Radhar Panca Dahana dan Menguji Akurasi
Kerja wartawan mirip seperti sejarawan. Apa yang wartawan tulis akan menjadi sejarah dan bisa saja suatu saat menjadi rujukan untuk penelitian, pengajaran, atau liputan lain. Benarkah?
Radhar Panca Dahana hadir bak mitos dalam semasa kehidupan kuliah saya. Perkenalan pertama saya dengan sosok almarhum melalui buku "Sepi Pun Menari di Tepi Hari", kumpulan cerpen terbaik Kompas 2004. Judul buku itu diambil dari cerpen karya Radhar. Cerpennya dinilai yang terbaik dari cerpen lain yang terbit sepanjang 2004 di harian Kompas.
Saat membacanya sekitar tahun 2015, saya terkesima dengan predikat cerpen terbaik, novel terbaik, dan terbaik-terbaik lainnya. Saya jadi terpukau dengan Radhar dan cerpennya itu.
Hal lain yang membuat saya terkesan adalah profil singkatnya di bagian akhir buku. Pada halaman 167, Radhar Panca Dahana diterangkan sebagai berikut: Sebagai pengarang, Radhar Panca Dahana, kelahiran Jakarta, 25 Maret 1965, debutnya dimulai sejak usia 10 tahun, lewat cerpennya di Harian Kompas "Tamu Tak Diundang".
Saya langsung membayangkan diri saya pada usia itu: main sepeda, belajar menulis huruf sambung, mencocokkan peta buta dengan atlas, dan belajar menghapal nama-nama dalam buku sejarah. "Radhar sudah punya inisiatif mengirim cerpen ke media massa dan diterbitkan, bersanding dengan cerpenis dewasa!" pikir saya saat itu.
Anak usia belasan awal, kelas 2 SMP, sudah menuntut demokrasi kepada ayahnya.
Saya berpikir demikian lantaran pada tahun 2015, saat membaca buku tersebut, Kompas terbit 32 halaman. Saat itu cerpen terbit di rubrik seni. Memang ada cerita anak di rubrik anak, tetapi cerita anak pada masa itu ditulis oleh orang dewasa. Karya anak-anak biasanya terbit berupa puisi, karya lukis, atau karya sketsa.
Dalam konteks itu, saya membayangkan cerpen Radhar pada usia 10 tahun terbit di rubrik seni bersama penulis-penulis dewasa. Penasaran, saya mengetik nama Radhar di mesin pencari. Wikipedia menyebut Radhar sudah bekerja sebagai wartawan lepas di majalah Hai saat kelas 2 SMP. Bahkan, wikipedia menyebut Radhar berkonflik dengan ayahnya lantaran kegiatannya dalam dunia seni dan menulis.
"... kemarahan sang ayah semakin menjadi dan akhirnya membuatnya tidak pulang ke rumah dengan mulut berdarah dan teriakan "Tidak ada demokrasi di sini!"," demikian keterangan di Wikipedia.
Saya semakin terpana. Anak usia belasan awal, kelas 2 SMP, sudah menuntut demokrasi kepada ayahnya. Di laman wikipedia, keterangan itu dikutip dari Tabloid Nova yang diarsipkan dari versi aslinya di archive.org. Di kemudian hari, saya mendengar Radhar meninggal dunia pada usia 56 tahun pada 22 April 2021. Saya memang beberapa kali mendengar bahwa Radhar mesti rutin cuci darah tiga kali seminggu lantaran sakit yang dideritanya.
Baca juga : Radhar Panca Dahana yang Berkarib dengan Rasa Sakit
Untuk mengenangnya, saya membaca kembali profil Radhar di Wikipedia. Saya klik sumber yang disematkan Wikipedia untuk membaca artikel asli mengenai dia. Sayangnya, penulis di Wikipedia tak mengarsipkan seluruh tulisan yang menceritakan masa-masa Radhar mengatakan "Tak ada demokrasi di sini!" lantaran artikel tidak terarsip penuh.
Saya juga membaca tulisan-tulisan obituari dari berbagai situs. Salah satunya yang ditulis oleh Akmal Nasry Basral. Ia mengenang teman kuliahnya itu dengan menulis, "...dan (Radhar) sudah mematok rekor sebagai cerpenis termuda di Kompas karena cerpennya “Tamu Tak Diundang” yang dimuat saat dia berusia 10 tahun!"
