Antisipasi Dampak Kesehatan Fisik dan Psikologis akibat Pemakaian Gawai pada Anak
Pembelajaran jarak jauh metode daring tidak terelakkan. Pandemi Covid-19 memaksa metode itu jadi cara utama belajar-mengajar. Implikasi psikis dan psikologi harus diantisipasi.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Pemerintah berharap segala kebutuhan pembelajaran jarak jauh harus disiapkan minimal selama satu semester mendatang untuk mengantisipasi persebaran Covid-19 yang belum usai. Dampak negatif model pembelajaran seperti itu terutama karena memakai medium dalam jaringan terhadap kondisi psikis dan psikologi anak juga semestinya diantisipasi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad saat menghadiri webinar Peluang dan Tantangan Pemakaian Gadget di Era Covid-19, Minggu (21/6/2020), di Jakarta, mengajak agar persiapan kebutuhan pembelajaran jarak jauh (PJJ) minimal selama satu semester ke depan disiapkan sejak sekarang. Pengalaman PJJ selama tiga bulan terakhir mesti dijadikan sebagai pelajaran.
Berdasarkan data.covid19.go.id per 15 Juni 2020, sebanyak 94 persen peserta didik tinggal di 429 kabupaten/kota yang masuk zona kuning, oranye, dan merah Covid-19. Ada kemungkinan data itu kini telah meningkat menjadi 95 persen.
Tahun ajaran 2020/2021 akan tetap dimulai sekitar pertengahan Juli 2020. Peserta didik yang tinggal di zona kuning, oranye, dan merah Covid-19 tetap melanjutkan belajar dari rumah.
Ada dua syarat PJJ, terutama metode daring, yang harus terpenuhi, yakni infrastruktur teknologi informasi komunikasi tersedia dan pulsa seluler tercukupi. Dia mengklaim, Kemendikbud telah berkali-kali berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika agar mendorong operator telekomunikasi memperluas jaringan akses. Kemendikbud juga sudah bekerja sama dengan operator telekomunikasi agar ada kuota gratis yang memudahkan PJJ. Dana bantuan operasional juga telah direlaksasi sehingga bisa dipakai memenuhi kebutuhan pulsa dan pembelajaran daring.
Berdasarkan survei acak Kemendikbud kepada sekitar 38.000 siswa di seluruh Indonesia, ditemukan hanya 38 persen di antaranya yang memiliki komputer jinjing dan komputer. Sementara itu, 82 persen responden telah mempunyai ponsel pintar. Hanya saja, mereka mengeluhkan ponsel pintar tersebut tidak bisa dipakai untuk pembelajaran yang interaktif.
Demikian pula guru-guru mereka belum sepenuhnya fasih PJJ metode daring. Akhirnya, ponsel pintar tersebut sekedar dipakai untuk berkomunikasi tentang pemberian tugas melalui aplikasi pesan instan.
Tantangan yang harus dihadapi pemerintah adalah guru dan siswa tidak memiliki gawai, akses terhadap internet, dan 60 persen guru belum siap PJJ metode daring.
Hamid mengakui, tantangan yang harus dihadapi pemerintah adalah guru dan siswa tidak memiliki gawai, akses terhadap internet, dan 60 persen guru belum siap PJJ metode daring. Untuk kesiapan guru, dia menyebut akan ada pelatihan.
Pengembang Teknologi Pendidikan Ahli Utama Kemendikbud Gogot Suharwoto menyampaikan, mengukur keberhasilan PJJ metode daring bisa melalui beberapa cara. Pertama, bentuk rancangan PJJ, kedua ada tidaknya pelatihan pemanfaatan teknologi bagi anak, dan ketiga sikap guru dalam memosisikan teknologi.
Bentuk penilaian kepada anak selama PJJ harus mengedepankan proses yang dilalui anak, bukan skor kuantitatif. Guru bisa menilai portofolio karya dan performa selama belajar.
”Kami beberapa kali menekankan agar pendidikan karakter anak harus selalu jadi fokus utama selama PJJ,” katanya.
