Program Organisasi Penggerak menuai polemik. Bukan hanya terkait mundurnya tiga organisasi besar sebagai peserta POP, tetapi juga tentang POP yang tidak berbasis persoalan. Kemendikbud memutuskan mengevaluasi POP.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan kualitas guru harus berbasis persoalan serta dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan. Pelaksanaannya melibatkan semua lembaga dan organisasi yang berkompeten dalam pelatihan guru, demikian pula semua guru mempunyai kesempatan yang sama sesuai peta persoalan yang ada.
Kalangan organisasi guru dan pakar pendidikan menilai program organisasi penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih parsial dan sasarannya tidak jelas karena tidak berbasis persoalan. Keberlanjutan program ini juga tidak jelas karena mengandalkan dana hibah. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan agar tidak salah sasaran, baik dalam program maupun penggunaan anggarannya.
Pakar pendidikan yang juga anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Doni Koesoema A menilai POP lemah di bidang sistem karena berbasis program, bukan berbasis persoalan. Pendekatannya juga tidak sistematis dan terstruktur karena diserahkan kepada organisasi atau lembaga berdasar proposal yang diajukan tanpa verifikasi lapangan.
Transformasi pendidikan tidak bisa dikelola secara elitis. POP ini hanya menganggap beberapa organisasi (terpilih) saja yang mampu, yang lain tidak
“Petakan dulu persoalan guru, baru tawarkan ke organisasi-organisasi apa yang bisa mereka lakukan Karena itu (kalau mau melanjutkan POP), pendekatannya harus diubah. Transformasi pendidikan tidak bisa dikelola secara elitis. POP ini hanya menganggap beberapa organisasi (terpilih) saja yang mampu, yang lain tidak,” kata Doni di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mempertanyakan POP yang tidak transparan dan tidak berdasar permasalahan di lapangan. Dengan kondisi kualitas guru yang masih rendah, berdasarkan uji kompetensi guru baru 25 persen guru yang berkualitas, model pemberdayaan guru dengan POP tidak menjawab persoalan guru yang sesungguhnya.
“Apakah biaya besar bisa membawa peningkatan kualitas guru,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo dalam diskusi media secara daring, Jumat. Total anggaran untuk POP ini lebih dari Rp 500 miliar dengan alokasi anggaran Rp 1 miliar, Rp 5 miliar, dan Rp 20 miliar untuk masing-masing.
FSGI juga mempertanyakan organisasi-organisasi yang terpilih dalam POP. Salah satu indikator adalah program-program yang diusung oleh organisasi yang terpilih dalam POP. Berdasarkan daftar organisasi POP yang diperoleh FSGI, ada organisasi yang programnya pelatihan bahasa Inggris untuk bayi dan juga pelatihan guru melek film.
Mundurnya tiga organisasi besar dari kepesertaan POP semakin menunjukkan ada yang perlu dibenahi dalam program ini. Setelah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, kemarin Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga menyatakan mundur dari kepesertaan POP. Salah satu alasannya kriteria pemilihan dan penetapan peserta POP yang tidak jelas.
Disempurnakan
Menanggapi polemik yang berkembang terkait POP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem M Makarim mengatakan terima kasih atas masukan masyarakat untuk POP. Kemendikbud memutuskan melakukan evaluasi lanjutan untuk penyempurnaan program ini.
“Evaluasi kami harapkan berlangsung tiga hingga empat minggu. Bukan hanya evaluasi internal, tetapi juga melibatkan pakar pendidikan, organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, dan juga lembaga independen lainnya,” kata Nadiem dalam taklimat media secara daring Jumat malam.
Evaluasi ini, kata Nadiem, meliputi tiga hal. Pertama terkait integritas dan transparansi sistem perekrutan yang telah dilakukan. Kedua, memastikan semua organisasi yang telah lolos seleksi merupakan organisasi yang berintegritas. Ketiga, memastikan efektivitas pelaksanaan program selama masa pandemi Covid-19 ini.
“Kami akan semakin melibatkan organisasi-organisasi yang telah terlibat dan mempunyai andil dalam pendidikan. Organisasi-organisasi yang telah lolos (POP) tidak usah khawatir, program ini akan tetap terlaksana. Evaluasi ini untuk memastikan apa yang dilakukan sesuai dengan standar integritas,” kata Nadiem.
Program Organisasi Penggerak, kata Nadiem, bertujuan mencari bibit-bibit inovasi yang sudah dilakukan melalui gerakan masyarakat di bidang pendidikan. Kemendikbud membutuhkan kerja sama dengan masyarakat untuk menemukan bibit-bibit inovasi tersebut. Dari sekitar 4.400 organisasi yang mendaftar, terpilih 158 organisasi untuk melaksanakan program ini.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi dalam rilisnya mengatakan, perlu ada prioritas program untuk dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan. Ada sejumlah permasalahan terkait guru yang hingga kini belum ada penyelesaiannya.
PGRI meminta Kemendikbud memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh pada pemenuhan kekosongan guru akibat tidak ada rekrutmen selama 10 tahun terakhir. Kemendikbud juga perlu memprioritaskan penuntasan penerbitan surat keputusan guru honorer yang telah lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sejak awal 2019,
“Kemendikbud perlu membuka rekrutmen guru baru dengan memberikan kesempatan kepada honorer yang memenuhi syarat, dan perhatian terhadap kesejahteraan honorer yang selama ini mengisi kekurangan guru dan sangat terdampak di era pandemi ini,” kata Unifah dalam pernyataan tertulisnya.