Warung Kopi Rahim Inspirasi
Keberadaan parit di Pontianak tidak sesederhana yang terlihat. Pemerintah Hindia Belanda membuat parit sebelum membangun rumah dan kantor. Parit menjaga Pontianak tidak tenggelam. Kisah itu saya peroleh di warung kopi.
Jauh sebelum munculnya kafe-kafe kekinian, warung kopi telah lama menjadi sarana pergaulan yang egaliter. Pencarian akan secangkir kopi yang berbuah pertemuan antar-pengunjung menghasilkan ragam perbincangan. Mulai dari yang remeh-temeh hingga yang serius, tentang kehidupan sehari-hari sampai yang berbau politik.
Budaya warung kopi dikenal di banyak daerah, termasuk di Pontianak, Kalimantan Barat, yang kemunculannya tak lepas dari keberadaan Sungai Kapuas sebagai jalur transportasi sejak tempo dulu.
Dari pesisir Kapuas, budaya ini menyebar ke seantero kota hingga akhirnya menjadi ruang sua publik yang digandrungi. Bagi saya pribadi, warung kopi juga telah berjasa menjadi sarana lahirnya berbagai ide liputan.
Dari pesisir Kapuas, budaya ini menyebar ke seantero kota hingga akhirnya menjadi ruang sua publik yang digandrungi.
Salah satunya, liputan tentang parit. Pada suatu pagi di tahun 2019, saya bertemu dengan Deman Huri di sebuah warung kopi di Jalan Tanjungpura, Kota Pontianak.
Perjumpaan dengan aktivis dari lembaga Urban Forest itu dipicu oleh rasa penasaran saya terhadap keberadaan parit-parit di Pontianak. Saya kerap menyaksikan masyarakat Pontianak menggelar aktivitas di parit untuk merayakan momen spesial. Misalnya, lomba panjat pinang di parit saat perayaan 17 Agustus dan festival sungai/parit. Ada pula komunitas yang peduli dengan parit.
Ada apa dengan parit di Pontianak ini sehingga memunculkan berbagai inisiatif seperti itu? Apakah kebetulan semata karena ada di lingkungan sekitar atau ada unsur sejarah yang menarik? Berbagai tanya memenuhi benak saya kala itu.
Untuk menjawab rasa penasaran itu, saya berusaha mencari teman diskusi. Seorang rekan lantas merekomendasikan nama Deman Huri. Saya pun segera menghubungi Deman, sapaannya.
”Saya sedang di warung kopi. Ayo berjumpa di sini, kita ngobrol,” ujar Deman.
Kopi hitam dan pisang goreng menemani obrolan ringan yang membuka percakapan kami. Saya lalu mengungkapkan kekepoan saya terhadap keberadaan parit di Pontianak. Pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata Deman dan beberapa rekannya pernah melakukan ekspedisi parit.
Akhirnya saya jadi tahu bahwa keberadaan parit atau paret, dalam bahasa Pontianak, tidak sesederhana seperti yang terlihat karena bukan sekadar selokan. Pada masa kolonial dan bahkan jauh sebelumnya, parit menjadi urat nadi perekonomian masyarakat untuk mengangkut hasil bumi dan menjaga keseimbangan ekologis.
Parit-parit di Pontianak yang lebarnya berkisar 6-20 meter juga dibangun untuk menjaga stabilitas dan sirkulasi air serta saling terhubung satu dengan lainnya. Jika tidak ada parit, Kota Pontianak yang dibelah oleh Sungai Kapuas, Landak, dan Punggur bisa terancam tenggelam.
”Ketinggian Pontianak hanya sekitar 0,5 meter di atas permukaan laut. Parit-parit ini menyelamatkan kota,” kata Deman sembari menyeruput kopi hitamnya.
Baca juga : Tikar untuk Para Nona
Ada banyak lagi data soal parit yang saya peroleh dari Deman. Dari situ, terbetik ide untuk menulis tentang parit secara mendalam. Bahan-bahannya kemudian saya kombinasikan dengan literatur sejarah Pontianak yang menyelipkan kisah soal parit.
Setelah itu, saya masih bertemu dengan beberapa kenalan baru sebagai teman diskusi soal parit, juga di warung kopi. Salah satunya, Ahmad Sofian, pegiat literasi Pontianak, khususnya soal ruang publik dan sejarah. Sebetulnya, perjumpaan pertama saya dengan Sofi, panggilannya, bukan untuk membicarakan tentang parit, melainkan tentang warung kopi.
Saat itu, saya sedang mengumpulkan data dasar tentang warung kopi, sedangkan Sofi pernah menulis buku Mencari Ruang Publik di Warung Kopi dan Pontianak Heritage. Saya mendapat banyak pemahaman soal sejarah warung kopi dan dinamika seputarnya. Saat tertarik soal parit, saya jadi teringat dengan sosoknya. Jadilah kami janji bertemu dan sebuah warung kopi di Jalan Merapi, Pontianak, menjadi pilihan. Sesuai dugaan saya, Sofi punya banyak penjelasan tentang parit.
Menurut dia, saat masuk Pontianak, Pemerintah Hindia Belanda memilih lebih dulu membuat parit, baik yang berukuran besar, sedang, maupun kecil, sebelum membangun rumah dan kantor-kantor pemerintahan. Fungsinya sebagai ”benteng" pertahanan. Ini terjadi sekitar tahun 1815.
”Dengan adanya parit, musuh akan kesulitan menyerang,” kata Sofi.
Dari warung kopi, saya kemudian ”turun” ke parit untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang mengapa sekarang Pontianak kerap banjir saat dilanda hujan lebat selama beberapa jam.
