Eva Evi Jualan Kerupuk hingga Larut Malam demi Makan Keluarga dan Paket Data
Bagi sebagian siswa dan orangtua di ibu kota Jakarta, pembelajaran jarak jauh bukan perkara mudah. Baik anak maupun orangtua harus rela mencari uang demi makan sehari-hari. Kalau ada uang sisa, baru paket data terbeli.

Senin (10/8/2020) malam, Eva Kembar Arum (11) dan Evi Kembar Sekti (11) duduk berjualan kerupuk rambak di Jalan Anggrek Rosliana Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat.
Senin (10/8/2020) malam, Eva Kembar Arum (11) dan Evi Kembar Sekti (11) duduk bersila di pinggir Jalan Anggrek Rosliana Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat. Puluhan plastik berisi kacang dan kerupuk rambak tertata rapi di sebuah keranjang di hadapan anak kembar tersebut.
Hampir setiap malam, terutama selama pandemi Covid-19 ini, Eva dan Evi selalu berjualan di sana. Kedua siswi kelas VI SD Negeri Kemanggisan 01 ini harus membantu mencari uang untuk keluarga. Adapun bapak-ibu mereka bergantian berjualan kopi panas di halte Slipi Petamburan, Jakarta Pusat, pukul 10.00-23.00.
Eva dan Evi berjalan kaki dari rumahnya di Jalan Anggrek Neli Murni Kemanggisan, Jakarta Barat, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari lokasi jualan mereka. Berangkat pukul 19.00, Eva dan Evi biasanya pulang sekitar pukul 23.00.
”Pagi kan kami belajar. Siang sampai sore jagain adik yang masih tiga tahun karena ibu jualan sampai sore,” kata Evi.
Baca juga: Pembukaan Sekolah di Zona Kuning Berisiko
Hasil penjualan kerupuk dan kacang tersebut sangat menentukan bisa atau tidaknya mereka mengikuti pembelajaran jarak jauh. Sebab, jangankan untuk membeli paket data, penghasilan orangtua mereka kini sering kali mentok untuk biaya makan Eva, Evi, empat saudara kandung, serta orangtua mereka.
”Karena sekarang bapak dagangannya lagi sepi, dagangan yang kami bawa dari rumah lebih banyak,” ungkap Eva dengan suara yang lirih.
Bukan sekali dua kali, Eva dan Evi harus melewatkan pembelajaran jarak jauh dari gurunya. Saat masih duduk di kelas V SD, misalnya, mereka sempat absen selama sepekan karena tidak memiliki paket data. ”Saya sering enggak masuk karena enggak bisa beli paket data. Jualan Bapak lagi sepi, kami juga lagi sepi,” kata Evi.
Hasil penjualan kerupuk dan kacang tersebut sangat menentukan bisa atau tidaknya mereka mengikuti pembelajaran jarak jauh. Sebab, jangankan untuk membeli paket data, penghasilan orangtua mereka kini sering kali mentok untuk biaya makan Eva, Evi, empat saudara kandung, serta orangtua mereka.
Di kelas V SD itu juga, kata Evi, pernah sekali mereka dibelikan paket data oleh pihak sekolah. ”Tetapi, kalau sekarang belum pernah dibeliin paket data lagi,” ujar Evi.
Kendati beranggotakan delapan anggota, keluarga Eva dan Evi hanya memiliki dua ponsel. Satu milik bapak, satu lagi milik kakak mereka yang tahun ini baru lulus SMA. Padahal, selain Eva dan Evi, masih ada satu kakak dan satu adik mereka yang juga mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Masalah tak selesai sampai di situ. Meski akhirnya kebagian memegang ponsel, Eva dan Evi mengaku masih kebingungan mengoperasikan ponsel. Bagi mereka, ponsel adalah barang mewah yang tidak bisa mereka pakai sewaktu-waktu.
Beberapa kali Eva dan Evi harus mendatangi guru ke sekolah untuk meminta bantuan. ”Kami enggak terbiasa pakai (ponsel). Jadi biasanya kami ke sekolah buat minta bantuin. Kadang harus nunggu karena guru piket sedang ngasih tugas anak lain,” kata Eva.
Keduanya mengaku tak sabar kembali masuk sekolah. Dengan begitu, mereka tak perlu lagi berjualan hingga larut malam untuk menghabiskan seabrek dagangan. Selain itu, Eva dan Evi juga tak harus berebut ponsel setiap hari.
Keduanya mengaku tak sabar untuk kembali masuk sekolah. Dengan begitu, mereka tak perlu lagi berjualan hingga larut malam untuk menghabiskan seabrek dagangan. Selain itu, Eva dan Evi juga tak harus berebut ponsel setiap hari.
Sebelum pandemi Covid-19, Eva dan Evi tak harus berjualan hingga pukul 23.00 karena dagangan yang mereka bawa tak sebanyak seperti sekarang. Situasinya berbeda semenjak Covid-19. Keduanya kerap pulang pukul 23.00 karena kerupuk yang dijual tak kunjung habis.
”Enggak tahu (berapa untungnya), pokoknya uangnya semua dikasih ke Bapak. Kami hanya tahu harganya,” kata mereka saat ditanya omzet harian. Adapun sebungkus kerupuk dihargai Rp 15.000.
Berbagi peran
Sementara itu, sudah sebulan ini, Santi (28), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat, harus membagi peran sebagai guru untuk anaknya, Muhammad David (7), dan sebagai penjual warung setiap pagi. Seperti terlihat pada Jumat (10/8/2020) pagi, ia terlihat mengejakan huruf-huruf untuk David sembari melayani pembeli.
Dengan sekuat tenaga, siswa kelas I SD Negeri Tomang 11 tersebut menuliskan huruf demi huruf yang dieja oleh sang ibu. Ia tak rela jika sang ibu beranjak dari sisinya walau hanya dalam hitungan detik. Berkali-kali David harus merengek saat ibu meninggalkannya untuk melayani pembeli.

