Soal Data Bansos, Mensos Minta Masyarakat Tak Mudah Terpengaruh Hoaks
Pemerintah mengakui penyaluran bantuan sosial tidak bisa 100 persen tepat sasaran. Karena itu, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak untuk memastikan agar penyalurannya sampai pada orang yang benar-benar membutuhkan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Sosial Juliari P Batubara menegaskan, pemerintah melalui Kementerian Sosial terus berupaya semaksimal mungkin menyalurkan bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Dia mengakui penyaluran bantuan sosial tidak bisa 100 persen tepat sasaran. Karena itu, kerja sama dari semua pihak, terutama masyarakat dan pemerintah sampai tingkat paling bawah, sangat penting untuk memastikan semua bantuan pemerintah tepat sasaran.
Di tengah upaya pemerintah menyalurkan bantuan sosial (bansos) sembako ataupun dana tunai kepada masyarakat yang terdampak Covid, Juliari menyayangkan adanya informasi hoaks di media sosial maupun media arus utama terkait bansos. Akibatnya yang terjadi saat ini bukan hanya bahaya pandemi Covid-19, melainkan juga informasi-informasi yang tidak benar.
”Berita-berita baik di media maupun yang viral di media sosial sebenarnya tidak merepresentasikan kondisi yang sebenarnya di lapangan,” ujar Juliari saat berbicara pada Web Seminar ”Solidaritas Sosial” yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) RI, Jumat (8/5/2020) di Jakarta.
Juliari yang menjadi pembicara bersama Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian) mencontohkan, pada pekan lalu, media sosial viral dengan banyak informasi terkait data dari penerima bansos di wilayah DKI Jakarta. Atas informasi yang viral tersebut, Juliari dan jajaran Kemensos turun ke lapangan.
”Saya tiga hari berturut-turut melihat langsung ke titik-titik penyaluran sembako di Jakarta. Itu sebenarnya tidak seheboh yang kita baca di media. Masalah data, kemudian masalah yang lain-lainnya, apabila kita lihat di lapangan, memang tidak mungkin penyalurannya 100 persen tepat sasaran,” ujar Juliari.
Ia menegaskan, tidak ada yang siap menghadapi bencana semasif pandemi Covid-19 seperti saat ini, termasuk negara maju dan kaya sekalipun seperti Amerika Serikat tidak siap. ”Jadi melalui ibu-ibu (KKP) masyarakat bisa kita edukasi bahwa bencana ini memang bencana yang luar biasa, dan juga tidak ada pemerintah yang siap dari sistem penganggaran dan program,” katanya.
Karena itulah, ketika melihat situasi pandemi Covid-19 semakin serius, pemerintah meninggalkan program kerja yang lain dan fokus pada penanggulangan Covid-19. Itu tidak semudah yang dibayangkan publik, termasuk dalam penganggaran bansos, Kemensos tidak akan mungkin 100 persen memberikan keleluasaan pada daerah membagi-bagikan bansos yang dari APBN. Sebab, nantinya akan ada pertanggungjawaban sehingga perlu dihindari penyelewengan-penyelewengan.
Politisasi bansos
Namun, Juliari mengakui pemerintah di daerah kemungkinan karena sentimen terhadap pilkada karena saat pandemi Covid-19 terjadi di daerah sedang menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 277 daerah.
”Jadi memang kacau, artinya mereka ingin diberikan keleluasaan. Kalau perlu, ibaratnya saya pernah bilang, kita kasih duit dalam koper mereka bagikan sendiri, siapa yang dibagikan terserah mereka, pokoknya pemerintah pusat tahunya sediakan uangnya. Kalau seperti ini, kan, tidak bisa,” tegas Juliari, yang menyampaikan politisasi bansos juga terjadi dengan masif di lapangan sehingga Bawaslu tidak mudah untuk mengontrol.
Kepada KPP, Mensos menjelaskan dalam rapat-rapat kabinet, Presiden Jokowi ingin memastikan grafik kasus Covid-19 sudah turun sehingga bisa masuk dalam masa pemulihan. Sebab, di DKI Jakarta kondisinya sudah mulai mendatar.
