Waspadai Potensi Komersialisasi Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja
Pegiat pendidikan menilai kemunculan RUU Cipta Kerja dengan regulasi ”omnibus law” cenderung bertujuan mengurangi hambatan investasi dan usaha. Kecenderungan ini berpotensi menjadikan pendidikan sebagai ladang investasi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak mengkhawatirkan masuknya pendidikan sebagai salah satu subkluster dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dengan regulasi omnibus law. Hal yang paling dirisaukan adalah lunturnya semangat mencerdaskan bangsa karena komersialisasi pendidikan.
Hal itu mengemuka dalam webinar nasional ”Mengkaji Pasal-pasal UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), UU Guru, dan Dosen, yang Dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja”, Kamis (9/7/2020), di Jakarta. Acara ini diselenggarakan Forum Guru Independen Indonesia.
Rektor Universitas YARSI Fasli Djalal mengatakan, jika mengacu Pasal 65 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan dalam negeri dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.
Akan tetapi, dalam rumusan RUU Cipta Kerja, frasa terakreditasi atau diakui di negara asal dan kewajiban kerja sama dengan lembaga pendidikan dalam negeri dihapus. Ini membahayakan karena pendidikan nasional berpotensi terdegradasi, mengurangi peran pemerintah, dan mendorong kapitalisasi dunia pendidikan.
”Tentu sangat berbahaya jika lembaga asing yang ingin menyelenggarakan pendidikan di Indonesia adalah lembaga yang belum jelas status dan kualitas akademiknya,” ujarnya.
RUU Cipta Kerja juga menghapuskan prinsip nirlaba sebagai salah satu dari lima prinsip otonomi pengelolaan perguruan tinggi. ”Tidak dapat 100 persen pendidikan dikomersialisasi,” katanya.
Amat disayangkan apabila dunia pendidikan dilabeli sebagai tempat investasi komersial.
Fasli memandang, RUU Cipta Kerja hanya memiliki dua tujuan, yaitu membuka investasi seluas-seluasnya dan regulasi yang menghambat penanaman modal akan dihilangkan. Amat disayangkan apabila dunia pendidikan dilabeli sebagai tempat investasi komersial.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Dosen Indonesia M Arief, apabila prinsip nirlaba dihapuskan, lembaga pendidikan tinggi akan selalu mencari profitabilitas setinggi-tingginya. ”Sangat tidak sesuai dengan ideologi penyelenggaraan pendidikan yang sudah terbangun,” ucapnya.
Hapus kewenangan pemda
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asvinawati mempertanyakan munculnya rumusan sentralisasi penyelenggaraan pendidikan di RUU Cipta Kerja. Rumusan ini menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan izin penyelenggaraan pendidikan.
Dosen hukum Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha, Syahnan Palipi, menilai semangat RUU Cipta Kerja condong ke penanganan hambatan investasi dan bisnis. Dengan dimasukkannya urusan pendidikan ke dalam subkluster RUU Cipta Kerja, perjuangan tenaga pendidik semakin panjang.
”Kita sudah lama berjuang agar kesejahteraan tenaga pendidik naik karena masih ada sejumlah guru honorer dan dosen yang hidup dengan gaji di bawah standar upah minimum. Belum lagi, perjuangan peningkatan kompetensi mereka dan mutu lembaga pendidikan sampai ke daerah-daerah,” paparnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, sampai sekarang, Komisi X DPR belum membahas subkluster pendidikan di RUU Cipta Kerja karena sudah menjadi ranah Badan Legislasi. Menurut dia, setiap masukan warga akan disampaikan ke Baleg.