Santi (28), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat, saat mengejakan huruf untuk sang anak, Muhammad David (7), siswa kelas I SD Negeri Tomang 11, Jumat (7/8/2020).
Meski terlihat sabar membagi perannya, Santi tak menampik jika dirinya kerepotan. ”Repot sih repot ya. Tapi mau gimana lagi. Apalagi dia masih kelas I SD jadi harus didampingi terus,” ujarnya, Jumat (10/8/2020).
Santi berharap sekolah kembali dibuka sesegera mungkin supaya dia bisa fokus berjualan di warung. Meski mengaku masih khawatir dengan risiko penularan Covid-19, Santi yakin pihak sekolah bisa menerapkan protokol kesehatan dengan baik.
”Ya anak harus diawasi supaya memakai masker terus. Jumlahnya siswa di kelasnya juga kalau bisa dikurangi,” katanya.
Pembukaan kembali sekolah juga dinantikan Anggraini (27), penjual minuman di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sudah sebulan ini, ia harus berjuang membelikan paket data bagi putrinya, Novianti (9), siswa kelas II SD Negeri Karet Tengsin 13 Pagi.
Santi berharap sekolah kembali dibuka sesegera mungkin supaya dia bisa fokus berjualan di warung. Meski mengaku masih khawatir dengan risiko penularan Covid-19, Santi yakin pihak sekolah bisa menerapkan protokol kesehatan dengan baik.
Sembari mendampingi putrinya belajar, ia tetap berjualan sejak pukul 07.00-19.00. ”Belajarnya juga di sini sambil jualan. Belum lagi ngurusin adiknya yang lari ke mana-mana,” katanya pada Kamis.
Selama pandemi Covid-19, Anggraini biasa mengantongi penghasilan kotor Rp 60.000-Rp Rp 80.000 per hari. Untuk makan dan jajan anaknya, biasanya uangnya tersisa sekitar Rp 20.000. Sisa uang tersebut kini harus ia tabung untuk membeli paket data setiap pekannya.
”Setiap hari Minggu biasanya beli paket data. Kalau enggak salah harganya Rp 15.000 untuk 1 gigabyte. Itu harus dicukup-cukupin buat sepekan,” ujar orangtua tunggal ini.

Novianti (9), siswa kelas II SD Negeri Karet Tengsin 13 Pagi, saat belajar di lapak milik ibunya, Anggraini, Jumat (7/8/2020).
Sekali salah mengelola keuangan, putrinya harus bersiap ketinggalan pelajaran, seperti yang terjadi pada Senin (3/8/2020). Karena tidak bisa menabung di pekan sebelumnya, ia baru bisa membelikan paket data untuk Novianti pada Selasa (4/8/2020).
”Senin terpaksa enggak ikut pelajaran. Gurunya maklum kalau masalah kuota. Kecuali kalau terlambat ngumpulin tugas,” katanya.
Agar bisa menggunakan paket data seirit mungkin, Anggraini selalu mematikan gawainya setelah Novianti selesai mengirimkan tugas. Apalagi, baterai gawai bekas seharga Rp 300.000 yang ia beli sekitar empat bulan lalu itu kini sudah tidak tahan lama.
Kendala tersebut, menurut Anggraini, hanya akan tuntas jika anaknya kembali bersekolah. Dengan begitu, ia juga tidak harus pusing membantu sang anak menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru.
”Semoga segera dibuka kembali. Saya pusing juga bantuin jawab soal-soalnya,” kata Anggraini sembari mengutak-atik kalkulator untuk menjawab soal matematika Novianti.
Berharap dibuka
Sementara itu, Kepala SD Negeri Grogol Utara 03 Sri Suryani mengatakan, hampir semua orangtua siswanya berharap sekolah kembali dibuka. Hal itu ia simpulkan seusai mengadakan pertemuan virtual bersama dengan perwakilan orangtua masing-masing kelas pada Selasa (4/8/2020).

