”Off Road” yang berakhir ”Tisoledat” di Pelosok Ciamis
Saya harus memilih akan mendaratkan kaki di batuan berlumut atau rerumputan. Otak saya dengan cepat memerintahkan kaki kiri melangkah ke rerumputan. Rupanya itu hal terakhir yang saya ingat sebelum semua menjadi gelap.
Suatu siang di awal Juli 2022, saya mendapat pesan Whatsapp dari Kepala Biro Kompas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Haris Firdaus atau Mas Haris. Dalam pesan itu, Mas Haris memberitahukan bahwa saya mendapatkan tugas liputan khusus edisi Kemerdekaan ke Desa Pasawahan di pelosok Ciamis, Jawa Barat.
Mulanya, saya agak panik ketika membaca kata ”pelosok”. Yang ada di pikiran tentang pelosok adalah sulit dijangkau, terpencil, jauh dari mana-mana, dan sebagainya. Ciamis pusat kotanya saja saya asing, apalagi pelosoknya.
Dari semula panik, lama-lama berubah jadi penasaran saat semakin lama saya pikirkan. Di mana kah Desa Pasawahan yang katanya pelosok itu? Seberapa pelosok? Dan bagaimana cara mencapai desa itu?
Saya lantas mencari informasi, mulai dari berselancar di internet hingga bertanya kepada teman atau kenalan yang sekiranya tahu. Untungnya, Mas Cornelius Helmy Herlambang atau Mas Che, yang menjadi person in charge liputan tersebut, memberi banyak informasi, termasuk nomor telepon orang yang bisa saya temui di pelosok Ciamis tersebut, yaitu Yayat Hayatul Hasani.
Pria yang akrab dipanggil Pak Opet itu adalah guru di Desa Pasawahan. Ia mempersilakan saya meliput di sekolahnya. Lega rasanya.
Namun, masalah muncul saat saya bertanya tentang penginapan. ”Tidak ada penginapan di sekitar sini. Kalau mau, menginap di rumah kami saja,” kata Pak Opet.
Tentu saja, tawaran itu saya sambut dengan sukacita. Selesai satu masalah. Muncul masalah lain. Menurut Pak Opet, tidak ada angkutan umum ke desa yang berjarak sekitar 53 kilometer dari pusat kota Ciamis tersebut. Ia kemudian menghubungkan saya dengan seorang temannya, Pak Asep, agar saya bisa menumpang kendaraannya.
Hari Senin (18/7/2022) pagi, saya memulai perjalanan ke Ciamis dari Kota Surakarta, Jateng. Saya tidak berangkat dari Kota Semarang (tempat saya tinggal) karena tidak ada kereta dari Semarang yang langsung ke Ciamis. Perjalanan Surakarta-Ciamis butuh waktu 5 jam 30 menit. Tiba di Ciamis, saya langsung menitipkan koper di sebuah hotel sambil menunggu kedatangan Pak Asep, yang akan mengantar ke Desa Pasawahan.
Pak Asep tiba dengan sepeda motor otomatik. Kami sempat mengobrol terkait rute perjalanan yang akan memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan melintasi sebagian wilayah Tasikmalaya dan Kota Banjar sebelum tiba di Desa Pasawahan.
Tak lupa Pak Asep menyebutkan, jalanan yang akan kami lalui tidak semuanya aspal mulus. Ada jalan berbatu, jalanan cor seadanya, hingga jalan tanah. Rutenya juga tidak lurus-lurus saja melainkan berkelok dan naik turun.
Baca juga: Inspirasi Berbagi dari Bangunan Sekolah yang Belum Jadi
Usai penjelasan itu, kami sama-sama terdiam. Saya terdiam karena bingung lantaran tidak melihat helm di sepeda motor Pak Asep. Sebaliknya, Pak Asep terdiam karena menunggu saya tak kunjung naik ke atas sepeda motornya.
Untuk memecah keheningan saya berkata, ”Pak, saya tidak bawa helm. Bapak ada helm satu lagi yang bisa saya pakai?”
Dengan senyum lebar, Pak Asep menjawab, ”Tidak usah pakai helm, Mbak. Di sini, helm cuma dipakai biar tidak kena tilang.”