Soal bansos, pada awalnya memang Kemensos fokus pada penerima bantuan Program Keluarga Harapan dan Program Sembako. Sebab, penerimanya pada saat normal (belum ada pandemi Covid-19) saja sudah masuk keluarga miskin, apalagi pada saat tidak normal pandemi. Karena itu, penerima manfaat dinaikkan menjadi 10 juta keluarga dan dibagikan setiap bulan.
Namun, ketika bulan Maret, pandemi Covid-19 semakin serius, maka Kemensos mengusulkan untuk wilayah Jabodetabek sebagai episentrum dari Covid-19, ada program khusus. Gubernur DKI Jakarta usulkan program bansos sembako sehingga bansos sembako diberikan sebanyak 1,9 juta keluarga penerima manfaat. Bantuan senilai Rp 600.000 per bulan dibagi dalam jangka waktu tiga bulan. Di luar Jabodetabek, bansos tunai dengan nilai yang sama Rp 600.000 per bulan.
Adapun Alissa Wahid menyatakan sependapat dengan Mensos bahwa pandemi Covid sesuatu yang baru, semua tidak siap, bahkan tingkat dunia. Kendati demikian, Alissa berharap bansos pemerintah benar-benar menyentuh masyarakat yang membutuhkan karena kondisi di lapangan ada banyak keluarga yang dalam kondisi susah, seperti keluarga tukang becak, buruh-buruh tani dan lain-lain.
Alissa menyatakan, dalam menghadapi kondisi pandemi Covid-19, Jaringan Gusdurian juga membantu rakyat meski dengan cara berbeda. Namun, jaringan Gusdurian tetap menggerakkan solidaritas masyarakat untuk membantu kebutuhan ekonomi warga kelompok rentan, yang sangat membutuhkan bantuan.
”Kami menggunakan berbagai kanal. Salah satunya dengan link donasi kami di kitabisa.com. Sampai tadi malam, kami menerima bantuan dari 32.000 warga masyarakat dengan jumlahnya sekitar Rp 5,5 miliar,” ujar Alissa. Solidaritas tidak hanya dalam bentuk dana tunai, tetapi juga dalam bentuk yang lain, seperti yang dilakukan tukang becak di Jember, yang membantu menyalurkan bantuan sembako.
Bantuan spesifik untuk perempuan
Sementara itu, Jumat siang, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati memberikan paket pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak yang merupakan kelompok rentan terdampak Covid-19. Bantuan pada tahap awal didistribusikan melalui 18 lembaga dan 21 kelurahan di wilayah DKI Jakarta.
Bantuan tersebut dialokasikan untuk 1.134 orang, yakni 407 balita dan anak (di bawah usia 18 tahun), 98 anak yang memerlukan perlindungan khusus, perempuan kepala keluarga, lansia dan penyandang disabilitas (629 orang) dari keluarga miskin atau pra-sejahtera di DKI Jakarta dan sekitarnya.
”Selama ini, pemenuhan bantuan-bantuan yang sifatnya umum seperti sembako sudah ada. Hari ini baru tahap pertama, menyusul tahap-tahap berikutnya juga akan diberikan bagi perempuan dan anak kelompok rentan terdampak lainnya,” ujar Bintang.
Ia berharap, semua bantuan spesifik dari Kementerian PPPA akan menggerakkan masyarakat lain untuk berbagi bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19, tidak hanya dalam bentuk sembako, tetapi juga kebutuhan spesifik baik untuk kebutuhan tumbuh kembang anak maupun kebutuhan kesehatan reproduksi bagi perempuan serta kebutuhan spesifik lansia.
Adapun bantuan yang diberikan tidak hanya untuk tambahan pemenuhan gizi dan nutrisi untuk proses tumbuh kembangnya, seperti kacang hijau, susu (hanya untuk anak di atas 2 tahun) dan vitamin, tetapi juga diaper (untuk bayi di bawah 2 tahun), sabun antiseptik, dan pembalut bagi perempuan dan remaja putri.
Sementara itu, untuk perempuan lansia berupa sabun, masker, suplemen, sarung tangan, susu dan diapers untuk perempuan lansia dan disabilitas.