Emosi, Kecopetan, dan Kado Hati dari SEA Games di Kamboja
Bailey dan Sar melipat uang 100 riel menjadi bentuk hati dan memberikannya kepada saya. Ada lima ”hati” yang saya terima malam itu. Menerimanya membuat segala kebencian dan peristiwa tak menyenangkan perlahan sirna.
SEA Games ke-32 yang belum lama ini terselenggara adalah pengalaman pertama saya meliput ajang kejuaraan multicabang olahraga. Sehari-hari sebenarnya saya bertugas di Kalimantan Tengah sehingga senang sekali rasanya beroleh kesempatan untuk turut merasakan euforia ”adu gengsi” antarnegara Asia Tenggara di bidang olahraga.
Meliput ajang ini bukan berarti saya langsung bertolak ke Kamboja begitu saja, melainkan saya perlu melihat dulu perkembangan terakhir persiapan para atlet. Hari Selasa (2/5/2023), saya mulai menengok pusat pelatihan beberapa cabang olahraga di Jakarta sembari mendalami lagi istilah-istilah dalam tiap cabang olahraga.
Saat memperhatikan para atlet berlatih, tampak betapa fokusnya mereka bersiap demi mengejar medali emas di ajang dua tahunan tersebut, seperti terlihat di Mess Kwini, Jakarta Pusat.
Di sana, para atlet angkat besi mengangkat beban yang terus ditambahkan 8-10 kali, bahkan lebih. Padahal, saat lomba nanti, mereka hanya punya kesempatan enam kali mengangkat untuk kategori snatch dan clean and jerk.
Demikian pula dengan atlet-atlet atletik yang berlatih keras, mulai dari pemanasan hingga berlari, atau melompat, melempar dan berbagai latihan lainnya. Bukan hanya keringat yang keluar, melainkan emosi mereka pun turut dilepaskan.
Saat tidak mencapai target waktu lari yang ingin dicapai, mereka meneriaki diri sendiri sebagai upaya memecut semangat. Begitu juga dengan atlet-atlet tenis yang berlatih sambil ikut turnamen.
Semua kerja keras itu dilakukan demi nama harum Indonesia dan kebanggaan rakyat Indonesia, termasuk netizen alias warganet, yang sebagian besar menonton lewat televisi.
Tiga hari sebelum seremoni pembukaan alias Jumat (5/5/2023), saya tiba di Kamboja. Rupanya, ajang SEA Games sangat bergaung di sana. Maklum, warga Kamboja telah menunggu selama 64 tahun untuk menjadi tuan rumah. Gairah warga tecermin lewat bendera Kamboja yang dipasang di depan rumah, teras-teras toko, hingga sepanjang tepi jalan.
Saat mencoba naik tuktuk, transportasi khas Kamboja, para pengendara selalu bertanya, ”Apakah kalian datang untuk SEA Games?” atau ”Apakah kamu atlet?” Pertanyaan terakhir membuat saya bingung karena merasa tubuh tidak punya potongan sebagai atlet.
Selain pertanyaan, saya juga menerima banyak pernyataan alias omongan tentang kondisi Kamboja, di antaranya ada satu yang bikin saya sedikit khawatir. Beberapa teman baru dari Indonesia yang mengenal Kamboja selalu mengingatkan ”hati-hati banyak copet di tengah kota, simpan baik-baik telepon genggam dan dompet”.
Pada hari yang sama saya mendengar tentang hal itu, kebetulan saya berencana pelesir untuk mencari cerita-cerita tentang Kamboja, di luar urusan olahraga atau pertandingan SEA Games.
Pilihan saya Wat Phnom, tempat bersejarah bagi masyarakat Kamboja. Di tempat ini begitu banyak cerita sejarah tentang awal mula tanah Kamboja ditempati, serta kisah tentang kuil-kuil megah. Kamboja memang dikenal sebagai negara penuh kuil dan candi-candi nan megah.
Selain mengumpulkan bahan tulisan, saya juga mengabadikan gambar dan video untuk dikirim ke kantor dengan telepon seluler. Setelah memperoleh yang saya butuhkan, ponsel lantas saya simpan di kantong tas bagian depan. Ukuran kantong itu pas seukuran ponsel.
Saya pun duduk beristirahat sejenak di atas bangku semen di pinggir taman kuil. Di lokasi itu banyak orang wara-wiri. Ada yang ikut duduk dan ada juga yang hanya sekadar berswafoto. Saya lalu sibuk memeriksa catatan liputan. Kira-kira lima menit saya di situ lalu beranjak pergi untuk mencari tempat lain agar saya bisa membuka laptop untuk mengetik.
Tiba di sebuah kafe, saya merogoh kantong tas untuk mengambil ponsel. Betapa kagetnya saya karena ponsel itu telah raib! Saya pun panik. Mencoba membongkar semua isi tas tetapi ponsel itu benar-benar raib.
Saya kembali ke bangku tempat saya istirahat dan menyusuri ulang rute liputan, tapi tetap nihil. Saya bertanya ke beberapa petugas yang seliweran tetapi mereka tak mengetahui apa pun. Sebagai gantinya, saya diminta melapor ke pos utama.
Akhirnya, saya hanya bisa pasrah. Mungkin saya memang teledor. Panasnya kota Phnom Penh yang mencapai 38 derajat celsius membuat badan dan kepala ikutan panas yang memengaruhi konsentrasi saya.
Untuk menenangkan diri, saya memilih kembali ke penginapan sambil mempersiapkan diri untuk liputan panjang berbagai pertandingan cabang olahraga.
