Terdampak Pandemi, 24 Juta Siswa di Dunia Terancam Putus Sekolah
Dampak krisis akibat pandemi Covid-19 terhadap pendidikan sangat besar dan dalam jangka panjang bisa berdampak pada pembangunan berkelanjutan. Karena itu, pendidikan harus dimasukkan dalam paket stimulus Covid-19.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Krisis akibat pandemi Covid-19 telah menciptakan gangguan paling parah dalam sistem pendidikan di dunia sepanjang sejarah manusia. Dampak krisis ini mengancam hilangnya pembelajaran yang mungkin melampaui satu generasi siswa.
Jika pada 18 Juni 2020 Bank Dunia memperkirakan sekitar 7 juta siswa sekolah dasar hingga menengah atas terancam putus sekolah akibat pandemi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan—berdasarkan prediksi UNESCO—sekitar 24 juta siswa dari prasekolah hingga pendidikan tinggi.
Dari jumlah itu, sekitar 5,9 juta tinggal di Asia Selatan dan Asia Barat, dan sekitar 5,3 juta siswa berada di sub-Sahara Afrika. Kedua wilayah ini menghadapi tantangan pendidikan yang berat bahkan sejak sebelum pandemi.
”Kita telah menghadapi krisis pembelajaran sejak sebelum pandemi. Sekarang kita menghadapi bencana yang melemahkan kemajuan selama beberapa dekade dan memperburuk ketidaksetaraan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat meluncurkan Ringkasan Kebijakan Pendidikan pada Masa Covid-19 secara daring, Kamis (6/8/2020), seperti dikutip di laman UNESCO.
Data UNESCO menunjukkan, hampir 1,6 miliar pelajar di lebih dari 190 negara atau sekitar 94 persen populasi siswa dunia terdampak penutupan lembaga pendidikan pada puncak pandemi Covid-19. Saat ini, masih ada sekitar 1 miliar siswa yang terdampak. Sebanyak 100 negara belum mengumumkan tanggal pembukaan kembali sekolah.
Menurut UNESCO, pendidikan tinggi kemungkinan akan mengalami tingkat putus sekolah tertinggi dan proyeksi penurunan 3,5 persen dalam pendaftaran atau total sekitar 7,9 juta siswa. Setelah itu, pendidikan prasekolah atau pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan proyeksi penurunan partisipasi sebesar 2,8 persen atau total berkurang 5 juta anak.
Adapun angka putus sekolah di pendidikan dasar diperkirakan 0,27 persen siswa dan di pendidikan menengah 1,48 persen siswa. Ini setara 5,2 juta anak perempuan dan 5,7 juta anak laki-laki di jenjang pendidikan tersebut.
”Temuan ini menekankan kebutuhan mendesak untuk memastikan kesinambungan pembelajaran bagi semua dalam menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, khususnya yang paling rentan,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.
UNESCO mengingatkan negara-negara untuk melindungi investasi pendidikan di semua tingkatan. Menurut perkiraan UNESCO, pandemi ini akan meningkatkan kesenjangan dalam pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 yang disepakati secara internasional untuk pendidikan (tujuan keempat) di kelas bawah dan menengah ke bawah.
Penutupan sekolah tidak hanya merusak pendidikan, tetapi juga menghambat penyediaan layanan penting bagi anak-anak dan masyarakat, termasuk akses ke makanan bergizi dan kemampuan orangtua untuk pergi bekerja. Penutupan sekolah juga meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Karena itu, mencegah krisis belajar menjadi bencana generasi harus menjadi prioritas utama bagi para pemimpin dunia dan bagi para pemangku kepentingan di seluruh komunitas pendidikan. Ini penting karena pendidikan berperan dalam mendorong kemajuan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan perdamaian abadi.
Empat bidang kebijakan
Dalam Ringkasan Kebijakan Pendidikan tersebut, PBB merekomendasi di empat bidang untuk mengurangi efek pandemi. Pertama, menekan penularan Covid-19 dan merencanakan pembukaan kembali sekolah secara menyeluruh. Ini mencakup langkah-langkah kesehatan dan keselamatan, perhatian pada kebutuhan anak-anak yang terpinggirkan, dan perencanaan bersama serta konsultasi dengan guru, orangtua, dan masyarakat.
Kedua, melindungi pembiayaan pendidikan dan mengoordinasikan dampak pandemi. Meskipun ada kendala pengeluaran publik, otoritas pemerintah nasional harus melindungi anggaran pendidikan dan memasukkan pendidikan dalam paket stimulus Covid-19. Komunitas internasional harus melindungi bantuan pembangunan resmi untuk pendidikan.
Ketiga, memperkuat ketahanan sistem pendidikan untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Membangun kembali ketahanan membutuhkan fokus prioritas pada kesetaraan dan inklusi, dengan langkah-langkah untuk menangani kebutuhan peserta didik yang paling terpinggirkan dan rentan. Kapasitas manajemen risiko perlu diperkuat di semua tingkatan.
Keempat, menata ulang pendidikan dan mempercepat perubahan positif dalam proses belajar-mengajar. Skala inovasi yang dibuat dalam waktu singkat untuk memastikan kesinambungan pembelajaran membuktikan bahwa perubahan dapat terjadi dengan cepat. Mereka telah menetapkan dasar untuk menata ulang pendidikan dan membangun sistem yang lebih berwawasan ke depan, inklusif, fleksibel, dan tangguh.
Solusi harus mengatasi kerugian belajar, mencegah putus sekolah, terutama yang paling terpinggirkan, dan memastikan kesejahteraan sosial dan emosional siswa, guru, dan staf. Prioritas lain termasuk dukungan yang lebih baik untuk profesi guru, menghilangkan hambatan untuk konektivitas, investasi dalam teknologi digital, dan jalur pembelajaran yang fleksibel.