Upaya mengakhiri perkawinan anak akan memberikan manfaat yang besar. Selain untuk pemberdayaan anak perempuan juga meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak, komunitas, bahkan bangsa.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan anak adalah pelanggaran fundamental hak asasi manusia yang merampas pendidikan, kesehatan, dan prospek jangka panjang anak-anak perempuan serta membawa berbagai risiko yang membahayakan anak. Jika perkawinan anak tidak dihapus, efek-efek yang membahayakan tersebut akan terus berlipat sehingga bisa merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Harga dan kerugian yang disebabkan dari perkawinan anak sangatlah besar. Sebab, semua dampak negatif perkawinan anak tidak hanya dirasakan oleh anak perempuan, tetapi dampak-dampak negatif tersebut akan meneruskan lingkaran kemiskinan dan praktik-praktik membahayakan di keluarga anak tersebut dan komunitasnya.
”Walaupun sulit memperhitungkan harga dari hak, pilihan, dan peluang setiap anak perempuan, upaya untuk mengukur kerugian potensi manusia mendapati bahwa harga ekonomi dari perkawinan anak sangatlah tinggi,” ujar Kepala Perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Anjali Sen, Kamis (2/6/2020), pada pembukaan Diskusi daring ”State of World Population (SWOP) 2020: Pencegahan Perkawinan Anak”. Diskusi ini digelar UFPA dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sekaligus menandai Peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2020.
Selain Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, diskusi yang dipandu redaktur senior harian Kompas, Ninuk M Pambudy, ini juga menghadirkan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo; Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani; Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum; Perwakilan UNFPA Indonesia Melania Hidayat; Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Alissa Wahid; dan penulis dan aktivis perempuan Kalis Mardiasih.
Anjali menyebutkan, menurut temuan Bank Dunia, di 12 negara dengan angka prevalensi perkawinan tinggi, kerugian modal manusia yang diakibatkan mencapai 63 miliar dollar AS dari tahun 2017 hingga 2030. ”Harga dari perkawinan anak begitu besarnya sehingga penghapusannya harus menjadi prioritas global,” kata Anjali.
Meskipun sudah ada kemajuan dalam peningkatan kesadaran terhadap dampak-dampak berbahaya dari perkawinan anak. Namun, itu belum cukup, apalagi dengan populasi dunia yang terus berkembang, sehingga akan lebih banyak lagi anak perempuan yang menghadapi bahaya-bahaya ini.
Perlakuan yang setara terhadap anak perempuan adalah kunci untuk membawa hasil-hasil kesetaraan.
Kendati solusi yang paling efektif untuk menghentikan praktik-praktik membahayakan ini masih belum ditemukan, Anjali berkeyakinan perlakuan yang setara terhadap anak perempuan adalah kunci untuk membawa hasil-hasil kesetaraan.
”Kita harus berhenti memperlakukan anak perempuan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan atau obyek untuk dikendalikan, dan memberikan anak perempuan hak dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Komunitas, pemerintah, perekonomian, dan sistem hukum semuanya punya peran masing-masing di sini,” katanya.
Anjali juga mengingatkan, pandemi Covid-19 yang berdampak pada semua aspek kehidupan mengakibatkan upaya penghentian perkawinan anak tertunda dan berpotensi mengakibatkan 13 juta perkawinan anak secara global antara tahun 2020 dan 2030.
Upaya mengakhiri perkawinan anak akan memberikan manfaat yang besar. Selain untuk pemberdayaan anak perempuan juga meningkatkan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan anak, komunitas, bahkan bangsa.
Karena itu, saat ini UNFPA sedang mengusahakan visi Tiga Nol di 2030 (Three Zeroes by 2030), yakni Nol Kematian Ibu, Nol Kebutuhan Keluarga Berencana yang Tidak Terpenuhi, dan Nol Kekerasan dan Praktik Membahayakan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan.
Nol perkawinan anak di 2030 juga bagian dari agenda untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) 2030. ”Kita tidak akan berhenti sampai ketiga nol tercapai,” kata Anjeli.
Ganggu tumbuh kembang
Bintang menyatakan, praktik perkawinan pelanggaran hak anak berdampak buruk pada tumbuh kembang anak di masa depan. Menurut data Badan Pusat Statistik 2018, ditemukan 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak, dan terdapat 20 provinsi dengan proporsi angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional. ”Perkawinan anak perlu jadi perhatian negara karena dampaknya masif, bahkan berpengaruh lintas generasi,” ujar Bintang.
Perkawinan anak berisiko mengakibatkan putus sekolah. Selanjutnya, pendidikan yang rendah akan berkorelasi pada pendapatan yang rendah sehingga anak akan memiliki beban baru untuk menafkahi keluarga. Selain itu, pernikahan anak juga memunculkan risiko naiknya angka pekerja anak yang kemudian menyumbang angka kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut, tetapi juga menciptakan kemiskinan untuk generasi berikutnya.
”Walaupun kemajuan yang sangat besar sudah kita capai dari segi kebijakan, tantangan untuk mencegah praktik perkawinan anak masih harus kita hadapi. Perkawinan anak merupakan masalah sosial yang kompleks yang perlu diselesaikan dari berbagai segi. salah satu tantangan terbesar adalah karena perkawinan anak sangat lekat dengan aspek tradisi budaya dan masalah ekonomi,” kata Bintang.
Sementara itu, Hasto mengungkapkan ada lima hal yang menjadi kritis ketika ada perkawinan anak. Pertama, pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu, terutama pertumbuhan tulang. Kedua, anak belum siap melakukan proses reproduksi dan berpotensi kanker mulut rahim ketika terlalu dini melakukan hubungan seksual. Ketiga, hak-hak pendidikan terampas. Keempat, tidak punya kesempatan untuk menolak ketika terjadinya kekerasan. Kelima, negara relatif dirugikan karena secara ekonomi perkawinan anak juga merugikan hampir 1,7 persen pendapatan negara bisa hilang.
Adapun, Alissa menyatakan, hingga kini perkawinan anak masih tinggi karena sejumlah faktor, yakni rendahnya tingkat pendidikan (terutama perempuan), kemiskinan, kemudahan nikah tidak tercatat dan isbat, mekanisme dispensasi nikah, dan justifikasi pandangan agama.
Selain itu, saat ini semakin banyak kampanye #nikahmuda di media sosial. Bahkan, jumlahnya lebih banyak ketimbang kampanye stop perkawinan anak. Sementara, perkawinan anak masih dianggap bukan isu penting bagi tokoh agama tokoh masyarakat, termasuk bagi pemerintah di tingkat lokal. ”Perkawinan anak mematahkan hampir setiap sendi kemaslahatan. Karena itu sebuah bencana yang harus dihindari,” kata Alissa.