Seiring Covid-19 yang mewabah, istilah-istilah asing juga menyerbu Indonesia: "social distancing," "work from home", dan "lockdown". Bagaimana menerjemahkan semua itu dalam bahasa Indonesia yang tepat?
Oleh
Salomo Simanungkalit
·3 menit baca
Peviko-19 merasuk bahasa juga. [Kita indonesiakan saja covid-19 sebagai penyakit virus korona-19 (peviko-19).] Meski tak sekalang-kabut pemerintah dan penatalaksana kesehatan, aktivis bahasa (Indonesia) pun buncah dibuatnya.
Hampir sama dengan kecepatan masuk virus itu ke berbagai negara, istilah Inggris berkenaan dengan peviko-19 seperti social distancing, work from home, dan lockdown disambut dengan selamat datang tanpa hambatan oleh media konvensional maupun media sosial. Tentu ada yang gusar lalu berupaya, di sini misalnya, mengindonesiakannya. Media sosial memperlihatkan banyak yang mengusulkan padanan bagi ketiga ungkapan tersebut. Usul-usul itu ada yang amatiran, tak sedikit pula yang substantif.
Di laman Kamus Merriam-Webster disebut bahwa penggunaan ungkapan social distancing terdeteksi pada mulanya di tahun 2003 dengan makna \'praktik menjaga jarak, tidak sekadar fisik, antarmanusia atau menghindari sentuh langsung dengan manusia maupun benda di ruang publik selama wabah penyakit menular demi meminimalkan paparan virus/kuman dan mengurangi transmisi infeksi virus/kuman itu\'.
Ada penekanan di kamus itu: social distancing tak sekadar fisik; tetapi pada saat ini, ketika media sosial benar-benar merupakan medium bagi segenap lapisan masyarakat di berbagai tempat, kata sosial dalam pen-jarak-an (distancing) itu turun harga. Semua kita bisa berhubungan lewat gawai; hubungan sosial kita tidak terbatas di masa pandemi ini tanpa perlu kuatir berkat perangkat komunikasi erakini itu. Maka, soalnya benar-benar pen-jarak-an fisik antarmanusia maupun antara manusia dan benda-benda yang terpapar virus, dalam hal ini, korona-19 itu.
Ada tiga kandidat membumikan social distancing "di sini dan kini": penjarakan badan, penjarakan fisik, atau penjarakan tubuh. Atas nama rima, pengulangan bunyi yang berselang, penjarakan badan adalah pilihan yang memuaskan. Untuk menghindari ketaksaan bahwa yang dimaksud bukan pemenjaraan badan, bolehlah sesekali dalam teks ditulis pen-jarak-an badan meski sebetulnya konteks sangat berperan untuk mengeliminasi ketaksaan. Bahwa ada, misalnya, undang-undang yang menggunakan pembatasan sosial sebagai padan bagi social distancing, kita tidak perlu membatasi diri untuk tidak meramaikan pasar bahasa.
Tentang work from home, penggulat makna kata, Samsudin Berlian, mendaku bingung oleh sebagian aktivis bahasa yang mengalihbahasakan work from home sebagai bekerja di rumah. Di dinding FB-nya Samsudin menulis, "Bekerja di rumah bersifat generik; yang dikerjakan bisa apa saja. Bekerja dari rumah bersifat spesifik; yang dikerjakan adalah hal-hal yang kepentingannya ada di, berasal dari, atau berdampak di, luar rumah. Bekerja dari rumah pasti bekerja di rumah, tetapi bekerja di rumah belum tentu berarti bekerja dari rumah."
Saya tambahkan di dinding FB tersebut bahwa yang terjadi pada ungkapan bekerja dari rumah dalam konteks pandemi peviko-19 ialah kontraksi (bahasa): "bekerja (untuk urusan kantor, misalnya) dari rumah". Itu sangat berbeda dengan mencuci pakaian, memasak makanan, merapikan dan membersihkan rumah yang dalam buku-buku ajar SD disebut sebagai pekerjaan di rumah, bukan PR \'pekerjaan rumah\'.
Praktik bekerja dari rumah agaknya hanya bisa mangkus di zaman digital ini. WfH, begitulah yang marak di media sosial. Ah, saya mau BdrR saja.