Dengan Mata Terluka Saya Temui Para Buruh
Refleks, saya mengucek mata yang terasa perih. Akibatnya tidak saya duga, bola mata saya tergores hingga luka. Mata saya harus ditutup selama satu malam sambil ditetesi obat setiap jam.
Hanya punya waktu dua hari untuk mengumpulkan bahan berita tentang kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit dan karet, saya memilih contoh kasus di Kabupaten Aceh Timur, Aceh.
Pemilihan daerah ini juga berdasarkan hasil koordinasi dengan Kepala Biro harian Kompas di Sumatera. Di kawasan ini banyak perkebunan sawit dan karet milik perusahaan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).
Ini akan menjadi perjalanan saya kesekian kalinya ke Aceh Timur. Dari Banda Aceh, tempat saya bermukim, butuh 7-8 jam menuju Kabupaten Aceh Timur yang terpaut jarak 360 kilometer.
Tugas kali ini berbeda dengan liputan sebelumnya. Mengangkat isu perburuhan perkebunan sudah pasti lokasi liputannya bukan di daerah perkotaan, melainkan di perkampungan dengan medan yang sulit.
Sebelum berangkat ke Aceh Timur, saya sudah membangun komunikasi dengan beberapa jaringan di sana, terutama dengan jurnalis lokal karena mereka paling paham jalur dan kondisi di lapangan. Seorang jurnalis lokal bersedia menjadi pemandu jalan.
Berangkat dari Banda Aceh pukul 12.00 WIB, saya tiba di Idi, ibu kota Aceh Timur, pada pukul 21.00. Hari itu jalan nasional lintas timur sedikit padat. Usai ngopi sebentar dengan beberapa teman jurnalis lokal, saya menuju penginapan.
Baca juga: 48 Jam ”Terkungkung” Bersama Sapi-sapi
Keesokan harinya kami berangkat ke lokasi perkebunan kelapa sawit di kawasan Desa Seuneubok Cina, Kecamatan Indra Makmur. Butuh waktu satu jam untuk mencapai lokasi.
Kami berangkat dengan menggunakan mobil dan memilih jalan Keude Geurubak. Jalan menuju ke lokasi tidak mulus karena tidak semua teraspal. Pada beberapa lokasi, kondisi jalan berbatu, berdebu, dan berlubang.
Saat mobil truk pengangkut tandan sawit melintas, kepulan debu menyelimuti jalanan. Bayangkan penderitaan warga di sana yang setiap hari harus menghirup debu jalanan.
Sesampainya di ujung desa, mobil yang kami tumpangi melintasi jalan kecil ke arah perkebunan kelapa sawit. Tanpa sadar, ternyata kami sudah berada di dalam area konsesi perusahaan. Sebuah pamflet bertuliskan ”larangan masuk ke area perkebunan” dan bangunan pos security membuat kami menghentikan laju kendaraan.
Kami memutuskan untuk putar balik karena kalau tetap nekat mengendarai mobil untuk masuk wilayah kebun bakal susah untuk mewawancarai buruh. Mandor dan petugas keamanan akan curiga dengan kehadiran mobil asing di dalam areal perkebunan.
Jantung sempat berdesir saat disapa oleh petugas security. Kami hanya membalasnya dengan klakson untuk menghindari percakapan. Terasa benar, persiapan yang kurang matang ditambah tidak kuat membaca medan akan menjadi kelemahan saat liputan.
Baca juga: Desa Sikundo yang Viral Lalu Dilupakan
Awalnya, pemandu saya mengira kami akan bisa masuk ke sana melalui jalur lain. Ternyata semua jalur yang bisa dilintasi mobil dijaga oleh petugas keamanan. Seharusnya kami masuk melalui jalur tikus saja, yakni jalan setapak yang biasa dilintasi warga untuk menggembala sapi.
Kami kembali ke Kota Idi lalu membeli pakaian bekas, topi petani, sandal jepit, dan tas kain di pasar tradisional. Dengan modal itu, penampilan kami kali ini kami sudah mirip petani. Tentu saja kami kemudian harus meninggalkan mobil dan beralih menggunakan sepeda motor.
