Suara Kaum Sarinah Menggugat Kemanusiaan diharapkan menggugah para wakil rakyat sehingga bisa secepatnya mewujudkan UU PPRT. Cukup sudah ”Kaum Sarinah” menanti 16 tahun.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Momentum Hari Internasional Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya yang jatuh pada 23 Agustus 2020 dimanfaatkan oleh para pekerja rumah tangga untuk menyuarakan aspirasinya. Melalui surat terbuka yang ditujukan kepada pemimpin bangsa dan wakil rakyat di parlemen, mereka berharap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera dibahas dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat.
”Kami adalah kaum ’Sarinah’. Kami seperti Sarinah yang mengasuh Presiden Soekarno sewaktu kecil, dengan penuh perhatian, tanggung jawab, dan cinta kasih. Namun, kami kaum ’Sarinah’ ini keberadaannya dianggap tidak penting. Apa yang dilakukan dengan sepenuh hati itu tidak dihargai.”
Demikian salah satu penggalan surat dalam surat terbuka yang dibacakan dalam konferensi pers ”Kaum Sarinah Menggugat Kemanusiaan” pada Minggu (23/8/2020) yang diselenggarakan secara daring oleh Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pembacaan surat para pekerja rumah tangga (PRT) dari sejumlah kota, seperti Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar, yang diwakili Noni Safrida, Sri Murtini, dan Titin, dilakukan secara bergantian.
Dalam ”Surat Kaum Sarinah Menggugat Kemanusiaan” tersebut, para PRT menyatakan Peringatan Hari Kemerdekaan Ke-75 RI juga menggugah para wakil rakyat untuk mewujudkan perjuangan panjang mereka selama 16 tahun berjuang untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, sebagai wujud perikemanusiaan.
Koordinator Nasional JALA PRT Lita Anggraini memilih Hari Internasional Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusannya untuk menyuarakan kembali pentingnya RUU PPRT. Ini mengingat di Indonesia yang sudah merdeka 75 tahun, masih terjadi situasi perbudakan modern.
Mayoritas PRT adalah perempuan miskin yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. (Lita Anggraini)
”Itu terjadi pada kawan-kawan PRT di Tanah Air yang berjumlah 4,2 juta berdasarkan data ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015, dan kemungkinan besar pada 2020 ini sudah berjumlah 5 juta. Mayoritas PRT adalah perempuan miskin yang bekerja untuk menghidupi keluarganya,” kata Lita.
Mengapa memilih tema Kaum Sarinah Menggugat Kemanusiaan? Lita menegaskan, peringatan Hari Kemerdekaan Ke-75 RI mengingatkan pada proklamator Presiden Soekarno, yang dalam pesannya juga mengangkat tentang Sarinah. Bahkan, namanya diabadikan menjadi gedung di ibu kota Indonesia.
”Tidak banyak yang tahu, siapa Sarinah. Sarinah adalah pekerja rumah tangga, pengasuh masa kecilnya Presiden Soekarno, dan peran Sarinah sangat dihargai Presiden Soekarno. Maka, pesan inilah yang ingin kami sampaikan kepada pemimpin negeri dan wakil rakyat,” papar Lita.
Lita menegaskan, UU PPRT sudah disusun sejak 1998 dengan berbagai kajian dan diajukan ke DPR semenjak 2004. Namun, hingga 2020, periode kepemimpinan DPR sudah berganti empat kali, perjalanan UU PPRT masih tidak mengalami kemajuan. Sempat dibahas 2010-2014, bahkan anggota DPR sudah studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina, tetapi mandek lagi.
Tahun 2020, ada angin segar kembali hadir, saat UU PPRT masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dan dibahas di Badan Legislasi DPR. Dalam pleno 1 Juli 2020, sudah ditetapkan RUU PPRT akan dibawa ke rapat paripurna sebagai RUU inisiatif. Namun, perjalanannya terganjal sejumlah anggota DPR yang tidak setuju RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR.