Kontroversial
Selama 13 hari penyelenggaraan SEA Games, atlet-atlet terbaik dari 11 negara Asia Tenggara bersaing di lapangan dengan penuh ketegangan, tekad, dan berbagai emosi. Mereka memperebutkan lebih dari 2.000 keping medali yang tersebar di 36 cabang olahraga dengan ratusan nomor cabang.
Kali ini, dalam setiap pertandingan, selalu ada cerita kontroversi. Kesempatan pertama menjadi tuan rumah membuat Kamboja ingin memanfaatkan peluang ini semaksimal mungkin untuk menunjukkan kualitas atlet mereka.
Sayangnya itu mereka lakukan dengan berbagai cara kontroversial, mulai dari naturalisasi banyak pemain di cabang basket hingga dugaan adanya atlet asing mereka di cabang bulu tangkis.
Belum lagi kontroversi saat pertandingan, seperti yang terjadi di cabang pencak silat, saat salah satu atlet Indonesia didiskualifikasi tanpa alasan yang jelas atau larangan sapu bersih medali di ajang balap sepeda yang berujung pada pemberian medali perunggu kepada tuan rumah yang saat itu berada di urutan keempat.
Masih ditambah lagi dengan terjadinya kekacauan lainnya, seperti bendera Indonesia yang terbalik saat geladi bersih, atau atap bocor di kamar atlet bulu tangkis Indonesia, hingga pengalungan medali tanpa lampu sehingga panitia harus menggunakan lampu mobil.
Baca juga: "Offroad" yang Berakhir "Tisoledat" di Pelosok Ciamis
Kontroversi juga terjadi di cabang wushu. Saat atlet Indonesia selesai berlaga, tiba-tiba komputer juri mati dan para atlet harus menunggu setidaknya dua jam untuk mendapatkan nilai yang diberikan secara manual. Beberapa kali pelatih tim wushu terlihat kesal karena poin-poin juri yang tidak masuk akal dan merugikan Indonesia.
Begitu juga soal wasit belia dalam pertandingan tenis yang beberapa kali melakukan bad call. Terakhir, puncaknya, saat terjadi perkelahian antara pemain dan ofisial tim ”Garuda Muda” Indonesia saat laga final melawan Thailand.
Selama 13 hari SEA Games berlangsung, kebencian merebak, tak hanya di lapangan, tetapi juga di media sosial. Cemooh dan komentar pedas warganet di Tanah Air terhadap tuan rumah dan tim lawan bertebaran di media sosial saat terjadi kontroversi.
Karena berulang kali menyaksikan kontroversi yang merugikan itu, saya yang berada langsung di lapangan jadi ikut terbawa emosi. Karena ”panas”, saya kembali ke ruangan pers yang disiapkan panitia untuk para jurnalis dari semua negara.
Belum sampai saya duduk di kursi, sukarelawan SEA Games dengan sigap mengambilkan minuman untuk saya. Mereka bahkan juga memberikan camilan. Hal itu sebenarnya standar pelayanan mereka untuk setiap wartawan yang datang ke ruangan itu.
Sar Sochea (18) dan Bailey Sovineath (18) adalah dua sukarelawan yang selalu saya jumpai di ruang itu. Di sela kesibukan melayani para jurnalis, mulai dari memberikan line-up (daftar) atlet yang bermain hingga mengarahkan jurnalis yang ingin menuju lokasi liputan, keduanya masih sempat membantu saya mewawancarai warga yang sulit berbahasa Inggris.
Baca juga: Mengenang Kehebohan Nonton Konser Coldplay
Bahkan saat malam pertandingan voli putra, keduanya menghampiri saya yang berada di dekat lapangan lalu menyalami seraya memberi selamat. ”Voli Indonesia terlalu hebat, selamat ya.”
Padahal, saat itu pertandingan baru berlangsung satu set. Teringat sikap keduanya yang sangat suportif membantu meredakan emosi saya.
Bailey dan Sar kemudian melipat uang 100 riel menjadi bentuk hati dan memberikannya kepada saya. Ada lima ’hati’ yang saya terima malam itu.
Usai pertandingan sepak bola berakhir, kami bahkan berswafoto bersama, saling mengucapkan salam perpisahan, dan berbincang-bincang cukup lama. ”Saya senang sekali bisa jadi bagian SEA Games. Bisa bertemu banyak orang dari negara lain di ASEAN. Semoga nanti banyak orang Indonesia ke sini,” kata Bailey.
Bailey dan Sar kemudian melipat uang 100 riel menjadi bentuk hati dan memberikannya kepada saya. Ada lima ”hati” yang saya terima malam itu.
”Ini riel, mata uang kami, tetapi ini juga hati kami. Ini hadiah sederhana dari orang Kamboja untuk orang Indonesia. Terima kasih sudah datang berkunjung ke sini,” kata Sar.
Baca juga: Radhar Panca Dahana, Menguji Akurasi
Menerimanya membuat segala kebencian dan peristiwa tak menyenangkan yang bergelayut di kepala saya selama beberapa hari perlahan sirna.
Begitu menikmatinya saya dengan perbincangan malam itu sampai-sampai tak sadar sudah duduk berjam-jam di tempat itu hingga lupa pulang. Terkesan dengan keramahan mereka, saya jadi berharap suatu saat bisa kembali lagi ke Kamboja.
Akhirnya, malam itu saya akhiri dengan menyaksikan sukarelawan dan polisi Kamboja yang menjaga pemain Indonesia masuk ke mobil sambil mendengarkan nyanyian pendukung Indonesia yang bernyanyi ”Oghun Cran, Cambodia” yang berarti terima kasih, Kamboja.