Namun, inilah awal kecelakaan yang menimpa saya. Kami kembali melintasi jalan yang berbatu dan berdebu. Sebuah mobil truk dan mobil pribadi melintas mendahului kami. Tiba-tiba mata saya perih karena kemasukan debu jalan. Refleks, saya mengucek mata yang terasa perih. Akibatnya tidak saya duga, bola mata saya tergores hingga luka.
Dalam keadaan mata yang sakit, saya tetap melanjutkan liputan. Saya teringat tenggat yang mepet. Kali ini kami memilih jalan tikus dan tiba di kebun sudah siang. Sebagian besar buruh ternyata telah pulang.
Untung masih ada beberapa buruh di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan pemerintah itu. Namun, karena bahan liputan masih terasa kurang, saya memutuskan untuk menemui beberapa narasumber lain usai shalat Maghrib.
Saya memilih narasumber buruh perempuan untuk melengkapi perspektif masalah. Pada hari pertama liputan itu, kami baru bisa kembali ke penginapan pada pukul 22.00.
Baca juga: Nasib Buruh yang Terpinggirkan Sepanjang Sejarah Perkebunan
Wartawan Kompas, Zulkarnaini, dengan mata sebelah kanan yang harus ditutup karena terluka akibat goresan debu.
Pagi harinya, saat bangun tidur, mata saya sebelah kanan terasa sangat perih, nyaris tidak bisa dibuka. Namun, apa boleh buat, saya hanya punya waktu sehari itu untuk mencari narasumber lain. Akhirnya, saya putuskan untuk melanjutkan liputan meski dengan kondisi mata yang sakit dan terluka.
Kali ini kami pergi ke perkebunan sawit milik perusahaan swasta di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam. Jalan menuju ke lokasi ini jauh lebih sulit, becek, dan naik turun bukit. Beberapa kali sepeda motor kami terperosok ke kubangan.
Jalur ini lebih ekstrem karena masuk dalam koridor jalur gajah liar. Kami menemukan banyak kotoran gajah di jalan setapak yang telah masuk wilayah perkebunan. ”Ini sepertinya masih baru, mungkin baru kemarin mereka (gajah liar) lewat,” kata Farhan, pemandu jalan.
Di area konsesi perkebunan sawit itu pernah ditemukan seekor gajah mati tanpa kepala. Ternyata kepalanya telah dipotong oleh pemburu gading. Gajah itu dibunuh dengan cara memberinya buah kuweni beracun. Setelah meregang nyawa, kepalanya lantas dipotong dengan parang. Sadis sekali.
Para pekerja di sana sering melihat gajah liar melintasi kebun. Gajah sebenarnya tidak akan menyerang jika tidak diganggu atau tidak merasa terancam.
Baca juga: Nekat Mendatangi ”Kampung Begal” di Lampung
Di perkebunan sawit itu, kami kemudian bertemu dengan beberapa buruh. Mereka bercerita tentang upah yang rendah dan perlindungan yang lemah. Gaji mereka diberikan harian berdasarkan besaran kemampuan panen.
Jika tidak masuk kerja, mereka tidak akan menerima uang. Mereka juga tidak diikutkan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan oleh perusahaan tempat bekerja.
Sambil mewancarai mereka, saya menahan rasa perih di mata yang kian terasa. Dipakai untuk berkedip saja susah. Setelah merasa cukup memperoleh bahan-bahan berita yang saya perlukan, saya memutuskan segera kembali ke Kota Idi untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis mata.
Setelah diperiksa dengan slit lamp, ternyata di sudut atas pada bagian bola mata putih saya tergores. Mata saya lalu dibersihkan dan diberi obat tetes dan salep.
Setelah itu, mata saya harus ditutup selama satu malam. Istilahnya mata harus diistirahatkan. Di sela-sela itu, saya harus meneteskan obat setiap satu jam.
Keesokan harinya, saya langsung kembali ke Banda Aceh dengan membawa bahan liputan khusus dan mata yang sakit. Untunglah, tak lama kemudian kondisi mata saya berangsur pulih. Kapok, tidak lagi-lagi sembarangan mengucek mata.