Saat ke parit itulah saya berjumpa dengan komunitas yang peduli dengan keberadaan parit. Salah satunya, komunitas Kreasi Sungai Putat yang digagas Syamhudi.
Ia tinggal di daerah sungai atau parit Putat di Kecamatan Pontianak Utara. Syamhudi dan rekan-rekannya membuat gerakan menjaga parit dan menyelenggarakan Festival Parit. Bukan sekadar mencegah banjir, penyelamatan parit juga berarti menyelamatkan lahan gambut karena saling terkoneksi.
Pada tahun 2021, saya menuangkan bahan-bahan yang saya telah kumpulkan sedikit demi sedikit itu ke dalam rubrik Tutur Visual di Kompas.id yang kemudian diberi judul ”Seribu Parit di Pontianak”. Saya juga menulis tentang kiprah Syamhudi untuk rubrik Sosok yang terbit di harian Kompas.
Baca juga : Seribu Parit di Pontianak
Dinamika warung kopi
Selama sembilan tahun bertugas di Pontianak, dinamika warung kopi terus saya amati. Tak sekadar untuk ngobrol ngalor ngidul seperti citranya selama ini, warung kopi di Pontianak juga menjadi sarana untuk berbagai aktivitas literasi, seperti yang saya saksikan pada Desember 2022.
Di sebuah warung kopi, Komunitas Sastra Minggu Sore atau SMS menyelenggarakan kegiatannya. Seorang anggota membaca cerita pendek (cerpen), lalu yang lain memberi masukan. Penggagas kegiatan ini adalah E Widiantoro, cerpenis Kalbar.
Informasi mengenai kegiatan itu saya peroleh tidak sengaja, juga lewat obrolan di warung kopi. Setelah mengetahui jadwal kegiatan mereka, saya pun datang untuk melihatnya langsung.
Sang penggagas, Widiantoro, aktif menulis cerpen yang dimuat di berbagai media di Pontianak. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan bahasa daerah yang dimaksudkan sebagai upaya melestarikan bahasa ibu. Selama 30 tahun ia telah menghasilkan ratusan cerpen. Dari sini ia kemudian membangun kegiatan diskusi sastra.
Dari pertemuan di warung kopi, saya lanjutkan dengan kunjungan ke rumah Widiantoro di Kabupaten Kubu Raya, sekitar 45 menit dari pusat Kota Pontianak. Saya juga menyusuri buku-buku yang memuat karya Widiantoro. Cerpen-cerpennya termuat dalam sejumlah buku.
Kembali, berkat ngobrol di warung kopi, saya menghasilkan tulisan untuk rubrik Sosok harian Kompas, yakni tentang kiprah E Widiantoro yang terbit pada Desember 2022. Ternyata E Widiantoro pun kerap menulis cerpen-cerpennya di warung kopi.
Baca juga : "Wisata Toilet" di Bumi Kalimantan
Rahasia rimba
Obrolan di warung kopi juga membuka ide untuk menelusuri rahasia rimba Kalimantan. Awalnya, saya berjumpa dengan orang-orang yang aktif mendampingi masyarakat adat di pedalaman Kalbar, termasuk dalam pengembangan tengkawang.
Akhirnya, pada tahun 2022, saya tertarik mendalami salah satu potensi hutan di Kalbar, yaitu tengkawang, pohon yang termasuk keluarga Dipterocarpaceae atau meranti-merantian. Informasi itu menjadi petunjuk awal untuk melakukan penelusuran di lapangan.
Berbekal data awal, saya melanjutkan menggali bahan ke komunitas adat. Saya pergi ke Hutan Adat Pikul di Dusun Melayang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sekitar 127 km dari Pontianak.
Di sana saya bertemu tokoh masyarakat adat bernama Damianus Nadu. Kami lalu pergi ke hutan adat untuk melihat rupa pohon dan buah tengkawang. Kisah perjuangan Nadu dalam mempertahankan hutan adat kemudian saya angkat untuk rubrik Sosok di harian Kompas.
Dari Nadu, saya beroleh informasi bahwa lemak tengkawang dipergunakan pula untuk pengobatan tradisional, tepatnya sebagai medium untuk berkomunikasi dengan Jubata (Tuhan).
Dari hutan adat, saya melanjutkan penelusuran ke kampus dengan menemui peneliti. Hasilnya, sejumlah referensi terkait olahan buah tengkawang, antara lain butter/lemak tengkawang. Hasil uji praklinis salah seorang peneliti menunjukkan bahwa tengkawang jenis Shorea stenoptera bisa digunakan sebagai antidislipidemia dan antioksidan.
Baca juga : Rahasia Kecantikan dari Rimba Kalimantan
Seorang peneliti lain menemukan adanya kandungan 20 senyawa bioaktif dalam minyak tengkawang atau sengkawang dari pohon jenis Shorea sumatrana. Senyawa tersebut bermanfaat dalam bidang pangan, farmasi, gizi, dan kosmetik.
Berdasarkan analisis terhadap 20 senyawa bioaktif tersebut, minyak sengkawang mengandung senyawa golongan asam lemak esensial yang bermanfaat, antara lain sebagai antioksidan, antikanker, antiinflamasi, dan antijamur.
Saya lalu menuliskan hasil liputan mengenai keistimewaan minyak tengkawang ke dalam rubrik Tutur Visual di Kompas.id. Demikianlah, sering terjadi, obrolan santai di warung kopi berbuah menjadi inspirasi dan ide tulisan. Mari ngopi....