Mak deg hati saya mendengarnya. Saya langsung teringat dengan kecelakaan lalu lintas yang saya alami. Saat itu saya selamat dari kemungkinan cedera kepala karena memakai helm.
Namun, karena khawatir keburu sore, saya berangkat juga tanpa helm. Namun, saya meminta Pak Asep untuk mampir ke toko helm. Sialnya, sepanjang perjalanan hingga tiba di Pasawahan, tidak ada toko helm yang buka. Kalau pun ada, harus menyeberang jalan dulu dan memerlukan waktu lama untuk putar balik.
Akhirnya sepanjang jalan, saya yang jarang-jarang berdoa ini tiba-tiba menjadi saleh. Rasanya, tiada henti saya merapal doa dan menyebut nama Tuhan. Apalagi, setiap kali Pak Asep menyelip di antara dua kendaraan besar atau menyalip di tikungan. Makin kencanglah saya berdoa.
Jalanan berbatu
Setelah 1,5 jam melewati jalan beraspal yang berkelok dan naik-turun, tibalah kami di sebuah persimpangan jalan. Saya lupa nama daerah tersebut. Ternyata Pak Opet sudah menunggu di pinggir jalan dengan sepeda motor trail-nya. Saya lalu berpindah membonceng Pak Opet.
Perjalanan kami damai-damai saja pada menit-menit awal. Jalanan memang berkelok dan naik turun, tetapi masih beraspal. Sekitar 15 menit kemudian, jalanan berubah berbatu. Bukan batu bulat-bulat yang permukaannya halus melainkan batu-batu tajam.
Baca juga: Membongkar Perdagangan Bayi lewat Unggahan Viral
”Kalau yang tidak biasa lewat sini, pasti jatuh. Yang sudah biasa lewat saja banyak yang jatuh,” ujar Pak Opet. Saya menduga, Pak Opet meminta saya pindah menumpang sepeda motornya karena khawatir saya jatuh.
Menurut Pak Opet, sulitnya medan membuat angkutan kota enggan beroperasi di kawasan itu. Tidak hanya itu, distributor barang pun enggan memasok barang ke Desa Pasawahan. Jika ada, harganya pun berlipat mahal.
Selain kondisi jalan yang sulit, penerangan pun minim bahkan tidak ada sama sekali di beberapa ruas jalan. Hal ini membuat warga tidak berani bepergian jika hari sudah petang.
Karena pada saat itu, hewan-hewan liar seperti babi hutan dan ular sering melintas di tengah jalan. Tak jarang, hewan-hewan itu menyerang orang yang lewat. Mendengar pemaparan Pak Opet, saya hanya bisa pasrah sambil merapal doa tiada henti.
Saya hanya berharap tidak jatuh karena saya mengkhawatirkan punggung saya dan peralatan ”tempur” yang saya bawa, seperti kamera, laptop, dan ponsel. Sebagai penderita saraf kejepit, sebenarnya punggung saya tidak boleh dalam posisi terguncang.
Dengan medan seperti itu, tak terbilang lagi bagaimana guncangan yang terjadi selama perjalanan. Dalam kondisi normal, saya akan merasakan nyeri hebat. Namun, entah bagaimana, saat itu nyeri sama sekali tidak terasa. Mungkin karena tertutup oleh perasaan takut.
Baca juga: Perjalanan Memabukkan ke Batas Negeri
Setelah sekitar 45 menit off road, sampai juga kami di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar. Jalanannya sudah bukan lagi berbatu tajam, melainkan jalan berbatu yang dicor di kedua sisinya.
Sesampainya di depan rumah Pak Opet, badan saya sempat oleng saat turun dari sepeda motor karena lulut yang lemas. Saya mencoba meregangkan badan lalu menepuk dan memijat lutut. Syukurlah, cara itu berhasil membuat lutut saya kembali bertenaga dan mampu menopang tubuh dengan baik.
Hangat
Berada di tengah perbukitan dan dikelilingi pohon-pohon besar, suhu di Desa Pasawahan cukup sejuk, sekitar 17 derajat celsius. Sajian teh hangat dan kudapan yang dihidangkan oleh Bu Netih Sumiyati, istri Pak Opet, membantu menghangatkan tubuh saya yang mulai kedinginan.
