Di Tengah Pandemi, Anak Tetap Harus Mendapatkan Pembelajaran
Anak harus tetap memperoleh hak atas pendidikan meskipun berada di tengah kondisi darurat pandemi Covid-19. Aneka metode dan model pembelajaran tetap perlu terus diselenggarakan.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung diharapkan tidak menghalangi anak mendapatkan hak atas pendidikan. Mereka tetap harus mendapatkan pembelajaran meskipun kegiatan belajar tidak kondusif.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Maman Fathurrohman saat dihubungi, Rabu (26/8/2020), di Jakarta, menekankan, dalam kondisi khusus, seperti bencana alam dan pandemi, hal terpenting adalah kesehatan dan keselamatan peserta didik. Pemakaian kurikulum pun menyesuaikan dengan kondisi khusus itu. Penentuan lama penggunaan kurikulum sesuai dengan waktu berlangsungnya kondisi khusus.
Lama penggunaan bisa cepat atau panjang. Menyesuaikan kondisi khusus dan kebutuhan satuan pendidikan.
”Lama penggunaan bisa cepat atau panjang. Menyesuaikan kondisi khusus dan kebutuhan satuan pendidikan,” katanya.
Sebelumnya, pada awal Agustus 2020, Kemendikbud mengeluarkan kurikulum darurat dan modul pembelajaran bagi siswa pendidikan anak usia dini serta sekolah dasar. Kurikulum darurat yang dikeluarkan Kemendikbud itu mengacu pada dua peraturan. Pertama, Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Nomor 018/H/KR/2020 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada PAUD, Dikdas, dan Dikmen Berbentuk Sekolah Menengah Atas untuk Kondisi Khusus.
Kedua, Keputusan Direktur Jenderal Vokasi Nomor 27/D.D2/KR/2020 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Sekolah Menengah Kejuruan untuk Kondisi Khusus. Adapun modul pembelajaran diperuntukkan bagi jenjang pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Kemendikbud menekankan, kurikulum darurat ataupun modul pembelajaran itu bersifat opsional. Karena penerapan kurikulum darurat bersifat opsional, kini terdapat tiga bentuk implementasi kurikulum, yakni Kurikulum 2013 utuh, kurikulum darurat Kemendikbud, dan penyederhanaan Kurikulum 2013 yang dikemas sendiri oleh sekolah-sekolah.
Baca juga : Kemendikbud Siapkan Kurikulum Khusus Masa Pandemi
Maman mengatakan belum mempunyai data rinci jumlah satuan pendidikan yang menerapkan penyederhanaan Kurikulum 2013 versi Kemendikbud, penyederhanaan Kurikulum 2013 versi sekolah, ataupun penerapan utuh Kurikulum 2013. Sebagai gantinya, dia menyebut, sudah ada beberapa satuan pendidikan yang melapor melakukan penyederhanaan secara mandiri. Contohnya adalah satuan pendidikan di bawah Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama.
”Karena pandemi termasuk kondisi khusus, pelaksanaan pembelajaran yang terjadi bukan acuan menilai atau syarat naik jenjang kelas. Kami selalu ingatkan bahwa situasi sekarang adalah darurat sehingga hal terpenting anak dapat pembelajaran. Apabila ada kompetensi anak yang dirasa terlewat, mereka tetap naik jenjang kelas,” kata Maman.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kemendikbud Susanti Sufyadi menyampaikan, Keputusan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Nomor 018/H/KR/2020 menyederhanakan kompetensi inti dan kompetensi dasar pada Kurikulum 2013. Kompetensi dasar yang sama dikelompokkan. Ini berarti terjadi pengurangan materi, tetapi kompetensi yang harus dikuasai siswa tetap.
”AKM (asesmen kompetensi minimal) tetap jadi dilakukan tahun depan,” ujarnya saat sesi tanya jawab dalam webinar ”Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif”, akhir pekan lalu.
Kondisi beragam
Kepala SD Negeri 2 Patukangan, Kendal, Jawa Tengah, Ninik Chaeroni menceritakan, Dinas Pendidikan Kendal mengarahkan semua satuan pendidikan menerapkan penyederhanaan Kurikulum 2013 versi Kemendikbud. Alasannya, versi ini dianggap sesuai dengan kebutuhan sekolah serta kemampuan siswa.
”Mau tidak mau, kami harus mengubah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang sudah telanjur kami buat. Kami mempelajari kompetensi dasar yang terangkum dalam Keputusan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Nomor 018/H/KR/2020. Setelah itu, kami menyadari bahwa kami hanya bisa memanfaatkan buku tema dan pendamping yang sudah ada,” katanya.
Terkait pengukuran pencapaian siswa, Ninik mengatakan tetap menggunakan pedoman penilaian dari Kurikulum 2013. Namun, titik berat penilaian menyasar aspek literasi, numerasi, dan karakter siswa.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo berpendapat, pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang mampu menumbuhkan keterampilan berpikir dan keterampilan bersikap siswa. Akan tetapi, tidak semua tenaga pendidik memiliki pola pikir seperti itu.
Kondisi guru beraneka ragam, mulai dari kemampuan, kapasitas, sampai status kepegawaian mereka.
”Kondisi guru beraneka ragam, mulai dari kemampuan, kapasitas, sampai status kepegawaian mereka. Hasrat mereka menjadi guru pun berbeda-beda,” ujarnya.
