kepada aparat penegak hukum memastikan orang dewasa yang terindikasi ’mengeksploitasi’ anak harus diproses secara hukum. Hal ini penting untuk menjawab dugaan ’eksploitasi’ terhadap anak-anak dalam aksi demonstrasi tersebut,” ujar Jasra Putra, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, saat membacakan pernyataan pers KPAI, Kamis (15/10/2020) secara virtual.
Hadir juga Ketua KPAI Susanto dan Komisioner KPAI Retno Listyarti, Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar, dan Kepala Unit PPA Bareskrim Polri Komisaris Ema Rahmawati. Semua pihak menyatakan perlindungan anak sangat penting.
Nahar meminta semua pihak melakukan upaya pencegahan secara bersama-sama. Selain itu, harus dipastikan anak-anak difasilitasi untuk menggunakan cara-cara yang tepat dalam menyampaikan pendapat.
”Mari memberikan pemahaman kepada anak tentang suatu persoalan sejelas-jelasnya. Mana yang terkait kepentingan anak, mana yang bukan. Jangan sampai anak-anak yang tidak tahu apa-apa digerakkan sesuka orang dewasa,” tutur Nahar.
Oleh karena itu, kepada masyarakat dan orangtua diminta untuk melaporkan kepada pihak berwenang dan unit layanan terdekat jika menemukan anak yang terlibat dalam penyalahgunaan dalam kegiatan demonstrasi, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan yang dapat membahayakan nyawa anak.
Soal ada anak-anak yang berada dalam pengamanan petugas atau dilanjutkan proses hukumnya karena keterlibatannya dalam aksi tersebut, KPAI meminta kepolisian mengupayakan agar penahanan anak harus menjadi pilihan terakhir. Pengembalian anak yang terlibat demonstrasi kepada orangtua untuk dibina menjadi upaya prioritas.
Sebab, menurut KPAI, Konvensi Hak Anak dalam Kluster Hak Sipil dan Kebebasan menyatakan, semua negara harus menghormati dan mendengarkan aspirasi anak dalam menyampaikan pendapat.
Hal ini juga sejalan dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan, setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahkan, setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Tak hanya itu, UU Perlindungan Anak juga menyatakan, setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
KPAI sudah melakukan pengawasan terhadap ribuan anak yang terlibat dan diamankan oleh aparat penegak hukum, termasuk juga di proses di kepolisian. ”Data sementara yang kami peroleh dari Unit PPPA, per tanggal 10 Oktober 2020, sebanyak 3.565 orang diamankan di seluruh Indonesia dan sebanyak 91 anak diproses secara hukum,” kata Jasra.
KPAI juga meminta kepada kepolisian agar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus sesuai dengan UU Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Adapun kepada orangtua, sekolah, dan masyarakat diminta untuk memastikan anak tidak ikut demo dalam situasi yang memiliki risiko tinggi terhadap keamanan dan keselamatan anak.
Pencatatan
Retno menyayangkan munculnya narasi ancaman bahwa anak-anak yang melakukan unjuk rasa akan sulit mendapatkan kerja karena ada catatan di kepolisian. Jika anak-anak tersebut melakukan unjuk rasa damai dan tidak melakukan tindakan kriminal, seharusnya tidak dihambat mendapatkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Apalagi, banyak di antaraya belum sempat unjuk rasa, tetapi sudah diamankan pihak kepolisian sebelum tiba di lokasi demo.
Anak-anak tersebut tidak melakukan tindakan pidana. Dengan demikian, hak mereka mendapatkan SKCK kelak tidak boleh dihambat oleh kepolisian. Anak-anak yang tidak melakukan perbuatan pidana tidak boleh mendapatkan catatan kriminal karena alasan mereka pernah ikut serta berpendapat dalam suatu aksi demo,” tutur Retno terkait adanya pernyataan pihak kepolisian di beberapa kota yang menyatakan identitas pelajar yang ikut aksi akan tercatat dalam SKCK.
Ema menegaskan, terkait data anak-anak dicatat, itu hanya kepentingan pendataan semata. Sebab, kepolisian juga harus mempertanggungjawabkan anak-anak yang diamankan.
”Seperti apa dalam proses selanjutnya harus menghubungi siapa, itu kan harus kita tanyakan kepada anak-anak yang kita amankan itu, misalnya alamatnya di mana, nama lengkap siapa, orangtuanya siapa, karena kebanyakan yang diamankan itu kemudian tidak terbukti melakukan tindak pidana. Itu pasti akan dikembalikan kepada orangtuanya,” tutur Ema.