Malam itu, Pak Opet mengundang beberapa tetangga untuk saya wawancarai sebagai bahan tulisan. Selesai wawancara, kami mengobrol seputar kondisi desa dahulu dan sekarang, serta harapan mereka ke depan.
Hari berganti, tamu-tamu pamit pulang. Saya juga pamit tidur. Bu Netih menaruh sleeping bag di atas kasur yang disiapkan untuk saya. Katanya, untuk menahan udara dingin menjelang subuh. Benar saja, saya tidur nyenyak hingga pagi tanpa kedinginan.
Baca juga: Gerhana Matahari dan Fakta Eksklusif dari Tuhan
Pagi itu, saya pergi ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan untuk meliput aktivitas mengajar Pak Opet. Perjalanan butuh 15 menit dengan sepeda motor.
Di depan sekolah, mata saya langsung tertuju pada gedung yang bangunannya menyerupai konsep unfinished industrial. Jika di kota-kota, bangunan semacam itu sengaja tidak diselesaikan karena ada unsur estetik tertentu yang hendak ditonjolkan, tidak begitu dengan bangunan sekolah ini yang tidak selesai karena keterbatasan biaya.
Di bangun di atas tanah seluas 1.600 meter persegi, MI Pasawahan yang memiliki 94 siswa itu, cuma punya tiga ruangan. Di bagian lain, ada calon kelas yang belum selesai dibangun karena belum ada dindingnya, apalagi pintu. Besi-besi panjang dibiarkan menjuntai di ujung bagian atas bangunan.
Dari tiga ruang yang ada, dua di antaranya dijadikan kelas. Satu ruangan untuk kelas enam. Satunya lagi dipakai bersama untuk kelas satu dan dua. Sebagai sekat pemisah adalah lemari kayu.
Satu ruangan lainnya untuk ruang kepala sekolah dan guru, sekaligus gudang penyimpanan alat bantu pembelajaran dan alat-alat kesenian.
Baca juga: Demi Harkat Anak-anak Petani
Bagaimana dengan siswa-siswa kelas lainnya? Mereka belajar di lorong sekolah dan di ruang kelas yang belum punya dinding dan pintu itu. Kadang-kadang, mereka juga belajar di luar sekolah, seperti menumpang di teras rumah warga, musala, posyandu, pinggir sungai, tepi sawah, hingga di hutan.
Untuk membesarkan hati siswa, guru-guru menyebutnya belajar di alam agar tampak keren. Padahal, itu karena mereka tidak punya tempat lain.
Menurut Pak Opet, kegiatan belajar mengajar di lorong sekolah, di kelas tanpa dinding dan pintu, atau di ruang yang dipakai bersama, tidaklah mudah. Fokus guru dan siswa sering kali terbagi.
Apalagi saat terjadi hujan angin. Ulfa, siswa kelas 5 sekolah itu mengatakan, pakaiannya sering kali basah terkena tampias air hujan. Alhasil, tubuhnya menggigil sepanjang pelajaran. Kendati demikian, Ulfa mengaku senang bisa sekolah di situ.
Meskipun demikian, di lubuk hati terdalam, ia bersama seluruh siswa sekolah itu menyimpan harapan agar bangunan sekolah mereka bisa segera rampung pembangunannya. Paling tidak, setiap satu rombongan belajar bisa punya satu kelas yang layak, lengkap dengan tembok dan pintu, dan tidak perlu berbagi dengan rombongan belajar lain agar belajarnya bisa konsentrasi.
Sebenarnya, MI Pasawahan pernah punya bangunan yang layak. Sayangnya, bangunan sekolah rata dengan tanah akibat bencana tanah bergerak yang melanda Ciamis pada tahun 2016.
Pihak sekolah disarankan relokasi karena bangunan berada di daerah rawan bencana. Setahun setelah bencana, pihak sekolah mendapat tawaran untuk pindah ke lahan milik kepala sekolah MI Pasawahan kala itu. Sayangnya, hingga kini pembangunan gedung sekolah belum juga selesai.
