Libatkan Laki-laki untuk Wujudkan Kesetaraan Jender
Laki-laki harus dilibatkan dan bekerja sama dengan perempuan dalam program untuk mewujudkan kesetaraan jender. Selama ini, laki-laki jarang dilibatkan untuk mengatasi berbagai persoalan terkait perempuan dan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran laki-laki dan perempuan sama penting dalam mewujudkan kesetaraan jender dan mengatasi berbagai persoalan, mulai dari kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga mencegah perkawinan anak, angka kematian ibu, dan tengkes (stunting). Karena itu, ke depan laki-laki harus dilibatkan dan bekerja sama dengan perempuan dalam berbagai program.
”Kita ini sering kali berjuang, tapi hanya perempuan saja yang diperhatikan. Laki-laki tidak pernah diberikan wawasan,” ujar Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin K Susilo pada acara Catatan Awal Tahun 2010 International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Selain Zumrotin, Catatan Awal Tahun 2020 yang mengambil tema ”Indonesia Maju dengan SDM Berkualitas, Setara, Demokratis, dan Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM)” juga disampaikan Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo dan Direktur Program INFID Mugiyanto.
Zumrotin yang pernah menjadi Komisioner Komnas HAM Periode 2002-2007 menegaskan, selama ini laki-laki jarang dilibatkan dalam berbagai program untuk mengatasi berbagai persoalan yang terkait perempuan dan anak. Padahal, penting sekali laki-laki terlibat sehingga memahami berbagai persoalan.
Selama ini laki-laki jarang dilibatkan dalam berbagai program untuk mengatasi berbagai persoalan yang terkait perempuan dan anak.
Misalnya, ketika ada kasus tengkes, selama ini yang disasar adalah peran ibu, mulai dari memberi air susu ibu, gizi yang baik, hingga mengasuh anak dengan baik. Namun, program-program tersebut tidak pernah berbicara tentang peran laki-laki yang sangat strategis dalam mengatasi tengkes.
”Padahal, kalau laki-laki tidak merokok, uangnya bisa digunakan untuk pemenuhan gizi dari anaknya. Kalau laki-laki tidak melakukan kekerasan terhadap istrinya, sesungguhnya dia menjamin ASI akan keluar. Jadi pikiran-pikiran laki-laki harus dibalik karena sering kali hal seperti itu tidak dipahami laki-laki,” kata Zumrotin, yang mencontohkan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang bersama Nyonya Sinta Nuriyah mengurus anak-anak ketika masih bayi.
Tanpa keterlibatan dan kerja sama laki-laki dengan perempuan, kesetaraan jender tidak akan tercapai, dan diskriminasi jender akan terus terjadi. Sebab, menurut Zumrotin, jika laki-laki mengerti tentang kesetaraan jender, dia tidak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Pada kesempatan tersebut, Zumrotin juga mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap warga lanjut usia yang jumlahnya akan meningkat tajam setelah bonus demografi tahun 2030. Padahal, hingga saat ini masyarakat lansia sangat memprihatinkan, menyusul minimnya jaminan sosial di hari tua.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Terkait kekerasan terhadap perempuan, Sugeng menyatakan, tahun 2019 seharusnya menjadi momen untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, ternyata proses legislasi tersebut tidak berjalan lancar sehingga RUU tersebut urung disahkan menjadi undang-undang.
”RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak ada pendekatan yang betul-betul terbuka, bahwa RUU tersebut sungguh-sungguh baik tentu akan dapat sambutan dari masyarakat. Tapi sayang, itu tidak dilakukan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terkenal hanya karena ada demo, bukan untuk menghapus kekerasan seksual,” papar Sugeng.
Padahal, seharusnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut seharusnya menjadi warisan Pemerintah Presiden Joko Widodo pada periode pertama. Kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting bagi kemajuan dan masa depan Indonesia.
”Diharapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak hilang selamanya, dan dapat menjadi prioritas dan bisa disahkan pada tahun 2020 ini,” papar Sugeng.