Saya memilih menunggu. Beberapa saat kemudian, barulah saya mencoba masuk ke tengah kerumunan. Bukan untuk berebut tempat, melainkan untuk memotret. Tidak sampai dua menit, saya memilih keluar. Desak-desakannya gila.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Turun dari taksi daring, saya kaget melihat calon penumpang yang berjubel di koridor loket pembelian tiket di Pelabuhan Bolok, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/4/2023). Siang itu, ribuan orang bersiap naik kapal feri menuju Pelabuhan Larantuka di Kabupaten Flores Timur.
Calon penumpang sebagian besar datang berkelompok. Ada mahasiswa, komunitas lingkungan tempat tinggal, kelompok doa, kelompok arisan, hingga alumni sekolah. Mereka hendak mengikuti Semana Santa di Larantuka. Upacara Semana Santa adalah devosi suku-suku di bawah Kerajaan Larantuka, sebuah kerajaan bercorak Katolik yang pernah ada di Nusantara.
Setiap kali menyongsong Paskah, mereka akan menggelar upacara Semana Santa atau Pekan Suci, sebutan lainnya. Tradisi Semana Santa merupakan warisan Portugis yang berusia lebih dari lima abad.
Masih senapas dengan ajaran Katolik, Semana Santa mengenang perjalanan Yesus mulai dari divonis hukuman mati dalam pengadilan yang penuh dusta, disiksa sampai wafat di kayu salib, hingga bangkit dari kubur pada hari ketiga setelah wafat.
Bentuk upacara Semana Santa berupa doa, penciuman salib Yesus yang merupakan simbolis ungkapan iman, dan perarakan patung Yesus tersalib di laut pada siang hari. Dilanjutkan pada malam harinya, perarakan patung Yesus tersalib dan patung Bunda Maria, mengelilingi pusat Kota Larantuka. Rangkaian upacara berlangsung selama sepekan.
Di pelabuhan, melihat calon penumpang yang berjubel, para petugas angkat tangan. Sebagian hanya memantau dari kejauhan sambil geleng-geleng kepala. ”Beberapa tahun Semana Santa tidak dibuka, jadi maklum kalau kali ini jumlah peziarah membeludak,” ujar salah satu petugas di loket penjualan tiket.
Ya, selama tiga tahun berturut-turut mulai dari 2020, 2021, hingga 2022, upacara Semana Santa tidak dibuka untuk umum karena terjadi pandemi Covid-19. Penyelenggaraannya dibuat terbatas dan hanya melibatkan keluarga inti dalam suku. Saat ini, ketika pandemi sudah reda, antusiasme warga pun tak terbendung.
Akhirnya, antrean mulai berkurang. Kami pun masuk koridor. Pada antrean tahap pertama, kami membeli kartu dan melakukan deposit. Dari situ lantas masuk ke antrean berikutnya untuk menukarkan kuitansi pembayaran dengan boarding pass. Waktu yang dihabiskan lebih dari satu jam. Tiket pun di tangan.
Tinggal menunggu giliran naik kapal. Meskipun KM Lakaan yang dijadwalkan mengangkut penumpang belum sandar, calon penumpang sudah merangsek masuk dermaga. Petugas pun kewalahan mengatasinya. Akibatnya, ketika kapal sandar dan pintu dibuka, tak terbendung lagi, mereka pun langsung lari masuk kapal dan berebut tempat.
Saya memilih tidak ikutan. Baru beberapa saat kemudian saya mencoba masuk ke tengah desak-desakan itu. Bukan untuk berebut tempat, melainkan untuk memotret. Tidak sampai 2 menit, saya memilih keluar dari kerumunan. Desak-desakannya gila.
Waktu berlalu, kapal segera lepas tali, tetapi saya belum juga dapat tempat. Namun, sebenarnya saya tidak sendiri karena ratusan orang lainnya bernasib sama. Saya coba datangi beberapa awak kapal untuk meminta sewa kamar, tapi mereka bilang semua sudah terisi. Saya pun menyerah.
Tak lama, muncul ide membeli tikar. Siapa tahu nanti bisa menemukan ruang kosong untuk gelar tikar dan tidur. Saya mengincar dek atas. Lagi-lagi saya terlambat. Semua ruang sudah penuh kecuali ruang yang terbuka. Akhirnya saya memilih membentangkan tikar di situ dengan risiko terkena embun dan hujan.
Saat meletakkan tas di atas tikar, pandangan saya terantuk pada beberapa penumpang perempuan di dekat saya yang tidak kebagian tempat dan tidak punya tikar. Saya pun mempersilakan para nona itu untuk duduk di atas tikar saya. Kapal berlayar, mereka seperti kelelahan dan akhirnya tertidur. Kini tak ada lagi ruang bagi saya.
Untunglah, kemudian saya temukan sebuah kursi kosong tak jauh dari situ. Saya pun duduk sambil coba memejamkan mata. Baru lima menit terlelap, saya hilang keseimbangan karena sandaran di belakang hanya sampai pinggang.
Salah seorang dari nona-nona tadi menghampiri dan mempersilakan saya tidur di tikar. Saya menolak sambil meyakinkan bahwa saya bisa tidur sambil duduk.
Saya juga sengaja mengeluarkan buku saku dari tas dan menulis artikel di telepon genggam sambil menyeruput kopi yang tidak hangat lagi. Saya menulis sampai pagi.
Sempat beberapa kali mencoba tidur sambil duduk, tetapi hanya bertahan dua sampai tiga menit saja. Hujan, angin, dan gelombang membuat suasana kian riuh. Saya tidak bisa tidur sampai akhirnya kapal sandar pada Rabu (5/4/2023) pagi.
Pelayaran ditempuh selama 13 jam. Ditambah waktu antre tiket dan waktu tunggu kapal, total hampir 20 jam. Ini pengalaman naik kapal dengan penumpang melebihi kapasitas yang pernah saya alami. Juga pengalaman pelayaran yang menguras energi.
Kendati demikian, saya menikmatinya karena ini hobi saya, jalan-jalan naik kapal. Jika memilih lokasi liputan, saya cenderung memilih pesisir dan pulau-pulau kecil. Di mana ada laut, di situ hati saya nyaman.
Di Larantuka, saya memulai liputan dengan intensitas tinggi. Selain Semana Santa, saya juga meliput isu lain. Dalam sehari, saya bisa melintas ke tiga pulau, yakni Flores, Adonara, dan Solor. Selama lebih dari 10 tahun di Kompas, liputan kali ini termasuk yang paling padat yang pernah saya alami.
Semua agenda yang saya rencanakan tergarap habis disertai beberapa tambahan. Dengan waktu efektif lima hari, saya membuat banyak liputan. Hasilnya, 11 tulisan panjang yang terdiri dari 6 feature dan 5 sosok. Ini di luar tulisan berita (news)harian dan galeri foto serta video.
Beberapa drama selama liputan, termasuk tidur sambil duduk, ikut memberi warna perjalanan jurnalistik kali ini. Tak apa, yang penting saya puas.