”Uji Nyali” di Pulau Beribu Kelokan
Seperti dikatakan pengemudi mobil kami, kondisi jalanan di Pulau Timor ini tidak ada apa-apanya dibandingkan jalanan di Pulau Flores, yang akan kami lintasi lusa. Duh, kepala saya langsung dipenuhi kekhawatiran.
Tidak pernah terbayangkan bahwa medan yang akan saya lalui di Nusa Tenggara Timur akan cukup menantang. Kata mereka yang pernah mengunjungi pulau-pulau di Nusantara, jalanan Pulau Flores amat mengocok perut. Masak iya?
Mulanya saya skeptis karena belum pernah ke NTT sebelumnya. Kesempatan menyusuri NTT tiba saat Tim Pusaka Rasa Nusantara dari Yayasan Nusa Gastronomi mengundang Kompas untuk mengikuti perjalanan mereka pada 15-26 Juni 2023.
Mereka hendak mendokumentasikan resep tradisional Nusantara, termasuk resep-resep yang dimasak oleh para mama di NTT. Program ini didukung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation.
Senin (12/6/2023), Kepala Desk Multimedia Prasetyo Eko P mengabari, ”Mel, dirimu ke NTT ya. Liputan yang ekspedisi makanan itu.” Saya langsung menghubungi Mbak Meilati Batubara, Ketua Tim Pusaka Rasa Nusantara, untuk meminta rencana perjalanan selama di NTT.
Wow, cukup padat! ”Pasti menyenangkan,” ujar saya dalam hati. Maklum, saya belum pernah ke NTT. Sekalinya akan berkunjung, saya berpeluang menyusuri hampir semua kabupaten di sana bersama Tim Pusaka Rasa Nusantara.
Penerbangan kami dijadwalkan hari Kamis (15/6/2023) pukul 02.05 WIB dan direncanakan tiba di Bandar Udara Eltari Kupang pukul 06.05 Wita. Dengan begitu, saya sudah harus di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu tengah malam. Karena takut kebablasan tidur, saya memesan jemputan bandara agar bisa dijemput tepat waktu dari rumah.
Di bandara, selain Mbak Meilati, saya juga berjumpa dengan anggota tim lainnya, yakni Reza Maulana (communication specialist) dan Angga Safik (lead researcher). Ini ketiga kalinya saya berkesempatan meliput ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara. Sebelum ini, saya mengikuti mereka ke Bangka Belitung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Setibanya di Kupang, Tim Pusaka Rasa Nusantara langsung tancap gas untuk menemui para mama di Desa Ajaobaki, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Kami melewati jalur Kupang-Soe yang menawarkan pemandangan alam hijau. Sayangnya, jalanannya lumayan berkelok-kelok. Namun ternyata, seperti dikatakan Om Yando, pengemudi mobil kami, kondisi jalanan di Pulau Timor ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jalanan di Pulau Flores, yang akan kami lintasi lusa. Duh, saya langsung khawatir, takut bakal dilanda mabuk darat. Kalau mabuk cinta sih enak, lah ini.
Apalagi, kata kakak saya, yang sebelumnya pernah keliling Pulau Flores, jalanan di Pulau Flores mengocok perut. Wong dia yang biasanya tidak pernah mabuk perjalanan saja pada akhirnya muntah-muntah juga di ujung perjalanan. Dia kemudian mengingatkan, sebaiknya saya menyiapkan mental dan mengatur jadwal makan agar perut selalu dalam kondisi terisi.
Mbak Meilati pun menyarankan agar saya duduk di samping pengemudi saja agar tidak mabuk. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Om Yando pun meyakinkan bahwa pengemudi yang nanti akan mengantar kami menyusuri Flores terbilang mahir menyetirnya. ”Nanti di Flores bertemu dengan Mus. Dia sudah terbiasa dengan medannya, Nona.” Untuk sementara, saya boleh berlega hati.
Perjalanan dari Kupang menuju Mollo Utara memakan waktu lebih dari dua jam. Setibanya di rumah para mama, kami disuguhi segelas susu kunyit dan pisang yang digoreng tanpa tepung.
Di luar dugaan, ternyata perpaduan kunyit dan susu menghasilkan rasa yang cukup nikmat. Apalagi ditemani pisang goreng yang disantap dengan cocolan sambal dabu-dabu. Lumayan mengobati perut kami yang cukup terguncang selama perjalanan.