Dalam situasi sebelum pandemi Covid-19, pembelajaran bermakna susah diterapkan karena latar belakang guru yang beraneka ragam. Padahal, Heru memandang, praktik pembelajaran bermakna lebih efektif dilakukan dalam kelas tatap muka fisik.
”Kalau menuntut pembelajaran bermakna berjalan maksimal di tengah pandemi, saya rasa perlu sejumlah persyaratan. Guru harus punya perspektif sama soal pembelajaran bermakna dulu. Apakah guru-guru di Indonesia sudah satu perspektif itu?” kata Heru.
Guru Besar Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Anita Lie memandang, kurikulum idealnya dirancang sebagai panduan bagi proses pembelajaran yang memenuhi kebutuhan anak. Ketika guru mengejar ketuntasan kurikulum dengan mengabaikan kebutuhan anak, artinya kurikulum menjadi jauh dari anak.
Keberagaman kebutuhan anak menjadi tantangan utama. Guru perlu mempunyai keterampilan agar bisa mengenali dan memetakan kebutuhan peserta didik mereka serta mendekatkan hakikat ideal kurikulum yang kembali kepada anak.
”Selama pandemi Covid-19 berlangsung, kebutuhan peserta didik semakin kompleks. Hal ini menuntut tambahan keterampilan guru. Penguasaan teknologi digital untuk pembelajaran adalah salah satu tambahan keterampilan,” kata Anita.
Cegah putus kuliah
Di jenjang pendidikan tinggi, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Paristiyanti Nuwardani menekankan, hal terpenting adalah tidak ada mahasiswa putus kuliah atau drop out selama pandemi Covid-19 berlangsung. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi gencar melobi operator-operator telekomunikasi seluler agar mau mengeluarkan paket data seluler khusus yang dipatok dengan harga murah.
Paristiyanti menyebutkan, berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, rata-rata kebutuhan kuota data seluler mahasiswa mencapai sekitar 50 gigabyte (GB) per bulan. Kebutuhan kuota sebanyak ini dipakai mengikuti PJJ.
Dari sisi daya beli, hasil survei menunjukkan, mahasiswa hanya mampu membeli paket data seluler sekitar Rp 100.000. Kemampuan ekonomi ini tidak cukup memenuhi kebutuhan sampai 50 GB per bulan.
”Baru-baru ini, kami meminta semua perguruan tinggi memvalidasi nomor layanan seluler mahasiswa agar memudahkan tindak lanjut kerja sama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan para operator telekomunikasi seluler. Kami ingin semua mahasiswa bisa tetap mengikuti pembelajaran,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, hasil survei pelaksanaan PJJ dilakukan sekitar April 2020 dan belum dilakukan kembali. Meski demikian, dia menduga, permasalahan PJJ masih tetap sama, yakni layanan telekomunikasi seluler tidak stabil, jaringan tidak merata, dan beban biaya paket data naik. Ketiga persoalan tersebut menjadi penghalang utama pelaksanaan PJJ metode daring.
Persoalan lain adalah PJJ metode daring sebatas dipahami sinkron atau tatap muka virtual dan langsung. Lalu, dosen sebatas memberikan tugas kepada mahasiswa.
Dugaan dia, persoalan tersebut sekarang semakin berkurang. Dosen sudah sadar untuk tidak melulu meminta PJJ metode daring model sinkron. Dosen mulai menitikberatkan pembelajaran bermakna kepada mahasiswa.
”Sejak pertengahan Juni hingga sekarang, kami telah menyelenggarakan pelatihan kepada sekitar 107.000 dosen. Pelatihan fokus meningkatkan kapasitas dan kemampuan dosen dalam menyelenggarakan PJJ,” kata Nizam.
Dia menyampaikan, Kemendikbud telah berkoordinasi dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mencari solusi atas belum meratanya jaringan akses telekomunikasi di daerah pelosok. Dia mengakui, masih banyak sekolah dasar yang belum terlayani jaringan akses telekomunikasi.
Adapun untuk masalah keterbatasan gawai, Nizam menyebut, Kemendikbud sedang mencari solusi. Menyediakan gawai butuh biaya besar. Kemendikbud mendorong agar PJJ metode luring dijadikan solusi, seperti praktik guru kunjung dan modul pembelajaran.
Nizam menambahkan, akan ada program kampus mengajar. Program ini nantinya akan membantu siswa tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, dan pendidikan menengah agar tetap bisa belajar pada saat pandemi Covid-19.
Chief Enterprise and SME Officer XL Axiata Febby Saliyanto mengatakan, saat ini tingkat keterjangkauan layanan seluler XL Axiata telah mencapai 95 persen. XL Axiata berpartisipasi dalam program pembangunan pemancar di lebih dari 350 lokasi daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) milik Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kemenkominfo.
Dia mengklaim, sejak belajar di rumah ditetapkan Maret 2020, XL Axiata telah menawarkan program paket data khusus untuk mengakses aplikasi konferensi video, laman pembelajaran, dan sistem manajemen sekolah. XL Axiata bekerja sama dengan perusahaan teknologi yang punya solusi untuk dunia pendidikan, misalnya Microsoft dan Google.
Baca juga : Tantangan Perguruan Tinggi: Untuk Apa Bayar Mahal jika Hanya Daring?
”Saat ini, kami telah bekerja sama dengan sekitar 200 institusi pendidikan. Sekitar 250.000 mahasiswa/siswa sudah berlangganan paket data khusus untuk PJJ,” ucapnya.