Kritik terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terus bermunculan. Salah satunya karena menyangkut pengelolaan pendidikan yang semakin diserahkan kepada swasta.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pegiat edukasi nasional mendorong kluster pendidikan dikeluarkan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Pendidikan merupakan hak dasar semua warga, bukan komoditas.
Darmaningtyas, pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, saat dihubungi pada Rabu (16/9/2020), di Jakarta, menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja mengusung semangat kapitalistik dan liberalisme. Dengan demikian, urusan pendidikan tidak layak diikutkan dalam substansi RUU itu.
Paragraf 12 tentang pendidikan dan kebudayaan Pasal 67 RUU Cipta Kerja dijelaskan, untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha, dalam mendapatkan perizinan berusaha dari sektor pendidikan dan kebudayaan. Maka, UU Cipta Kerja akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru di beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan, misalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No/Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU No 4/2019 tentang Kebidanan, dan UU No 33/2009 tentang Perfilman.
Menurut Darmaningtyas, pihaknya siap berjuang sampai ke Mahkamah Konstitusi jika RUU Cipta Kerja jadi ditetapkan dan di dalamnya tetap menyertakan kluster pendidikan.
RUU Cipta Kerja menjadikan pendidikan seperti barang yang diperdagangkan. Izin mendirikan satuan pendidikan menjadi izin usaha pendidikan. Kami akan berjuang sampai ke Mahkamah Konstitusi.
”RUU Cipta Kerja menjadikan pendidikan seperti barang yang diperdagangkan. Izin mendirikan satuan pendidikan menjadi izin usaha pendidikan. Kami akan berjuang sampai ke Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Diserahkan kepada swasta
Ketua Bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama (NU) Circle Ahmad Rizali berpendapat, kebijakan pendidikan Indonesia dan negara maju, seperti Finlandia, berjalan berlawanan. Finlandia yang mendapat negara berpredikat pendidikan terbaik di dunia memiliki kebijakan yang konsisten. Semua sekolah menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara. Sementara kebijakan pendidikan di Indonesia berjalan sebaliknya. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan semakin lama diserahkan kepada swasta.
Paragraf 12 RUU Cipta Kerja disebutkan pemerintah mendorong pendidikan dikelola oleh swasta dan sepenuhnya melalui mekanisme pasar. Prinsip nirlaba dalam pendidikan diubah total menjadi murni bisnis yang harus dikelola oleh perusahaan melalui proses perizinan berusaha. Prinsip pendidikan nirlaba hanya menjadi opsi yang diperbolehkan dan bukan lagi menjadi arus utama.
”Kekhawatirannya adalah lembaga pendidikan berbentuk pondok pesantren dan dikelola masyarakat lapisan bawah sejak sebelum kemerdekaan nantinya terancam. Ketika pengelolaan pendidikan dikemas jadi komoditas bisnis, warga kelak sulit mengakses karena mahal,” ujarnya.
Revisi Pasal 53 UU Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja juga dia nilai mengembalikan semangat UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. MK menilai UU Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD 1945 karena telah menyerahkan pendidikan nasional kepada mekanisme pasar.
Senada dengan Darmaningtyas, Ahmad juga berharap kluster pendidikan di RUU Cipta Kerja dicabut. Pengasuh pondok pesantren, organisasi profesi guru, perguruan tinggi, mahasiswa, dan para guru besar perlu melakukan perlawanan agar kluster pendidikan bisa dikeluarkan.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Ali H Arahim saat dihubungi terpisah mengatakan, apabila pemerintah menginginkan perbaikan atau penyempurnaan peraturan tentang pendidikan, semestinya pembahasan regulasinya tidak dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja. Dengan kata lain, perbaikan dilakukan di setiap UU.
Ali menyoroti dua hal. Pertama, semangat kluster pendidikan di RUU Cipta Kerja tidak memberikan perlakuan adil bagi tenaga pendidikan antara lulusan dalam negeri dan luar negeri. Ini karena dalam RUU disebutkan guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi luar negeri tidak wajib mengantongi sertifikat pendidik.
Kedua, RUU Cipta Kerja menghilangkan desentralisasi pendirian satuan pendidikan. Dalam Pasal 62 Ayat (1) RUU Cipta Kerja terkait UU Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Ali menilai, hal itu menyalahi otonomi daerah.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja sepenuhnya dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dia berpandangan, kluster pendidikan semestinya dikeluarkan dari pembahasan di RUU Cipta Kerja. Alasan dia, substansi yang dibahas di kluster pendidikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.