Pada Sabtu (17/6/2023) sore, kami bergeser menuju Maumere. Setibanya di Bandar Udara Frans Seda, Maumere, kami berjumpa dengan Om Hironimus (Om Mus) dan Om Fando.
Saya menuju mobil Om Hironimus dan duduk di sampingnya. Sementara di bagian tengah ada Mbak Meilati dan Angga. Kami rehat sejenak di Go Hotel sebelum melanjutkan agenda di Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, NTT, pada Minggu (18/6/2023).
Sabtu malam itu, kami menyempatkan mampir ke pantai. Ketika menengadah, terlihat langit amat jelas bertaburkan bintang. Saya langsung membuka aplikasi Stellarium di ponsel untuk memastikan nama dari planet dan bintang itu.
Om Mus tertawa melihat tingkah kami yang terpesona pada indahnya langit. ”Di Jakarta, bintang-bintang tidak terlihat sejelas ini ya? Ayo sembunyi bintang, kalian mau difoto nih,” gurau Om Mus.
Esok harinya kembali kami menghadapi perjalanan berkelok menuju Desa Kajowair. Sebelumnya, Om Mus sudah memberi gambaran kondisi jalanan seperti di film petualangan, yakni banyak tanjakan, pepohonan, jurang, dan lebar jalannya tidak cukup untuk dilalui dua mobil yang bersimpangan.
Pada beberapa ruasnya juga rawan longsor, terlebih saat musim hujan. Beruntung, saat itu telah memasuki musim kemarau dan minim curah hujan. Perjalanan lebih kurang satu jam itu pun dapat ditempuh dengan lancar.
Selama perjalanan, kami bertiga memilih lebih banyak tidur. Kami sepakat bahwa Om Mus piawai dalam mengemudi. Indikatornya, gerakannya sangat halus saatmengganti gigi ketika melewati tanjakan dan turunan.
Pijakan kopling dan rem juga terpantau aman di bawah kendalinya. Rupanya kelihaiannya ini terasah sejak tahun 2010. Tak heran jika Om Mus cukup berpengalaman dengan medan jalanan di Flores.
Mendengar cerita saya tentang kondisi jalanan di NTT, seorang teman menyarankan agar saya minum pil pencegah mual agar tidak mabuk darat. Om Mus kemudian menanggapi, ”Tenang saja Nona, tidak perlu minum obat seperti itu. Dengan saya pasti tidak akan mabuk. Saya akan atur supaya nyaman di jalanan.”
Bagi Om Mus, kenyamanan penumpang adalah nomor satu. Mobil Om Mus konsisten melaju pada kisaran 40-50 kilometer per jam. Dia berupaya hati-hati supaya tidak ada satu pun penumpang yang mabuk perjalanan.
Katanya, agenda acara kami yang amat padat harus didukung dengan kondisi badan yang fit. Jika sampai mabuk perjalanan, kepala bisa pusing dan badan lemas, bubar sudah agenda.
Di Kajowair, kami menikmati banyak makanan tradisional yang menggoyang lidah. Ada i’an tu’in (ikan yang dimasak dalam bambu), lawar jantung pisang dan daun ubi, moke, kue lekun (terbuat dari campuran tepung beras hitam, kelapa parut, dan gula aren yang dimasak dalam bambu).
Namun, menu yang paling berkesan adalah lebo poho atau bubur daun poho (Paederia foetida) yang jarang dimasak oleh masyarakat Kajowair. Bubur ini menggunakan jagung pulut, labu besi, talas/keladi, ubi kayu, dan santan.
Saya makan semua tetapi secukupnya agar bisa mendeskripsikan setiap menu yang bakal saya tulis. Sebetulnya, cara ini juga menjadi strategi agar perut saya tidak terlalu penuh selama perjalanan.
Senin (19/6/2023) siang, dari Maumere kami menuju Ende dengan durasi 3 jam 30 menit. Sepanjang perjalanan, terkadang Om Mus bersenandung, ”Putar ke kiri..eee.. nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri....” Katanya, lagu ini sangat cocok menggambarkan lika-liku kondisi jalanan dari Maumere ke Ende yang berkelak-kelok.
Di kanan-kiri jalan, kami disuguhi pemandangan alam yang indah. Kami sempat singgah sebentar di Pantai Ana Kalo, Desa Mbengu, Kabupaten Sikka. Hanya 10 menit, tetapi cukup lah untuk meluruskan kaki dan menyegarkan mata.