Radhar dalam arsip
Saya jadi penasaran bagaimana cerpen anak usia 10 tahun itu terbit di halaman para cerpenis dewasa. Bahkan, Akmal Nasry Basral mengklaim bahwa Radhar 'cerpenis termuda di Kompas'. Saya beruntung bekerja di Kompas karena bisa mengakses arsip harian ini sejak pertama kali terbit dalam bentuk digital.
Saya coba cari judul cerpen "Tamu Tak Diundang". Namun, saya tak menemukannya. Ada judul yang mirip, yakni "Tamu yang Tak Diundang", tetapi bukan karya Radhar melainkan karya Gerson Poyk pada 18 Desember 1988 di halaman 10. Saya kemudian mencoba mencari dengan kata kunci penulis. Radhar punya nama pena sewaktu kecil hingga remaja, yakni Reza Morta Vileni—beberapa sumber menyebut Reza Mortafilini.
Saya ketikkan Reza Morta dalam arsip Kompas. Namun, yang muncul bukanlah cerpen “Tamu Tak Diundang”, melainkan “Tamu Tak Dikenal” yang terbit pada 2 September 1979 di halaman 8. Itu ditulis oleh Rdp. Reza Morta Vilem, bukan Reza Morta Vileni atau Reza Mortafilini. Mungkin ‘Rdp” pada nama itu singkatan dari Radhar Panca Dahana.
Baca juga : Usai Sudah Tugas Kemanusiaan Radhar Panca Dahana
Terkait nama yang terbit itu, saya kira ini kesalahan ketik dari redaksi. Huruf n dan i bisa terlihat seperti huruf m jika tak jeli melihatnya atau cetakannya tak baik. Sebab, di edisi setelahnya, Radhar menjadi reporter lepas di Kompas dan konsisten menggunakan nama Reza Morta Vileni.
Misalnya, nama Reza Morta Vileni muncul kembali pada 8 Januari 1983. Ia menulis artikel “Remaja Berbicara tentang Pencak Silat” di halaman 5, Dalam arsip Kompas, nama itu kerap ditulis sebagai Reza saja untuk tulisan berita singkat.
Saya kemudian mencoba menghitung usia Radhar saat cerpen “Tamu Tak Dikenal” itu terbit. Radhar lahir pada Maret 1965 dan cerpen tersebut terbit pada September 1979. Itu berarti, tulisan Radhar terbit saat ia berusia 14 tahun, bukan di usia 10 tahun seperti tertulis dalam biografi singkat kumpulan cerpen terbaik Kompas 2004, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari”.
Saya belum mengonfirmasi apakah profil singkat itu ditulis mendiang Radhar atau penyusun buku yang menuliskan. Namun, keterangan dalam buku itu ternyata berefek domino, yakni dikutip ulang oleh orang lain bertahun-tahun kemudian. Salah satu contohnya oleh Akmal Nasry Basral, teman kuliah almarhum Radhar yang meyakini Radhar adalah cerpenis termuda yang karyanya terbit di Kompas saat berusia 10 tahun, bukan 14 tahun seperti yang saya temukan di arsip.
Mungkin Akmal juga berpikir sama seperti saya saat kuliah, yakni membayangkan tulisan Radhar terbit di rubrik cerpen orang dewasa. Jadi, ia berani mengklaim bahwa Radhar adalah “cerpenis termuda” yang diterbitkan Kompas saat itu. Setelah saya cek di arsip, ternyata tulisan Radhar terbit di rubrik Ruang Anak-Anak di halaman 8. Di halaman itu, terbit karya anak-anak lain yang dikirim ke redaksi berupa cerpen, puisi, sketsa, dan lukisan.
Baca juga: Membaca Diri Sendiri yang Banal
Adapun pada tahun 1979 karya sastra (berupa puisi atau cerpen) yang ditulis oleh orang dewasa terbit di halaman 4, biasanya bersanding dengan berita atau liputan khusus, dan terpisah dengan rubrik Ruang Anak-Anak. Dengan melihat konteks itu, saya memverifikasi prasangka saya di masa silam. Tulisan Radhar terbit di rubrik anak pada usia 14 tahun, bukan di rubrik cerpen penulis dewasa.