Kepala SD Negeri Grogol Utara 03 Sri Suryani, saat ditemui di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
Dari 34 orangtua yang bergabung, semuanya sepakat jika sekolah kembali dibuka. Alasannya beragam. Ada yang kewalahan mengajari anak, ada pula yang mengeluhkan membengkaknya pengeluaran paket data.
”Kami mengundang masing-masing dua orangtua pada 17 kelas. Semuanya sepakat agar sekolah dibuka kembali,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (11/8/2020).
Seiring dengan hal tersebut, Sri telah menyiapkan sejumlah skema untuk sekolahnya, terutama membatasi jumlah siswa yang sebelumnya 32 siswa menjadi 16 siswa per kelas. Nantinya, sebagian siswa akan masuk kelas, sebagian lagi belajar dari rumah secara bergantian.
”Protokol kesehatan lain juga harus ditaati dengan ketat. Anak-anak harus memakai masker dan sering mencuci tangan. Kami sudah menyiapkan puluhan tempat cuci tangan di luar kelas dan hand sanitizer di dalam kelas,” katanya.
Sri juga akan mengajak sebagian orangtua menjadi pengawas di sekolah. Nantinya, orangtua akan mengawasi aktivitas siswa saat beraktivitas di luar kelas agar tetap menerapkan protokol kesehatan.
”Setiap akan masuk lingkungan sekolah, anak harus dipastikan sehat dengan pengecekan suhu tubuh,” katanya.

Sebelumnya, Kepala SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi Hidayat juga sudah melakukan asesmen kepada para orangtua siswa melalui Google Form. Asesmen tersebut bertujuan mengetahui pandangan orangtua jika sekolah kembali dibuka.
Dari 367 orangtua siswa, 93,73 persen atau 344 orangtua telah mengisi formulir tersebut. Hasilnya, 61,31 persen orangtua setuju pembelajaran tatap muka kembali dilakukan, sedangkan 32,42 persen tidak sependapat.
”Pertengahan Agustus ini kami akan buat asesmen lagi kepada orangtua yang belum sempat mengisi,” katanya.
Protokol kesehatan lain juga harus ditaati dengan ketat. Anak-anak harus memakai masker dan sering mencuci tangan. Kami sudah menyiapkan puluhan tempat cuci tangan di luar kelas dan hand sanitizer di dalam kelas.
Menurut Hidayat, asesmen tersebut menjadi prasyarat utama dibukanya kembali sekolah. Jika orangtua belum menghendaki, maka sekolah belum akan dibuka. ”Kalau, menurut saya, setidaknya untuk membuka sekolah harus ada 85 persen orangtua yang setuju,” katanya.
Sementara itu, Hidayat juga beberapa kali melakukan pertemuan virtual dengan orangtua siswa guna menanyakan hambatan selama mendampingi anak belajar di rumah. Beberapa orangtua mengaku anak mereka lebih tertib jika berada di sekolah ketimbang di rumah. ”Ada orangtua yang bilang kalau anak mereka lebih menurut dengan guru ketimbang dengan mereka,” katanya.

Kepala Sekolah SD Negeri Bendungan Hilir 09 Pagi, Hidayat.
Hidayat juga telah menyiapkan sejumlah hal jika nantinya sekolah benar-benar dibuka. Fasilitas cuci tangan, hand sanitizer, dan thermo gun sudah tersedia saat ini. Namun, yang terpenting adalah mencegah supaya siswa tidak berkerumun.
Salah satu skema yang tengah dirancang adalah dengan membagi sekolah menjadi dua sif setiap harinya. Dua sif dalam kelas tersebut akan berakhir maksimal pukul 15.00.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, keputusan pemerintah mengizinkan pembukaan sekolah pada zona kuning dan hijau harus disertai dengan persiapan pihak sekolah. Sebab, penerapan protokol yang tidak maksimal akan membahayakan anak.
KPAI telah mengawasi kesiapan SD, SMP, SMA/SMK di sejumlah wilayah, seperti Bekasi, Bogor, Depok, Bandung, Subang, Tangerang, Tangerang Selatan, dan DKI Jakarta, dalam melakukan pembelajaran tatap muka. Mereka juga mengawasi secara virtual kesiapan beberapa sekolah di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan Seluma, Bengkulu.

Retno Listyarti
Hasilnya, banyak sekolah yang belum siap secara infrastruktur ataupun SOP-nya. Dari 21 sekolah, baru satu sekolah yang dinyatakan siap. Selain itu, banyak sekolah yang masih belum membentuk tim gugus tugas Covid-19 di sekolahnya.
”Mayoritas sekolah masih bingung mempersiapkan apa saja untuk menuju kenormalan baru, mereka butuh bimbingan dan pengawasan,” kata Retno.
Keputusan pemerintah mengizinkan pembukaan sekolah pada zona kuning dan hijau harus disertai dengan persiapan pihak sekolah. Sebab, penerapan protokol yang tidak maksimal akan membahayakan anak.