Balada Guru Honorer di Masa Pandemi
Selama bertahun-tahun, sejumlah guru honorer tidak mendapatkan kesempatan diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan honor layak. Padahal, pengabdian mereka kadang melebihi guru PNS, termasuk di masa pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat besar bagi dunia pendidikan, terutama sekolah-sekolah di wilayah perdesaan, yang jauh dari kota. Para guru harus memutar otak, mencari cara terbaik ketika pembelajaran tidak bisa dilakukan di sekolah dan pembelajaran daring pun tidak bisa jalan. Satu-satunya cara yang ditempuh adalah pembelajar luring, yakni mengunjungi langsung para siswa di rumah.
Belajar dari rumah merupakan pilihan saat ini demi mencegah penularan virus korona baru. Akan tetapi, di balik pembelajaran luring (luar jaringan) atau dari rumah-rumah siswa, sejumlah guru di perdesaan di wilayah Indonesia timur menghadapi situasi khusus. Kondisi sulit terutama dihadapi para guru yang berstatus honorer, dengan gaji yang sangat kecil, jauh dari kelayakan.
Aswanto (42), misalnya. Guru honorer di SD Negeri 13 Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ini semenjak masa pandemi Covid-19 harus mengatur sedemikian rupa keuangan keluarganya. Sementara gaji yang diterimanya hanya Rp 750.000 per bulan (yang diterima tiga bulan sekali). Gaji sebesar itu pun baru empat tahun terakhir setelah dia ikut program guru daerah terpencil. Sebelumnya dia hanya terima gaji Rp 150.000 per bulan.
Bagaimana caranya kita mencari uang untuk beli bensin karena rumah siswa jauh-jauh. (Aswanto)
”Bagaimana caranya kita mencari uang untuk beli bensin karena rumah siswa jauh-jauh. Saya satu hari bisa keliling sekitar tujuh kilometer dari rumah saya karena ada yang rumahnya di gunung-gunung,” ujar lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu tahun 2003, yang sudah menjadi guru honorer selama 15 tahun.
Dalam sehari, Aswanto membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 1 liter dengan harga Rp 10.000. Dalam sebulan, dia setidaknya menyiapkan dana untuk BBM sebesar Rp 250.000. ”Kadang saya biasa ba utang pa orang yang bajual (berutang kepada penjual) bensin. Nanti setelah honor keluar saya lunasi utangnya. Belum lagi, saya harus memikirkan susu untuk anak bungsu saya,” ujarnya saat diwawancara, Kamis (13/8/2020).
Sebelum pandemi saja, Aswanto dan Erlina (38), istrinya yang juga tenaga honorer di SD lain, sudah hidup pas-pasan. Meskipun istrinya sama-sama guru honorer, gajinya hanya sekitar Rp 150.000 per bulan. Padahal, mereka memiliki empat anak, yang sulung kelas II SMA, anak kedua 12 tahun tetapi difabel, anak ketiga 6 tahun, dan yang bungsu 1 tahun 4 bulan. Namun, anak keduanya, dua pekan lalu baru meninggal.
Baca juga: Saat Pemulihan Ekonomi, Perusahaan Diharapkan Rekrut Kembali Korban PHK
Aswanto memaparkan, kondisi perekonomian terasa semakin sulit seiring tidak ada kepastian kapan pandemi berakhir. Meski harus berutang atau minta tolong kepada saudara. Dulu, sebelum pandemi, istrinya masih bisa cari pendapatan tambahan dengan menjual kerudung, tetapi sekarang tidak mungkin karena ke kota dulu untuk membeli kerudung.
Kendati impiannya menjadi pegawai negeri sipil tak tercapai, semangat Aswanto sebagai pendidik tak pernah pudar, apalagi kendur. Bahkan di masa pandemi Covid-19 pun, semangatnya tetap menyala meskipun situasi ekonomi mendera keluarganya. Sebagai guru honorer, dia tidak mungkin malas-malasan karena statusnya bisa sewaktu-waktu diputus.
”Sejak 2005 saya empat kali ikut tes pengangkatan pegawai negeri sipil, tetapi tidak pernah lolos. Lalu muncul peraturan baru yang usia 35 tahun ke atas tidak bisa mengikuti calon pegawai negeri sipil, ya terpaksa tinggal pasrah saya sampai sekarang,” ujarnya.
Baca juga: PHK Bisa Dihindari dan Tidak Boleh Sewenang-Wenang
Hal yang sama juga dialami Sriyani Wongkar (27), guru honorer di SD Inpres Boyongpante, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Lulusan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Manado, tahun 2016 ini sudah empat tahun menjadi guru honorer, dengan gaji per bulan Rp 500.000, yang diterima setiap empat bulan sekali.
Di sekolahnya, Sriyani menjadi guru kelas II. Pandemi memberikan kesulitan tersendiri bagi Sriyani. Selama ini tiap hari Sriyani pulang-pergi dari rumah ke sekolah dengan menggunakan angkutan desa selama 30 menit. Biaya transportasi Rp 20.000 per hari, belum ditambah makan siang. Untuk transportasi dan makan siang, gaji honorernya kadang tidak cukup.
Kalau hanya mengandalkan honorer, enggak akan cukup, harus ada (pendapatan) sampingan. (Sriyani)
Sementara di masa Covid-19, pengeluarannya bertambah, karena dalam sebulan setidaknya dia membutuhkan pulsa sebesar Rp 100.000. Belum lagi dia harus mengeluarkan dana untuk administrasi pendukung mengajar, seperti biaya fotokopi rencana pembelajaran, kisi-kisi, dan jurnal. ”Kalau hanya mengandalkan honorer, enggak akan cukup, harus ada (pendapatan) sampingan,” ujar Sriyani yang membuat kue-kue dan dijual kepada masyarakat sekitar.
