JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya terkait batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Pada frasa ”usia 16 tahun” di undang-undang tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
”Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama tiga tahun melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,” kata Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman, Kamis (13/12/2018) di Jakarta, saat membacakan amar putusan sidang untuk perkara nomor 22/PUU-XV/2017. Perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 tersebut diajukan oleh Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah.
Pasal 7 Ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan mencantumkan batas usia kawin bagi perempuan pada usia 16 tahun. Sementara, usia minimal laki-laki diatur pada usia 18 tahun. Perbedaan ketentuan usia antara pria dan wanita ini dinilai menjadi wujud konkrit tidak tercapainya persamaan kedudukan di dalam hukum antara laki-laki dan perempuan seperti yang tertulis pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum”.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan, ketidaksinkronan usia tersebut dapat menimbulkan diskriminasi pada perempuan. Jika perempuan menikah di usia di bawah 18 tahun, ia tidak akan mendapatkan hak seperti laki-laki .
Selain itu, Undang-Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan seseorang usia di bawah 18 tahun merupakan kategori anak-anak. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun memastikan negara bertanggung jawab akan hak anak dalam mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan terhindar dari diskriminasi.
Dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, terdapat kecenderungan anak yang kawin sebelum usia 18 tahun tidak menamatkan pendidikannya hingga SMA. Data Susenas 2015, sekitar 80 persen perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun dan bagi perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hanya menyelesaikan pendidikan dasar.
Saldi mengatakan, kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi darurat perkawinan anak. “Tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,” ucapnya.
Meski demikian, MK tidak dapat mengabulkan perubahan usia minimal perkawinan dalam putusannya karena ketentuan itu merupakan wewenang dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR. Lembaga pembentuk undang-undang itu pun diperintahkan merevisi batas usia perkawinan perempuan pada Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun.
Kuasa hukum yang juga anggota dari Koalisi Perempuan Indonesia, Lia Anggiasih, menyampaikan apresiasi terkait putusan MK tersebut. Meski demikian, ia menyayangkan tenggat tiga tahun yang diberikan pada pembentuk undang-undang untuk merevisi Undang-Undang No 1/1974. ”Tiga tahun ini waktu yang tidak sebentar. Berapa anak perempuan usia anak yang kemungkinan masih dikawinkan dalam waktu itu?” ujarnya.
Menurut dia, perkawinan anak menimbulkan berbagai masalah, seperti ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Anak yang menikah rentan pula mendapatkan kekerasan dari pasangannya. Selain itu, kesehatan reproduksi dan kesehatan mentalnya juga bisa terganggu. Hal ini disebabkan usia anak belum siap menikah dan berumah tangga.
Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah dan DPR agar secepatnya merevisi undang-undang tersebut, khususnya pada frasa ”usia 16 tahun”. Saat ini, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait batas usia perempuan menikah juga didesak.
”MK sudah menyatakan Indonesia darurat perkawinan anak. Seharusnya Presiden juga sadar dan secepatnya menanggapi putusan MK ini. Sambil menunggu revisi undang-undang selesai, kami terus desak agar perppu ini disahkan,” kata Lia.