Perjuangan pekerja rumah tangga untuk memiliki payung hukum yang mengakui pekerjaannya masih panjang. Meski sudah 16 tahun, Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT sampai saat ini belum juga dibahas dan disahkan DPR.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
Sejumlah tokoh agama mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Selain pengakuan terhadap martabat manusia, undang-undang itu akan melindungi pekerja rumah tangga yang belum mendapat pengakuan hukum.
Kehadiran undang-undang seharusnya tidak memberi ketakutan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pemberi kerja karena akan memberikan perlindungan seimbang kepada PRT dan pemberi kerja. Bahkan, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) akan mencegah praktik perbudakan modern dan mencegah pekerja rumah tangga anak-anak.
Harapan para tokoh dan pemimpin agama tersebut disampaikan dalam Diskusi Urgensi RUU PPRT yang digelar Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) secara daring, Selasa (1/9/2020). di Jakarta.
Diskusi yang dibuka Ketua Umum ICRP Siti Musdah Mulia diawali paparan dari Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini dan anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Santyawanti Mashudi; Pelaksana Tugas Direktur Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja Nora Kartika Setyaningrum; serta mendengarkan tanggapan para tokoh agama.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom menyatakan prihatin dengan kondisi PRT di Tanah Air. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya negara ini ialah melindungi segenap warga negara, menyejahterakan, dan mencerdaskan bangsa.
Kenyataannya, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, saat ini cukup banyak warga negara yang luput dari perlindungan, seperti PRT yang memiliki banyak kewajiban, tetapi hak-hak dan kesejahteraannya tidak terpenuhi.
”Jaminan kesehatan dan masa tua, kecelakaan kerja, sangat jauh dari hak-hak yang mestinya mereka peroleh, tetapi tidak ada. Kalaupun ada, itu sangat tergantung dari kemurahan hati pemberi kerja. Dalam negara hukum, tidak bisa nasib seseorang digantungkan pada kemurahan hati orang lain, negara, atau pemberi kerja. Seharusnya sistem perundang-undangan yang memberi jaminan terhadap semua itu,” kata Gomar.
Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menunda pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU. PGI siap ikut serta dalam upaya mendukung dan mengadvokasi supaya RUU tersebut secepatnya dibahas dan diputuskan.
Dukungan terhadap RUU PPRT juga disampaikan Dharmanadi Chandra (tokoh agama Buddha), Romo Andang Binawan (STF Driyarkara), Nyoman Udayana Sangging (tokoh agama Hindu), Liem Lilianty Lontoh (Matakin), Bambang Subagio (Penghayat Kepercayaan), dan Zulkifli (FKUB Kalimantan Barat).
Jaminan kesehatan dan masa tua, kecelakaan kerja, sangat jauh dari hak-hak yang mestinya mereka peroleh, tapi tidak ada.
Dharmanadi sepakat jika dalam RUU PPRT mengatur hak dan kewajiban yang seimbang antara penerima kerja (PRT) dan pemberi kerja. Selain kesejahteraan, aspek pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia juga perlu mendapat perhatian, jangan ada diskriminasi dan pelecehan.
”Kita berjuang untuk PRT, sisi pemberi kerja juga harus kita perhatikan,” ujar Dharmanadi seraya berharap pemberi kerja juga mengedukasi PRT agar pengetahuannya meningkat.
Harus seimbang
Liem Liliany menambahkan, aturan hukum yang mengatur RUU PRRT harus seimbang antara pemberi kerja dan penerima kerja. Namun, dia menegaskan, PRT bukanlah budak yang diperlakukan semena-mena, tetapi merupakan mitra kerja yang berhak mendapatkan perlakuan baik. ”Jadi, sama-sama menguntungkan, tidak ada pihak yang dirugikan,” ujar Liem.
Hapus perbudakan modern
Satyawanti menegaskan, RUU PPPRT perlu diperjuangkan karena hal itu merupakan bentuk pengakuan terhadap pekerjaan yang dilakukan PRT, termasuk memberikan kesejahteraan kepada PRT yang upahnya jauh dari layak. Apalagi jumlah PRT di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat dan hingga kini PRT di Indonesia merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara.
”Kalau RUU ini disahkan menjadi UU, akan menghapus perbudakan modern yang selama ini menimpa PRT. Mengapa ini jadi penting karena praktiknya tindakan serupa perbudakan masih terjadi, dalam bentuk yang lain juga, kawin paksa, kawin anak masih terjadi, termasuk perdagangan orang,” ujarnya.
Lita menyatakan, dukungan para tokoh dan pemimpin agama terhadap perjuangan PRT untuk mendapatkan payung hukum selama 16 tahun sangat penting. Selain perlindungan hukum, hingga kini PRT berada dalam garis kemiskinan.
”Ini hal yang ironis ketika dalam slogan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan disebutkan tidak seorang pun ditinggalkan. Ini 5 juta PRT keluarganya yang membutuhkan kesejahteraan,” ujarnya.