Sama seperti Aswanto, bagi Sriyani, menjadi guru honorer harus siap mengajar dalam berbagai kondisi, termasuk pandemi. Berbeda dengan kota-kota besar yang bisa menyelenggarakan pembelajaran daring, di desa seperti Boyongpante tidak mungkin model itu bisa dilakukan. Selain, sinyal tidak stabil, orangtua muridnya yang sebagian besar nelayan kecil tidak setiap saat bisa membeli kuota internet.
Baca juga: Beban Guru Makin Bertambah Selama Pandemi Covid-19
Kondisi sulit guru-guru honor di daerah terpencil juga dirasakan para guru di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Hasyim, Kepala SMP Negeri 6 Pulau Haruku di Desa Rohomoni mengungkapkan, saat ini di sekolahnya ada 11 guru honorer, dengan gaji per bulan Rp 450.000-Rp.500.000. Itu pun bergantung pada dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima sekolahnya.
”Ada yang sudah 15 tahun jadi honorer, dan rata-rata sudah berkeluarga. Tapi mereka bekerja dengan semangat. Kami saja yang PNS, kadang-kadang kerja tidak maksimal. Dengan kondisi dana BOS yang tidak besar, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Karena mau cari anggaran tambahan di mana? Apalagi kondisi saat ini, guru susah, orangtua juga susah,” kata Hasyim.
Harus ada solusi
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Tety Sulastri mengungkapkan, selama ini FGII menerima berbagai keluhan para guru, terutama guru-guru honorer di seluruh Tanah Air, yang terpuruk selama masa pandemi. Suara para guru honorer sudah disuarakan bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah mengabdi menjadi guru honorer selama 20-30 tahun. ”Saya selalu memberikan semangat agar terus mengabdi demi kepentingan anak-anak. Saya berharap kepada pemerintah ada solusi untuk mereka,” ujar Tety.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim saat dihubungi terpisah, di Jakarta, mengatakan, selama ini guru honorer umumnya bukan dibayar per bulan, tetapi mereka dibayar sesuai jam mengajar mereka atau per jam. Misalnya, di Sulawesi Selatan rata-rata honor guru honorer Rp 6.000 per jam atau Rp 10.000 per jam untuk jenjang guru SMA atau SMK. Maka, total honor yang diberikan sekolah disesuaikan dengan jam mengajar mereka.
Selama masa pandemi Covid-19, jam mengajar guru jauh berkurang. Kalaupun ada di antara guru honorer yang mendatangi siswa sebagai guru kunjung, perhitungan jam mengajarnya tidak jelas sehingga sekolah juga tidak punya standar harus memberikan nilai honor mereka.
Baca juga: Batasan Pembayaran Gaji Guru Honorer Ditingkatkan
Kendati ada regulasi pemerintah yang merelaksasi dana BOS bisa dipakai 100 persen untuk honor, tetap saja gaji guru honorer dihitung berdasarkan jam mereka mengajar. Ditambah lagi, saat ini, sekolah membutuhkan dana BOS untuk kebutuhan di luar pembayaran guru honorer.
Tidak hanya itu, kebijakan di tiap daerah berbeda-beda. Provinsi DKI Jakarta, misalnya, nilai honor guru honorer sama dengan upah minimum provinsi. Di Makassar, Sulawesi Selatan, tenaga honorer mendapat Rp 1 juta per bulan, dan dipotong iuran jaminan sosial.
”Karena guru honorer tak punya dasar hukum, statusnya tidak jelas, pola rekrutmennya serampangan, tetapi mereka dipekerjakan oleh negara. Masalah kesejahteraan honorer memang luar biasa karena ketidaktegasan pemerintah,” ujar Ramli.
Selain membuat regulasi terkait siapa saja yang berhak mengajar di sekolah, kemampuan negara membayar honor dan berapa sesungguhnya kebutuhan guru juga harus dihitung. Setidaknya, harus dipastikan honor guru sesuai pemenuhan kebutuhan dasar, misalnya sesuai upah minimum regional, baru membuat tambahan pendapatan lain berupa tunjangan profesi.
Alternatif lain adalah pengangkatan guru PNS atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dihentikan, tetapi pengangkatan guru profesional dimaksimalkan dan diperketat.
Praktisi pendidikan Arief Rachman di sela-sela webinar ”Inisiatif Penggerak Pendidikan dalam Memimpin Pembelajaran” menegaskan perjuangan para guru honorer yang mengajar selama pandemi Covid-19 harus dihargai. ”Relaksasi dana bantuan operasional untuk bayar honor guru semestinya dioptimalkan,” katanya.
Ketua Dewan Pembina Forum Honorer Indonesia (FHI) Hasbi mengatakan, pemerintah daerah seharusnya tidak boleh mengangkat guru honorer. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon PNS.
Baca juga: Guru Pun Ada yang Tak Punya Ponsel
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluarkan sejumlah aturan yang menyatakan BOS Afirmasi dan BOS Kinerja dapat digunakan untuk kegiatan yang sama dengan BOS Reguler selama masa pandemi Covid-19. Penggunaannya bisa untuk pembayaran guru honorer, pembayaran tenaga kependidikan jika dana masih tersedia, belanja kebutuhan belajar dari rumah, layanan pendidikan daring, dan keperluan peralatan kebersihan/kesehatan.
Relaksasi BOS Afirmasi dan BOS Kinerja bisa membantu sekolah swasta yang mengalami permasalahan dana sehingga bisa menjaga sekolah swasta tidak tutup karena krisis finansial selama pandemi.