Janji Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengevaluasi program organisasi penggerak diragukan. Kalangan pendidik berharap janji evaluasi itu bukan sekadar untuk meredam polemik.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengevaluasi program organisasi penggerak belum mampu meredakan polemik tentang program peningkatan kualitas guru ini. Evaluasi yang akan dilakukan dinilai tidak menjawab permasalahan.
Rencana evaluasi berupa verifikasi yang lebih ketat mengenai kredibilitas organisasi peserta program organisasi penggerak (POP), misalnya, dinilai tidak jelas. Pasalnya, Kemendikbud menjamin organisasi yang lolos tetap menjadi peserta POP. Total ada 183 proposal atau program dari 156 organisasi yang lolos POP.
Padahal, keputusan evaluasi dilakukan setelah tiga organisasi besar mundur dari kepesertaan POP. Tiga organisasi itu, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia, menilai kriteria dan penetapan peserta POP tidak jelas dan proses seleksinya tidak transparan.
Ketua LP Ma’arif NU KH Z Arifin Junaidi dan Ketua Majalis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno secara terpisah pada 25 Juli 2020 dan 22 Juli 2020 mengatakan terkejut mengetahui organisasi-organisasi yang lolos verifikasi. Organisasinya sangat beragam, mulai dari paguyuban, perkumpulan, lembaga swadaya masyarakat, hingga yayasan. Selain itu, program-program yang diusung banyak yang tidak jelas.
Dari hasil penelusuran jaringan Muhammadiyah, banyak organisasi yang tidak jelas. Membaca program-program (proposal) yang diajukan, ternyata bukan program-program yang andal.
”Dari hasil penelusuran jaringan Muhammadiyah, banyak organisasi yang tidak jelas. Membaca program-program (proposal) yang diajukan, ternyata bukan program-program yang andal,” kata Kasiyarno dalam jumpa pers saat menjelaskan alasan mundur dari POP yang disiarkan Kompas TV pada 22 Juli 2020.
Berdasarkan daftar organisasi peserta POP yang terlampir dalam surat pemberitahuan hasil evaluasi proposal POP tertanggal 17 Juli 2020, di kategori kijang misalnya, ada proposal berjudul ”Sumbangan Paket Literasi dan Pelatihan Guru dan Kepala Sekolah” untuk SD. Sasaran program ini hanya di satu kabupaten.
Kemudian, di kategori macan ada proposal ”Organisasi Penggerak untuk Penguatan Sekolah dalam Kesiapan Asesmen Merdeka Belajar” untuk SMP dengan sasaran di tiga kabupaten. Di kategori gajah ada proposal ”Penguatan PAUD Ramah Anak di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah”.
Kategori kijang, macan, dan gajah tersebut berdasarkan besaran dana dan sasaran program. Kategori kijang mendapatkan bantuan maksimal Rp 1 miliar per tahun dengan sasaran 5-10 sekolah atau PAUD. Kategori macan maksimal Rp 5 miliar di 21-100 sekolah, dan kategori gajah maksimal Rp 20 miliar di lebih dari 100 sekolah.
Anggaran program ini lebih dari Rp 500 miliar, untuk melatih 50.000 guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD, dan SMP. Program pelatihan guru dinilai berhasil jika berhasil meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Gotong royong
Saat meluncurkan POP secara virtual pada 10 Maret 2020, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, program ini merupakan bentuk gotong royong Kemendikbud dengan organisasi penggerak untuk menggerakkan sekolah mencapai hasil belajar siswa yang lebih baik. ”Sudah hampir 20 tahun Indonesia belum berhasil meningkatkan hasil belajar siswa,” kata Nadiem.
Indikatornya, program asesmen siswa internasional (PISA) menunjukkan, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Bahkan, pada 2018, skor Indonesia turun dari 397 menjadi 371 untuk literasi, dari 386 menjadi 379 untuk matematika, dan dari 403 menjadi 397 untuk sains.
Kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh kompetensi guru. Data yang ada menunjukkan, kompetensi guru masih rendah. Berdasarkan Uji Kompetensi Guru secara nasional pada 2015, skor kompetensi guru hanya 56,69, sangat jauh dari angka ideal.
Rapor Pemetaan Mutu Pendidik 2019 pun masih merah, yaitu 5,41 untuk SD, 5,38 untuk SMP, 5,46 untuk SMA, dan 5,17 untuk SMK. Dari delapan indikator, skor indikator pendidik dan tenaga kependidikan di SD, SMP, dan SMA terendah, di SMK terendah kedua.
Guru memang membutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya. Namun, kata Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pelatihan yang dilakukan seharusnya berbasis persoalan, bukan berbasis target seperti di POP.
Dengan permasalahan pendidikan yang sangat beragam, perlu ada pemetaan untuk menentukan sasaran program. ”Persoalan guru dan sekolah di setiap daerah berbeda. Ini yang seharusnya dibenahi dulu. Ini di tataran praktis saja masih banyak masalah, banyak guru yang belum paham Kurikulum-13,” kata Satriwan, Minggu (26/7).
Para pemangku kepentingan pendidikan, menurut pakar pendidikan yang juga anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Doni Koesoema A, juga harus dilibatkan untuk menentukan pelatihan yang akan dilakukan. ”Semua organisasi dan komunitas harus dilibatkan, tetapi bukan seperti di program organisasi penggerak yang diverifikasi dengan (berdasar) proposal,” kata Doni, Jumat (24/7).
Secara administratif, program ini mensyaratkan organisasi yang mendaftar memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru. Organisasi tersebut juga telah menerapkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Model-model pelatihan itulah yang akan diterapkan dalam POP.
Namun, persyaratan yang ideal untuk mengikuti POP tidak tecermin pada hasil seleksi. ”Persyaratannya memang ideal, tetapi keputusannya, jika memperhatikan organisasi yang lolos meragukan apa yang diharapkan tercapai,” kata Wakil Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama, Aris Adi Leksono, Sabtu (25/7).
Gotong royong dan kolaborasi menggerakkan pendidikan tentu bukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan untuk menjalankan program yang sudah ditargetkan. Dialog dengan para pemangku kepentingan pendidikan untuk memetakan persoalan dan menyusun program akan membuahkan hasil yang lebih baik.
Karena itu, Arifin berharap, evaluasi yang dilakukan Kemendikbud benar-benar evaluasi untuk memperbaiki dan mematangkan program ini, bukan sekadar untuk meredam polemik.