Prioritaskan UU Cipta Kerja, Komitmen DPR Menghapus Kekerasan Seksual pada Perempuan Dipertanyakan
Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dinantikan karena jumlah korban yang terus meningkat. Begitu juga dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Kenyataannya, DPR malah memprioritaskan RUU Cipta Kerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat dalam membela korban kekerasan seksual dan pekerja rumah tangga dipertanyakan. DPR lebih memprioritaskan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ketimbang memprioritaskan rancangan undang-undang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat luas.
Perlakuan diskriminasi yang diperlihatkan para wakil rakyat yang didukung pemerintah yang ”ngebut” menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menyakiti hati para korban kekerasan seksual yang terus menantikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. DPR juga mengabaikan perjuangan para pekerja rumah tangga (PRT) yang sudah 16 tahun memperjuangkan RUU Perlindungan PRT.
Kekecewaan dan kemarahan disampaikan para aktivis perempuan dan anak dari berbagai organisasi dan komunitas yang tergabung dalam Aksi Selasaan ke-14 Gerak Perempuan, Selasa (6/10/2020), secara daring. Para aktivis menggelar aksi pita ungu dan doa bersama sebagai wujud keprihatinan terhadap sikap DPR yang begitu bersemangat mempercepat RUU Cipta Karya yang kontroversial, sementara untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR dengan mudah mengungkapkan sulit membahasnya.
”Memang sepertinya hati nurani para anggota Dewan yang katanya wakil rakyat benar-benar sudah mati. DPR seharusnya sebagai wakil rakyat dapat memenuhi harapan rakyat, kasus kekerasan seksual (harus) segera punya payung hukum supaya tidak meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Suci dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten.
Para aktivis menyatakan proses birokrasi yang berbelit-belit untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan PRT adalah cerminan bahwa agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan PRT tidak menjadi prioritas bagi DPR dan pemerintah.
”Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 dengan dukungan penuh pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi bertentangan secara langsung dengan semangat perlindungan pekerja rumah tangga dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual,” ujar Eva Nurcahyani saat membacakan pernyataan sikap Gerak Perempuan.
Karena itu, para aktivis muda mendesak anggota DPR segera menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk daftar Prolegnas Prioritas 2021 dan mengagendakan pembahasan RUU tersebut.
Komnas Perempuan juga kecewa
Pada hari yang sama, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menyampaikan kekecewaan atas DPR yang dalam rapat paripurna 6 Oktober belum juga mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Komnas Perempuan yang diwakili Andy Yentriyani, Maria Ulfa Anshor, Siti Aminah Tardi, Alimatul Qibtiyah, Mariana Amiruddin, dan Veryanto Sitohang, dalam pernyataan pers mendesak DPR segera mewujudkan hak korban dengan menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Prolegnas Prioritas 2021, pada rapat paripurna mendatang, setelah masa reses selesai.
Komitmen DPR tersebut dinilai penting karena pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU yang pro korban kekerasan seksual telah lama dinanti oleh masyarakat Indonesia, khususnya korban kekerasan seksual, keluarga, dan pendamping korban.
”Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa sepanjang tahun 2011 hingga 2019, terdapat pelaporan 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan ranah publik,” ujar Mariana yang bersama Veryanto membacakan pernyataan pers dari Komnas Perempuan.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) juga menemukan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
”Himpunan data ini merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus-menerus,” kata Mariana.
Bahkan, fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatik serta mungkin berlangsung seumur hidup. Bahkan, di beberapa kasus, dapat mendorong korban melakukan bunuh diri. Korban kekerasan seksual kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak
”Komnas Perempuan mengajak seluruh penyintas, keluarga penyintas, pendamping, media massa dan masyarakat sipil, dan juga pemerintah untuk terus mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Veryanto.
Taufik Basari, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem yang sebelumnya juga menjadi salah satu pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, ketika dihubungi, sehari sebelum Rapat Paripurna DPR, Minggu (4/10/2020), memastikan semua anggota Fraksi Nasdem yang berjumlah 59 orang mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2021.
Fraksi Nasdem juga terbuka terhadap usulan rumusan judul yang baru, seperti RUU Pelindungan terhadap Korban Kekerasan agar lebih mudah dipahami dan tidak menimbulkan persepsi yang keliru, seperti yang selama ini terjadi.
Terkait gerakan masyarakat sipil yang terus mendorong DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, seperti Sidang Rakyat Mendesak RUU Penghapusan Kekerasan yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, pekan lalu, Taufik menyatakan, ”Apa yang dilakukan teman-teman adalah bagian dari demokrasi sekaligus pengingat bagi anggota-anggota dan fraksi di DPR bahwa saat ini kita sedang berada dalam keadaan darurat kekerasan seksual dan karena itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera dibahas untuk diundangkan.”