Gogot menambahkan, Kemendikbud telah menyediakan platform Rumah Belajar dan Guru Berbagi yang bisa dipakai mempermudah penyelenggaraan PJJ. Untuk platform Rumah Belajar, khususnya, jumlah pengunjungnya sekarang telah mencapai 61 juta orang. Jumlah ini meningkat 300 persen dibandingkan sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Tak terelakkan
”Dinamika penerapan PJJ metode daring sudah terjadi sejak 2015. Saat itu, ada kelompok pro dan kontra bawa gawai di sekolah. Saat itu, setiap kelompok mempunyai opini kuat dampak buruk ataupun positif gawai untuk edukasi sehingga sampai terbit surat keputusan bersama dua menteri. Di tengah pandemi Covid-19, penggunaan gawai untuk anak menjadi tak terelakkan,” tutur Hamid.
Hamid menyadari adanya pengaruh negatif internet kepada anak. Dari sisi konten, internet menawarkan beragam konten yang berpotensi berdampak buruk ke anak. Blokir konten belum optimal karena akan selalu muncul konten baru yang lebih banyak. Ini berdasarkan pengalaman Kemendikbud berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyisir dan memblokir konten negatif.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (YARSI) Octaviani Indrasari Ranakusuma memandang, tidak semua tayangan edukasi berdampak positif terhadap perkembangan anak balita. Video yang diputar di program televisi dan aplikasi menawarkan keragaman konten, tetapi memiliki keterbatasan. Konten terbaik adalah lingkungan dan sekitarnya.
Dia mengatakan, generasi alfa yang kini balita ataupun sudah mengikuti PAUD lahir dari lingkungan sosial yang telah akrab dengan gawai. Orangtuanya pun terbiasa berkomunikasi sampai bekerja memakai gawai. Kendati demikian, apabila anak-anak tersebut terus-menerus menatap layar gawai, mereka kemungkinan menjadi miskin interaksi sosial.
Sementara saat anak berusia 6-8 tahun, kemampuan fisik dan motorik semakin berkembang. Di sekolah, mereka biasanya tumbuh lebih tangkas, bermain dalam kelompok, dan mau mencetak prestasi. Guru di sekolah perlu menjelaskan secara detail dampak negatif gawai ataupun internet. Sekolah bisa merangkul orangtua.
Menurut Octaviani, pembatasan pemakaian gawai untuk anak, terutama anak yang sudah masuk PAUD, tetap perlu. Di beberapa negara bahkan telah merilis panduan durasi anak PAUD menatap layar gawai, pembatasan konten, dan anjuran tetap mengajak anak berkegiatan langsung.
”Jika ketentuan pembatasan susah dilakukan, solusinya adalah co-viewing atau mendampingi anak saat mengakses gawai atau internet,” katanya.
Dari sisi kesehatan mata, Dokter Spesialis Mata Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Sylvia, mengatakan, hampir semua anak yang menatap layar gawai secara berlebihan berpotensi terkena dampak negatif berupa mata kering dan mata lelah. Dampak itu mengakibatkan mata anak mengalami miopi.
Oleh karena itu, selama anak menggunakan gawai untuk kepentingan apa pun, mereka harus mengupayakan agar jarak mata dengan layar tidak kurang dari 40 sentimeter, penerangan cukup, dan ada pembatasan durasi penggunaan. Anak juga harus diawasi cara tubuhnya ketika mengakses, diingatkan banyak minum air putih, serta cukup makan sayur dan buah-buahan.
”Hal tak kalah penting adalah selalu ajak mereka perbanyak aktivitas fisik,” kata Sylvia.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo Nurmiati Amir menekankan, hal yang harus diperhatikan orangtua dan guru adalah jangan sampai anak adiksi terhadap gawai ataupun internet. Adiksi merupakan kondisi medis yang ditandai dengan perilaku kompulsif terhadap stimulus yang menyenangkan meskipun dampaknya buruk. Jika adiksi terjadi, anak kemungkinan besar mengalami kehilangan motivasi, mengisolasi diri, dan tidak bahagia.
Kemampuan saraf berubah berdasarkan responsnya terhadap pengalaman. Adiksi terhadap gawai ataupun internet bisa dialihkan. Senada dengan Octaviani dan Sylvia, Nurmiati juga menyarankan agar orangtua dan guru menerapkan pembatasan durasi pemakaian dan mengajak anak tidak melupakan berkegiatan fisik.