Bahasa Indonesia seolah tak bisa dipegang. Kadang, ia begitu mudah sehingga orang asing bukan poliglot hanya butuh beberapa pekan bisa mahir berceloteh dan berhahahihi di pasar tradisional. Kadang, juga terkesan sulit.
Oleh
Samsudin Berlian
·3 menit baca
Susah atau gampang? Rumit atau sederhana? Bahasa Indonesia seolah-olah tak bisa dipegang. Kadang-kadang ia begitu mudah sehingga orang asing bukan poliglot hanya butuh beberapa minggu mahir berceloteh dan ber-hahahihi di pasar tradisional. Di waktu dan tempat lain, ia mengesankan begitu sulit sehingga pakar dan profesor pun sulit berbicara dan menulis secara ”baik dan benar”.
Seorang profesorku orang Amerika, pernah mendapatkan hadiah pertama lomba pidato dalam bahasa Indonesia di Jakarta, memberitahuku dia mengajarkan anaknya yang sedang berlibur-kunjung tiga frasa saja—terima kasih, maaf, apa—plus senyam-senyum dan onggak-angguk serta tunjak-tunjuk lalu melepaskannya keliling kampung dan semua tetangganya memuji-muji anaknya sebagai sangat fasih ber-Indonesia-ria.
Dengan napas sama dia mengeluh bahwa mahasiswi-mahasiswanya mengalami kesulitan besar menuliskan paper dan skripsi, bahkan tesis dan disertasi, dalam bahasa yang jelas dan memenuhi kaidah-kaidah mendasar. Bukan kaidah pelik atau jarang-terpakai, melainkan sekadar kaidah level pelajaran sekolah kelas 10.
Banyak orang, baik pakar bahasa, setengah-pakar, maupun seolah-olah-pakar, entah di dalam komentar sambil lalu atau di dalam esai superserius, menimpakan kutuk pada apa yang mereka sebut kebiasaan orang Indonesia meremehkan bahasa bangsa sendiri. Kebiasaan malas, tuduh mereka. Kebiasaan tak mau buka kamus, tuding mereka. Kebiasaan ”pokoknya orang ngerti”, geram mereka.
Ada pula yang menunjuk-nunjuk kebiasaan orang Indonesia berumit-rumit, bertele-tele, dan berewuh-pakewuh, seperti pesilat yang gerak serangnya selalu diarahkan ke atas ke bawah ke kanan ke kiri lawan tapi tak pernah dilancarkan ke muka dan dada lawan kecuali dari samping. Malah wajah mereka pun diarahkan ke mata langit dan ke pusar bumi tapi tidak ke mata lawan, cibir mereka.
Biasalah, sindirku, fitrah orang Indonesia. Suka merendah menyalahkan diri sendiri.
Dengan sedikit saja mendongakkan kepala melihat ke lawan-lawan bahasa kita, Inggris-Jerman-Prancis-Spanyol- Arab-Tionghoa, kita sebetulnya bisa menemukan alasan yang lebih normal dan lumrah. Eh, sebentar. Itu lawan dalam arti pesaing bahasa Indonesia dalam mendominasi pemakaian kata istilah, bahkan tata bahasa di dunia sekitar kita. Dalam konteks lain mereka tentu saja kawan dan rekan dalam upaya kita memahami, dan berinteraksi dengan, alam semesta dan manusia. Komunikasi dengan alam arwah diserahkan seluk-beluk dan pernak-perniknya kepada selera masing-masinglah.
Nah, bahasa-bahasa asing yang sekarang tampak amat stabil dan dominan itu, dulu tidak demikian. Abad-abad lalu, mereka semua, pada zamannya masing-masing, mengalami masa konsolidasi dan standardisasi yang penuh gejolak. China mengalami itu di masa sangat awal dalam sejarahnya dengan penyeragaman tulisan pada lebih dari 2.000 tahun lalu.
Bahasa-bahasa Eropa mengalaminya belum lama, baru beberapa ratus tahun lalu. Sebelum itu terjadi, orang kota yang berkunjung ke kampung orang lain—pergi-kampung bukan pulang-kampung—akan mengalami kesulitan komunikasi. Proses konsolidasi dan standardisasi ini penuh gejolak, sama sekali tak mulus. Eropa dibantu penemuan mesin cetak Gutenberg. Maka mereka yang memiliki akses pada percetakan menentukan nasib bahasa bangsa mereka. Golongan tak berdaya pun kalah. Bahasa Jerman hari ini misalnya sangat dipengaruhi Alkitab Luther, karya terjemahan Sang Reformator Protestan yang tentu saja mengutamakan dialek Jermannya sendiri.
Nah, apa yang sudah berlalu bagi mereka sekarang sedang terjadi di sini. Pergolakan, pertentangan, pergulatan, pergontokan bahasawati bahasawan saat ini akan berlangsung satu dua tiga generasi lagi. Karena itu, janganlah khawatir, kita masih punya waktu seratusan tahun lagi untuk terus saling menyalahkan kebodohan dan kemalasan kita.