Semangat
Di tengah keterbatasan, para siswa dan guru tetap bersemangat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Rata-rata mereka harus menempuh 2 kilometer untuk berangkat dari dan pulang ke rumah masing-masing. Jalanan yang harus mereka lalui sama sekali tidak mulus. Kebanyakan berupa tanah dan batuan tajam.
Sekitar 1,2 kilometer dari MI Pasawahan, terdapat sebuah jembatan yang doyong. Jembatan dengan kondisi memprihatinkan itu setiap hari dilewati para siswa. Agar bisa lebih jelas mendokumentasikan kondisi jembatan, saya berinisiatif mengambil gambar dari bagian bawah jembatan.
Saya turun ke sungai yang ada di bawah jembatan ditemani Farid, siswa MI Pasawahan. Sebelumnya, saya menanyakan seberapa aman jalur ke sungai. Menurut Farid, sedikit licin tetapi aman. Ia kemudian meminta saya membuntutinya.
Mendekati bibir sungai, Farid mempercepat langkahnya dan saya ketinggalan. Saya mencoba tetap berjalan santai dan hati-hati, hingga saya tiba di sebuah titik di mana saya harus memilih akan mendaratkan kaki di batuan berlumut atau rerumputan. Otak saya dengan cepat memerintahkan kaki kiri melangkah ke rerumputan. Rupanya itu hal terakhir yang saya ingat sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
Saya menemukan diri saya terbaring di pinggir sungai. Sayup-sayup terdengar suara teriakan Farid, ”tisoledat...tisoledat...” Menurut teman-teman yang bisa berbahasa Sunda, tisoledat artinya jatuh terduduk.
Seiring surutnya teriakan ”tisoledat”, derap langkah-langkah kaki mendekat. Dengan kepala masih terasa pusing, saya mencoba membuka mata. Sejumlah siswa MI Pasawahan tengah mengerubungi saya. Pak Opet juga terlihat berlari mendekat.
Saya bangun lalu coba menggerakkan kaki, tangan, dan badan. Saya cek juga kondisi punggung. Rasanya nyeri, tetapi masih bisa ditahan. Sembari mengecek kondisi tubuh, saya teringat perlengkapan elektronik yang saya bawa.
Dengan bantuan para siswa, saya mencari ponsel dan kamera yang ternyata terjatuh di semak-semak. Kondisinya kotor terkena tanah. Meski demikian, saya amat bersyukur karena barang-barang itu tidak kena air. Fungsinya masih normal semua.
Sesaat kemudian, entah kenapa, saya kembali oleng. Saya lalu diminta untuk duduk. Seorang siswa datang menghampiri dan mengulurkan air minum kemasan yang saya tenggak habis.
Pak Opet yang khawatir, mengajak saya pulang. Karena ingin melanjutkan liputan, saya berusaha meyakinkan Pak Opet saya akan baik-baik saja. Kami baru pulang ke rumah Pak Opet untuk makan siang setelah liputan selesai.
Usai makan, saya mengabarkan kejadian pagi itu kepada Mas Che dan Mas Haris. Mas Che meminta saya memeriksakan diri. Sayangnya, di desa itu dan di sekitarnya tidak ada klinik atau rumah sakit. Rumah sakit terdekat berada di Kota Banjar dan Ciamis kota. Akhirnya saya diminta periksa ke rumah sakit di Bandung setelah semua urusan selesai.
Sore itu saya berpamitan kepada Pak Opet dan keluarga untuk kembali ke Ciamis Kota. Kembali saya diantar Pak Asep.
Keesokan harinya, saya menyempatkan konfirmasi ke kantor Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan Ciamis sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandung. Sesampainya di sana, saya segera pergi ke rumah sakit dengan diantar Pak Idham, staf bagian umum kantor Kompas Bandung.
Hasil diagnosis, dokter hanya menemukan luka memar di bagian paha yang akan hilang dalam beberapa hari. Sementara kondisi punggung saya dinilai aman. Lega mendengarnya.
Setelah dua malam di Bandung, saya kembali ke Semarang dengan perasaan riang. Sungguh pengalaman tak terlupakan, harus mengalami perjalanan off road hingga tisoledat di tepi sungai. Dan semuanya terbayarkan dengan bertemu orang-orang baik selama di sana.