Saya juga menemukan beberapa tulisan mengenai Radhar yang ambigu. Misalnya, pada 2014 Kompas menerbitkan “Radhar Panca Dahana, Mewakafkan Hidup untuk Kebudayaan” yang ditulis Kenedi Nurhan. Dalam tulisan tersebut, kesalahan penulisan judul cerpen anak karya Radhar dan usia Radhar masih terjadi. Deskripsi tentang cerpennya juga ambigu. Simak penggalan paragraf berikut:
Pada usia 10 tahun ia sudah menulis cerpen (”Tamu Tak Diundang”), yang materinya ia ambil dari peristiwa di lingkungan terdekat: teror yang tiap hari dialami ibunya dari penagih utang.
Bisa jadi cerpen Radhar berjudul “Tamu Tak Dikenal”—bukan “Tamu Tak Diundang”—itu terinspirasi dari teror yang tiap hari dialami ibunya dari penagih utang. Setelah membaca cerpen “Tamu Tak Dikenal” dalam arsip Kompas, memang ada adegan semacam penagihan utang. Akan tetapi, itu hanya latihan drama antara dua tokoh yang sedang memerankan penagih utang dan orang yang berutang, bukan sebagai kejadian nyata dalam cerpen antara orang yang sedang menagih utang dan yang berutang.
Cerpennya sederhana, yakni pada suatu malam, tokoh aku, yakni Reza, yang masih anak-anak berada di rumah dengan kakak perempuannya. Orangtua mereka sedang tak ada di rumah. Beberapa saat kemudian, ada orang yang mengetuk pintu lantas sang kakak menemui tamu tersebut, sementara adiknya di dalam kamar.
Beberapa saat kemudian, sang adik yang berada di dalam rumah mendengar percakapan antara kakaknya dengan tamu tersebut yang bikin dia ngeri. Ia mendengar kakaknya dalam ancaman penagih utang. Sang adik kemudian mencoba menyelamatkan sang kakak dengan membawa pisau ke tempat mereka latihan di halaman rumah, berniat menolong kakaknya yang berada dalam kondisi terancam. Di akhir cerita, si adik malu lantaran salah sangka. Ternyata sang kakak sedang berlatih drama dengan seorang kawan untuk 17 Agustus.
Baca juga: Mengenang Kehebohan Nonton Konser Coldplay
Verifikasi
Pengalaman menelusuri dan mengulik arsip itu buat saya, seorang wartawan muda, sangat mengasyikkan. Dengan menelusuri karya mendiang Radhar Panca Dahana dalam arsip Kompas, setidaknya saya memverifikasi ulang teks-teks yang saya baca dengan membaca naskah aslinya. Dari naskah asli, saya ternyata bisa terhindar dari tafsir, kekhilafan penulisan, dan salah ingat sumber sekunder.
Sebagai wartawan, kerap kali saya juga dihadapkan pada sumber-sumber tertulis. Pengalaman mengulik arsip ini menjadi semacam latihan agar saya tak mudah percaya omongan atau tulisan orang lain. Saya mesti mengecek ulang dari sumber-sumber yang ia sebutkan.
Dari pengalaman mengulik Radhar Panca Dahana dalam arsip, saya menyaksikan kesalahan kecil dalam menulis atau mengutip data bisa menjadi kesalahan lanjutan bagi orang lain yang mengutipnya.
Pengalaman mengulik arsip ini menjadi semacam latihan agar saya tak mudah percaya omongan atau tulisan orang lain. Saya mesti mengecek ulang dari sumber-sumber yang ia sebutkan.
Ada adagium yang menyatakan bahwa kerja wartawan mirip seperti sejarawan. Wartawan menulis sejarah harian dari peristiwa-peristiwa kecil hingga penting setiap hari. Apa yang wartawan tulis akan menjadi sejarah dan bisa saja suatu saat menjadi rujukan untuk penelitian, pengajaran, atau liputan lain. Kesalahan menulis data dan narasi bakal melahirkan kesalahan dan ketidakakuratan lain.
Saya jadi teringat salah satu narasumber saya, Muhammad Sarip, penulis sejarah lokal di Samarinda. Ia bilang, tak semua teks bisa menjadi sumber naskah sejarah.
Jika sebuah teks merujuk sesuatu, sejarawan perlu juga memverifikasi ke naskah sumbernya sebagai upaya untuk menulis yang akurat. Mungkin, dalam dunia jurnalisme, ini adalah bagian yang disebut skeptis dalam konteks keragu-raguan supaya tak mudah percaya atas klaim, teks, dan pernyataan narasumber.