Petakan Guru dan Siswa yang Terkendala Pembelajaran Jarak Jauh
Permasalahan pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran baru ini masih relatif sama dengan tiga bulan terakhir semester II tahun ajaran 2019/2020. Perlu ada pemetaan masalah untuk menentukan solusi yang tepat.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemetaan guru dan siswa yang terkendala dalam pembelajaran jarak jauh penting untuk menentukan intervensi yang tepat agar pembelajaran jarak jauh bisa lebih optimal pada masa pandemi Covid-19. Selama ini, pembelajaran jarak jauh, baik secara daring maupun luring, belum efektif karena terkendala sejumlah hal.
Di sekolah yang melaksanakan pembelajaran daring masih ada siswa yang tidak memiliki telepon pintar dan kesulitan mengakses internet karena faktor ekonomi. Sementara di sekolah yang melaksanakan pembelajaran secara luring, sejumlah guru kunjung kesulitan menjangkau siswa karena terkendala kondisi geografis.
Akibatnya, sejumlah siswa sama sekali tidak bisa mengikuti pembelajaran. Mengacu survei Kesiapan Sekolah Dasar Menghadapi Covid-19 yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 3-8 April 2020, ada 6 persen SD yang tidak melakukan pembelajaran daring ataupun luring. Kondisi ini, berdasarkan survei Wahana Visi Indonesia terhadap 943 anak di sembilan provinsi pada 12-18 Mei 2020, juga dialami lebih dari 300 anak (32 persen).
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kondisi siswa tanpa pembelajaran, antara lain, terjadi di Kabupaten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara). Selain itu, situasi serupa juga terjadi di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur, seperti di Kabupaten Ngada, Alor, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, serta di Papua, antara lain di Kabupaten Jayawijaya dan Keerom.
Karena itu, FSGI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk mendata jumlah siswa dan guru yang terkendala dalam pembelajaran jarak jauh. Kebijakan negara sangat dibutuhkan untuk mengintervensi kualitas pembelajaran jarak jauh.
Hambatan pembelajaran jarak jauh, menurut FSGI, bukan hanya keterbatasan akses internet dan listrik, melainkan juga kepemilikan gawai pintar. Di wilayah Jabodetabek, FSGI mendapat laporan, saat ini masih banyak siswa tak memiliki gawai pintar secara pribadi.
”Punya gawai hanya satu, itu pun dipegang orangtua. Alhasil, siswa tak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya di siang hari,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Metode guru kunjung pun, ujar Satriwan, banyak yang tidak efektif, terutama di jenjang SMP dan SMA/SMK, karena jumlah guru tidak memadai jika harus melayani semua siswa dan waktunya sangat terbatas. Acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis.
”Jika dibiarkan berlarut, disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin timpang, makin besar. Kewajiban pemerintah memperpendek ketimpangan kualitas pendidikan tersebut,” katanya.
Perlu solusi
Dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 15 Juli 2020, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, pandemi juga berdampak pada pendidikan. Kualitas pendidikan akan menurun dan jumlah anak putus sekolah akan bertambah.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifuddin mengapresiasi sejumlah kebijakan Kemendikbud untuk mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh, mulai dari relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) hingga program belajar di rumah melalui TVRI. Meskipun begitu, permasalahan masih banyak dan perlu dicarikan solusinya.
Namun, ”Kemendikbud belum memiliki informasi mengenai masalah yang dihadapi setiap satuan pendidikan (sekolah) dan peserta didik yang berkaitan dengan ketersediaan listrik, jaringan komunikasi, dan perangkat belajar,” katanya.
Menurut Hetifah, diperlukan terobosan dan komitmen yang cepat untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran jarak jauh. Kolaborasi antar-kementerian dan dengan pihak swasta harus dilakukan. ”Ini memang tidak mudah karena setiap kementerian terbiasa terkotak-kotak dengan program dan anggaran sendiri,” ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam pernyataan tertulis pada Kamis (23/7/2020) mengatakan, pembelajaran jarak jauh menjadi tantangan. ”Pada situasi pandemi dan adaptasi kebiasaan baru, kita jadi sadar bahwa belajar ternyata dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, dalam kondisi apa pun. Situasi yang sulit bukannya mematahkan semangat dalam belajar, tetapi justru semakin menguatkan,” tutur Nadiem.