Siang itu, jalanan cukup lengang. Sejauh mata memandang terdapat bukit batu dan di sisi lainnya terhampar pepohonan. Kami juga beberapa kali singgah di warung swalayan untuk membeli minum atau makanan ringan, serta menumpang ke toilet.
Kata rekan wartawan Kompas di NTT, Kakak Frans Pati Herin, jalur Maumere-Ende sangat menantang. Dalam 1 kilometer, kelokannya bisa sampai 25. Mendengar ini, saya sudah menyiapkan diri untuk tidur selama perjalanan. Lagi-lagi, saya menantang diri untuk tidak meminum pil antimabuk perjalanan.
Setiap tiba di perhentian, Om Mus bertanya kepada saya, ”Nona, aman ya?” Ini cara Om Mus memastikan saya tidak mengalami mabuk perjalanan. ”Aman kok Om, he-he-he,” jawab saya mantap. Heran, ternyata saya tidak mabuk perjalanan sama sekali.
Di Detusoko Barat, para mama memasak menu tradisional yang nikmat, yakni uta gowe atau beras campur sayur, lawar paku, kue onde (mirip misro), ikan bumbu tomat, singkong cincang, sambal kelapa, dan sambal tomat.
Saya paling suka menyantap sayur dan lauk dengan singkong cincang yang dikukus. Ini merupakan sumber karbohidrat yang mengenyangkan sekaligus teksturnya cocok di lidah, kenyal dan lembut.
Bisa mencicipi berbagai olahan jagung, ubi, dan singkong rasanya merupakan kemewahan tersendiri karena sulit ditemui di kota besar, seperti Jakarta. Di beberapa wilayah NTT, warga lebih banyak menyantap singkong, ubi, talas, dan jagung dibandingkan beras sebagai sumber karbohidrat.
Namun, ada pula yang mengonsumsi nasi karena daerahnya merupakan penghasil beras, seperti Manggarai, Detusoko Barat, dan sekitar Ruteng.
Selanjutnya, kami menuju ke Bajawa pada Rabu (21/6/2023) pagi dan tiba di lokasi pukul 12.00. Lagi, Om Mus bertanya, ”Nona, aman ya?” ”Amaaan,” jawab saya bersemangat.
Siang itu, kami masak di Dataran Sedang Watu Ata, Desa Wawowae, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Sebelumnya, kami harus berjalan kaki lebih dari 500 meter termasuk mendaki tanjakan dan melewati hutan kopi. Bukan main teriknya matahari hari itu.
Racikan kopi Bajawa yang diminum dari ketinggian lebih dari 1.400 meter di atas permukaan laut itu lumayan menghapus rasa lelah. Apalagi, setelah mencicipi masakan para mama.
Mereka menyiapkan banyak makanan, seperti nasi sera (campuran jagung giling, beras, dan kacang hitam), uta bhale (sayur daun labu siam), dan koro ipu (sambal ikan mentah). Lidah ini sepertinya sudah mulai terbiasa menyantap bubur dengan campuran jagung, ubi, atau singkong.
Tibalah pada segmen akhir perjalanan. Destinasi penutup dari ekspedisi Tim Pusaka Rasa Nusantara adalah Labuan Bajo, Manggarai Barat. Dari Bajawa ke Labuan Bajo butuh waktu 7 jam 30 menit. Kami tidak mungkin menempuhnya tanpa berhenti makan atau ke toilet. Tentu saja perlu singgah berkali-kali.
Karena duduk di samping pengemudi, terkadang saya bereaksi spontan. Misalnya, ada kendaraan besar yang tiba-tiba ngepot ke arah mobil kami. ”Astaga, seram sekali!” kata saya. ”Enggak apa-apa. Kita berserah pada penyelenggaraan Bapa. Semoga perjalanan kita selalu dilindungi-Nya,” ujar Om Mus.
Akhirnya, tuntas sudah kami menyusuri Pulau Flores tanpa mabuk perjalanan. Afirmasi positif dari Om Mus mampu menyirnakan segala kekhawatiran pada kondisi jalanan yang tidak bersahabat.
Sepertinya, ini juga karena saya bisa menikmati perjalanan dengan Tim Pusaka Rasa yang terasa menyenangkan. Lebih dari seminggu kami berinteraksi, tak hanya kerjaan yang kami diskusikan, tetapi juga kisah dan pengalaman tentang kehidupan, cinta, dan cita. Ternyata kuncinya adalah menikmati momen dan gembira menjalaninya.