Kekerasan seksual menjadi mimpi buruk perempuan Indonesia sejarah. Kini saatnya DPR menghapus mimpi buruk tersebut dengan mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan yang telah lama melekat dalam peradaban bangsa Indonesia, dan mewariskan rantai korban dari generasi ke generasi. Bahkan setelah Indonesia merdeka selama 75 tahun, kekerasan seksual terus menindas, membungkam, menghilangkan eksistensi perempuan, dan meninggalkan mimpi buruk sepanjang hidup korban.
Karena itu, sudah saatnya negara hadir memutuskan rantai pelanggaran hak asasi manusia tersebut, dengan hukum negara melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Daftar korban kekerasan seksual sudah terlalu panjang, sehingga tidak ada alasan lagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk tidak membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Gugatan masyarakat sipil terhadap negara, terutama kepada para wakil rakyat yang duduk di parlemen diteriakkan bersama dalam Pembukaan “Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (2/10/2020) secara daring. Sidang rakyat bersama jaringan masyarakat sipil untuk mendorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan berlangsung tiga hari hingga Minggu (4/10/2020) mendatang.
Tujuh puluh lima tahun setelah kemerdekaan politik, kita masih terbelenggu kekerasan seksual.(Asfinawati)
“Tujuh puluh lima tahun setelah kemerdekaan politik, kita masih terbelenggu kekerasan seksual, yang mengikat pikiran kita dengan berbagai mitos terhadap korban, membatasi kemerdekaan gerak kita karena ancaman menjadi korban kekerasan seksual. Sementara pelaku leluasa berkeliaran, dan merampas rasa aman dan keutuhan kita sebagai manusia,” ujar Asfinawati, Ketua YLBHI saat menjadi pembicara pertama dalam sidang rakyat tersebut.
Kekerasan seksual terjadi mulai dari rumah tangga, tempat kerja, rumah ibadah, institusi pendidikan, institusi politik dan pemerintahan, perkebunan dan pertambangan, institusi penegak hukum, masyarakat adat, dan segala lini kehidupan manusia. Di Indonesia, korban kekerasan seksual bukan dilindungi malah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terenggut hak atas hidup, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan hak-hak lainnya.
Dengan nada bergetar, Asfinawati meneriakan bahwa kekerasan seksual menyerang esensi paling mendasar dari kemanusiaan dan lapisan terdalam diri manusia yaitu keintiman privasi. “Karena itu sudah sepantasnya negara memberi perhatian yang lebih besar dari persoalan ini. Karena korban terus berjatuhan, korban tidak pernah bisa menunggu. Kerusakannya sangat luas, sangat dalam menggurat sampai seluruh kehidupan korban berakhir,” ujar Asfinawati yang membawakan landscape kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dipimpin Ni Putu Candra Dewi (LBH Bali), Meila Nurul Fajrie (LBH Yogyakarta), dan Rezky Pratiwi (LBH Makassar) juga menghadirkan pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani dan sejumlah aktivis perempuan.
Tampil juga berbicara Dinda Nur Anisa Yura (Solidaritas Perempuan) Dian Septi (Forum Buruh Lintas Pabrik), Nurul Saadah (Sapda), dan Emanuel Gobay (LBH Papua) yang menyampaikan situasi kekerasan seksual, perempuan buruh, disabilitas, perempuan di sektor pengelolaan sumber daya alam, seni, dan sebagainya.
Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dipimpin Ni Putu Candra Dewi (LBH Bali), Meila Nurul Fajrie (LBH Yogyakarta), dan Rezky Pratiwi (LBH Makassar) juga menghadirkan pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani dan sejumlah aktivis perempuan yang menyampaikan situasi kekerasan seksual, perempuan buruh, disabilitas, perempuan di sektor pengelolaan sumber daya alam, seni, dan sebagainya.
Hentikan kejahatan kemanusiaan
Sulistyowati mengawali pernyataannya dengan menyatakan kejahatan kemanusiaan harus dihentikan dengan hukum negara. “Apakah kita semua sudah bertanya, atau pernah bertanya pada bangsa kita, khususnya pada perempuan dan anak, kejahatan apa yang paling keji sepanjang sejarah Indonesia?” ujar Sulisyowati.
Dia menegaskan, kekerasan seksual adalah kejahatan apa yang paling keji yang terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka, di masa penjajahan Jepang, saat kembalinya agresi militer Belanda, orde baru, tahun 1965 hingga tahun 1998, bahkan hingga masa damai saat ini pun kejahatan tersebut tidak pernah berhenti. Maka, dibutuhkan hukum negara untuk menghentikan kejahatan tersebut.
Andi Yentriyani juga menyatakan isu kekerasan seksual tidak terlepas dari sejarah Komnas Perempuan, yang lahir dari tragedi kemanusiaan 1998, dan kekerasan seksual bagian yang tidak terpisahkan dalam situasi itu yang sampai saat ini belum terungkap.
Perjalanan advokasi untuk mendorong UU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah perjalanan dan perjuangan panjang yang disuarakan Komnas Perempuan dan berbagai organisasi perlindungan perempuan dan anak, hingga akhirnya disusun naskah akademis RUU yang mengusung sembilan jenis kekerasan seksual untuk memberikan perlindungan lebih kepada korban kekerasan seksual. Penundaan pengesahan RUU tersebut akan mengabaikan pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
“Karena itu, kita punya waktu yang sangat pendek, karena 9 Oktober nanti merupakan bagian yang penting, apakah DPR akan menunjukkan komitmen apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas pada tahun 2021 atau tidak,” kata Andy.
Dinda Nur Anisa Yura bahkan dengan lantang menyatakan dalam konteks pengeloaan sumber daya alam, kekerasan seksual tidak hanya membungkam perempuan tapi digunakan sebagai cara untuk membungkam gerakan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia lainnya, terjadi kekerasan seksual terhadap komunitas/aktivis yang memperjuangkan tanah dan ruang hidup mereka.
Hingga akhir pembukaan Sidang Rakyat tersebut, semua pembicara mendesak kepada DPR sebagai wakil rakyat untuk mendengarkan suara para korban. DPR tidak hanya menetapkan dalam daftar prolegnas prioritas 2021, tapi memastikan membahas dan mengesahkannya menjadi UU.
Hari kedua, Sabtu (3/10/2020) Sidang Rakyat Mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan dibuka dengan agenda Sidang Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pada siangnya akan dilanjutkan Sidang Regional Sumatera.