”Mengingat situasi dan kondisi PRT yang tidak layak, tidak ada libur, tidak ada kejelasan jam kerja, dan rentan kekerasan, kami memohon RUU PPRT segera dibahas dan disahkan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan UU ini karena menjamin PRT ataupun pemberi kerja,” ujar Lita.
Selain dari JALA PRT, dukungan untuk RUU PPRT juga diberikan Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia, Sekretaris Jenderal KPI Mike Verawati, dan komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi.
Musdah Mulia berharap semua bentuk perbudakan, apa pun bentuknya, betul-betul dihapus dari permukaan bumi. Sebab, perjuangan menghapus perbudakan tidak pernah selesai sejak zaman dulu, termasuk yang dialami PRT saat ini.
”Dalam konteks warga negara, PRT adalah warga negara Indonesia seharusnya mendapatkan hak-haknya, pemerintah dan wakil rakyat seharusnya memikirkan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi perlindungan warga negara harus diupayakan,” paparnya.
Karena itu, perlindungan terhadap PRT juga perlu mendapat perhatian. Tanpa ada peraturan atau UU, perlindungan terhadap PRT tidak akan terwujud. Maka, RUU PPRT menjadi nyata sebagai bentuk konkret dari perlindungan negara. Musdah mengingatkan jangan pernah berpikir: PRT tidak ada partisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, memandang PRT dari sisi kemanusiaan, adalah sangat penting. Sebab, menurut Mike, apa yang dialami para PRT selama ini juga merupakan bentuk perbudakan modern. Apalagi, sekitar 98 persen lebih adalah perempuan. Perbudakan modern sangat nyata, karena itulah penting untuk menyuarakan penghapusan perbudakan.
Fakta-fakta yang muncul dalam situasi PRT saat ini adalah mereka belum mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari pekerja, entitas bangsa yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan hak dasar yang sama dengan warga negara yang lain. Diskriminasi masih terus berlangsung, terlihat dari upah yang tidak layak, tidak ada jam kerja, serta tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya.
Kelompok paling rentan
Komnas Perempuan dalam pernyataan sikap menyatakan, UU PRT merupakan upaya menghapus praktik perbudakan modern karena PRT adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami praktik perbudakan modern akibat jenis pekerjaannya. Hal itu terjadi karena belum ada adanya pengakuan dan jaminan perlindungan hukum terhadap pekerjaan tersebut.
”Sejauh ini, hubungan PRT dengan pemberi kerja lebih dipandang sebagai hubungan belas kasihan dan kekeluargaan dan bukan hubungan pekerja dengan pemberi kerja yang diatur perundang-undangan,” papar Satyawanti.
Karena itulah, Komnas Perempuan secara khusus memberikan perhatian pada praktik serupa perbudakan yang masih dialami oleh pekerja rumah tangga, baik yang terjadi di dalam negeri maupun PRT migran Indonesia. Hingga kini kondisi buruk yang dialami PRT cenderung tidak mengalami perbaikan.
Pada 2019, tercatat 317 kasus kekerasan terhadap PRT berdasarkan pengaduan yang dihimpun oleh JALA PRT Indonesia. Pada 2018, angka kekerasan terhadap PRT tercatat 427 kasus, lebih tinggi jika dibandingkan pada 2017, yaitu 342 kasus.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong DPR agar tidak menunda lagi menetapkan RUU Perlindungan PRT sebagai RUU Inisiatif DPR dan mengesahkannya sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Tenaga Kerja juga diharapkan memberikan perhatian khusus kepada PRT, termasuk untuk mencegah PRT anak, mengingat kerentanan berlapisnya. Adapun masyarakat luas dan media untuk mendukung pengesahan RUU PPRT dan mengawasi pembahasan RUU Perlindungan PRT di DPR.
Suara ”Kaum Sarinah Menggugat Kemanusiaan” diharapkan menggugah para wakil rakyat sehingga bisa secepatnya mewujudkan UU PPRT. Cukup sudah Kaum ”Sarinah” menanti 16 tahun.