Demi UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Korban Pun Mulai Bersuara
Tidak ada orang yang ingin menjadi korban kekerasan seksual, dalam bentuk apa pun. Kekerasan seksual bisa berdampak luas pada korban dengan meninggalkan trauma sepanjang hayat. Banyak yang tidak sanggup melewatinya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang menyentuh hal yang paling pribadi dalam diri seorang manusia. Sebagian besar masyarakat menganggap kekerasan seksual adalah aib yang harus ditutupi. Karena itulah, meskipun meninggalkan trauma yang harus dibawa sepanjang hayat, sebagian besar korban atau penyintas memilih bungkam ketimbang membuka kejahatan yang merendahkan harga dirinya.
Bahkan, ketika kampanye anti-kekerasan seksual pun semakin gencar dilakukan organisasi-organisasi perlindungan perempuan dan anak serta aktivis pembela hak asasi manusia, tetap saja tidak mudah bagi seorang penyintas untuk berbicara. Untuk sampai berbicara, mengungkap peristiwa yang menimpanya, dibutuhkan kekuatan dan keberanian yang berlapis-lapis serta dukungan yang besar dari sejumlah pihak.
Saat sudah berani berbicara pun belum tentu suaranya didengar. Kenyataannya, ketika sang korban berbicara, malah dia mengalami cercaan dan tudingan bahwa penyebab kekerasan seksual adalah sang korban. Maka, sebagian besar korban memilih jalan sunyi. Bahkan, ada yang mengalami depresi hingga meninggal.
Sekian lama, mereka diam sambil terus berharap suatu saat keadilan akan berpihak pada mereka. Karena itu, ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat, asa para penyintas pun muncul. Satu per satu penyintas mulai membuka suara, mengungkap pengalaman pahit yang disimpan selama ini.
Keberanian berbicara pun semakin kuat ketika mendengar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Satu per satu penyintas pun muncul, berbicara di depan publik seperti yang terjadi pada ”Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (2/10/2020) hingga Minggu (4/10/2020) secara daring.
Seorang perempuan penyintas dari Jawa Barat, IC, menuturkan kisah yang dialaminya pada saat usianya masih tujuh tahun. Ia mengalami pelecehan seksual selama setahun oleh orang yang sangat dikenalnya, yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan bertahun-tahun.
Belasan tahun saya kebingungan, menyimpan sendiri, tidak cerita kepada siapa pun. Saya tumbuh dengan menyimpan itu, dan berharap pelaku bisa dipenjara. (IC)
”Belasan tahun saya kebingungan, menyimpan sendiri, tidak cerita kepada siapa pun. Saya tumbuh dengan menyimpan itu, dan berharap pelaku bisa dipenjara,” ujar IC yang menyimpan kejadian itu rapat-rapat dan baru berani membukanya setelah ada temannya bercerita mengalami kekerasan seksual.
Selama bertahun-tahun IC mengakui mencari tahu sendiri penanganan kasus seksual yang mirip kasusnya, bagaimana supaya pelaku dihukum. Sebab, kejadian yang menimpanya yang tahu cuma dirinya dan pelaku. ”Tidak ada saksi. Saya tidak bisa buktikan secara fisik apa yang saya alami,” ujar IC yang kini berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera terwujud memberikan keadilan bagi para korban.
Tak hanya IC, sejumlah penyintas pun bicara atas kekerasan seksual yang dialami. Bahkan, AU, seorang ibu rumah tangga dari Bengkulu, pun mengungkapkan bagaimana kekerasan seksual yang terjadi dalam perkawinan. Namun, dia tidak berdaya karena pelakunya adalah suaminya sendirinya. Ia mengaku mendapatkan kekerasan seksual melalui hubungan seksual dengan cara sodomi, dengan paksaan dan ancaman.
”Saya tidak tahu harus mengadu ke mana. Saya menganggap apa yang saya alami adalah masalah rumah tangga sendiri. Keluarga bilang sabar-sabar saja. Anak saya ada tiga,” ujar AU yang mengalami kesulitan saat melaporkan kekerasan yang menimpanya karena dianggap tidak ada saksi.
AU bahkan dibujuk untuk tidak meneruskan kasusnya ke ranah hukum. Padahal, kasus itu sangat membuatnya trauma. ”Kasus yang saya alami secara fisik dan psikis menyakiti saya, menyebabkan saya depresi untuk mengakhiri hidup saya. Saya merasa dijadikan obyek pemuas nafsu, mimpi buruk. Saya tidak ingin perempuan lain mengalami seperti saya. Saya mohon tolong segera sahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual,” papar AU.
Proses panjang melelahkan
Semua penyintas mengungkapkan betapa sulitnya mendapatkan keadilan. Bahkan, ketika sudah melaporkan kepada kepolisian, mereka harus melewati proses yang sangat melelahkan. Yang menyakitkan lagi, ketika korban sudah berulang kali memberikan keterangan, sering pelaku tidak pernah dipanggil.
Selama sidang tersebut, para pembicara baik penyintas maupun pendamping para korban, perwakilan dari seluruh wilayah di Indonesia berbicara. Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazuma mengungkapkan betapa sulitnya korban mendapatkan keadilan.
Proses hukum kekerasan seksual mengalami hambatan karena kekosongan hukum. Hingga kini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya mengatur pemerkosaan, pencabulan, dan pelanggaran kesusilaan, sementara kasus kekerasan seksual terjadi dalam berbagai jenis yang belum diatur oleh hukum di Indonesia, pemerkosaan dalam rumah tangga.
Bahkan, masih banyak aparat penegak hukum yang menuntut adanya saksi yang mengetahui kejadian, padahal dalam kasus kekerasan seksual tidak ada saksi, hanya ada korban dan pelaku. Akibatnya, proses yang panjang dan melelahkan yang membuat korban putus asa dan berhenti menggapai keadilan. Tidak jarang, korban pun dikriminalisasi.
Berbagai pengalaman korban seharusnya semakin menggugah para wakil rakyat untuk segera mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.