Mereka bersyukur telah melewati sebuah perjalanan spiritual. Rindu mereka kepada Semana Santa pun telah terbayar.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Senin (3/4/2023) siang, mobil yang ditumpangi Ricardo Ximenes (44) menuju pintu keluar Dili, ibu kota Republik Demokratik Timor Leste. Ia bersama keluarga memulai sebuah perjalanan panjang yang bakal melelahkan raga. Menyusuri daratan, lalu berlayar ke tanah impian untuk sebuah petualangan spiritual yang diyakini dapat menyegarkan jiwa.
Ricardo bersama keluarga akan pergi ke Larantuka di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Di ”Kota Reihna” itu, mereka akan mengikuti upacara Semana Santa, sebuah ritus budaya bernuansa Katolik yang sudah bergulir sejak abad ke-16. Semana Santa berlangsung selama satu pekan, mulai Minggu (2/4) sampai Minggu (9/4).
Lepas dari Kota Dili, mobil menyisir sisi barat Pulau Timor ke arah selatan menuju Pos Lintas Batas Negara Motaain, garis pemisah antara Indonesia dan Timor Leste. Jarak sejauh 114 kilometer itu ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam. Tiba di Motaain, mereka menjalani pemeriksaan dokumen dari petugas imigrasi kedua negara.
Setelah istirahat satu jam, rombongan berjumlah lima orang itu melanjutkan perjalanan menuju Kota Kupang yang terpaut jarak lebih kurang 300 kilometer. Jalanan relatif mulus dengan sedikit berliku-liku di beberapa ruas. Mobil terus melaju melewati gelapnya malam tanah Timor.
Mereka baru tiba di Kota Kupang setelah lewat tengah malam. ”Masuk kota, kami sudah agak lupa dengan Kota Kupang. Beruntung ada bantuan Googlemap. Kupang sekarang sudah sangat ramai sekali. Terakhir kali ke Kupang itu tahun 1997,” ucapnya.
Perjalanan
Selasa siang, Ricardo bersama keluarga menuju Pelabuhan Bolok di Kabupaten Kupang. Di sana sudah menanti Kapal Motor Penyeberangan Lakaan yang akan membawa mereka menuju Larantuka. Bukan satu atau dua jam pelayaran. Perjalanan ke Larantuka memakan waktu lebih kurang 20 jam.
Saat kapal sandar di Larantuka, ia tersenyum haru. Keinginan untuk mengikuti Semana Santa kini sudah depan mata. ”Almarhum orangtua saya dulu ingin sekali datang ke sini, tetapi sayang itu tidak pernah terwujud. Giliran saya yang mewujudkannya,” kata Ricardo.
Bagi Ricardo dan banyak peziarah, Semana Santa adalah sebuah perjalanan spiritual untuk merenungkan sengsara Yesus Kristus demi menebus dosa seluruh umat manusia. Semana Santa mereka jadikan sebagai momentum untuk merefleksi diri seraya mendaraskan harapan kepada sang pemilik kehidupan.
Tradisi Semana Santa digelar ketika umat Katolik sedunia merayakan Pekan Suci, momentum menyongsong Paskah yang diperingati sebagai kebangkitan Yesus Kristus.
Dalam Pekan Suci ini, sejumlah suku di dalam Kerajaan Larantuka melaksanakan upacara yang juga senapas dengan ajaran Gereja Katolik. Mereka mengenang penderitaan, wafat, dan kebangkitan Yesus.
Alasan itu pula yang membuat Geovani (34) bersama dua rekannya datang dari Kota Malang, Jawa Timur. Mereka menumpang pesawat dari Surabaya kemudian lanjut dengan feri ke Larantuka. Selain perjalanan spiritual, mereka melakoni ini sebagai wisata.
Tiba di Kupang, mereka menumpang KM Lakaan dengan waktu pelayaran yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. ”Baru pertama kali naik kapal dan lama banget. Tapi, tidak apa-apa, biar punya pengalaman perjalanan yang lengkap. Naik mobil, naik pesawat, dan naik kapal,” ucapnya.
Geovani menuturkan, kesempatan mengikuti Semana Santa sudah ia rencanakan sejak tiga tahun sebelumnya. Sayangnya, rencana itu buyar setelah datang pandemi Covid-19. Selama tiga tahun, yakni 2020, 2021, dan 2022, Semana Santa ditiadakan.
Mengutip dari buku berjudul Panduan Prosesi Jumat Agung Larantuka, dikatakan bahwa ritual peninggalan Portugis itu rutin digelar sejak abad ke-16. Sekitar tahun 1550, misionaris Katolik dari ordo Dominikan memulai karya penyebaran agama di daerah itu. Pada 1562, dipermandikan sekitar 200 orang di Larantuka.
Selalu ada terang bagi mereka yang percaya.
Penyelenggara Semana Santa adalah suku-suku di dalam Kerajaan Larantuka, sebuah kerajaan bercorak Katolik yang pernah ada di Nusantara. Ini berarti Semana Santa merupakan ritus kebudayaan yang senapas dengan ajaran Gereja Katolik.
Ritual budaya itu kian terasa pada Rabu Terewa atau Rabu Berkabung kemudian Kamis Putih yang memperingati perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridnya. Selanjutnya pada keesokan hari, Jumat Agung.
Prosesi laut
Ketika Jumat Agung atau warga setempat menyebutnya Jumat Besar, pada pagi hari dilakukan upacara Jalan Salib. Selanjutnya pada siang harinya dilakukan prosesi laut. Dalam prosesi itu, patung Bayi Yesus dibawa dari Gereja Tuan Ana menuju Gereja Tuan Ma.
Patung yang disebut Tuan Meninu itu berada di dalam perahu dayung, berjalan di depan kemudian diarak ribuan perahu motor dan kapal. Prosesi laut melewati Selat Gonsalus yang berarus deras sepanjang waktu.
Pada Jumat malam, dilakukan prosesi dengan berjalan kaki mengelilingi pusat Kota Larantuka. Mereka mengarak patung Yesus dan Bunda Maria. Belasan ribu orang, baik tamu dari luar maupun masyarakat Flores Timur, ikut dalam prosesi. Keheningan tercipta selama prosesi berlangsung. Yang terdengar hanya utaian doa dan suara ratapan di setiap titik perhentian.
Romo Dekenat Larantuka RD Hendrik Leni mengatakan, Semana Santa merefleksikan penderitaan Yesus hingga bangkit. Tradisi lokal itu sejalan dengan ajaran Katolik. Masyarakat setempat, pihak gereja, dan pemerintah sama-sama menyukseskan tradisi tersebut.
Ia berharap para peziarah dapat mengikuti Semana Santa dengan sungguh-sungguh. Lewat penghayatan yang tinggi, peziarah akan menemukan makna dari perjalanan spiritual mereka. ”Selalu ada terang bagi mereka yang percaya,” ucapanya.
Penjabat Bupati Flores Timur Doris A Rihi mengatakan, jumlah peserta Semana Santa yang mendaftarkan diri lebih dari 7.000 orang. Mereka semua dari luar Larantuka. Banyak peziarah dari luar negeri dan dari berbagai daerah di Indonesia. Banyak pula yang bukan umat Katolik.
Ia berharap para peziarah dapat menikmati Semana Santa dan sisi lain Larantuka yang kini terus berbena. ”Bawa pulang cerita yang baik, kalau ada kesan yang tidak berkenan, tolong tinggalkan di sini,” ucapnya.
Ricardo, Geovani, dan ribuan peziarah lain telah memberi kesan baik selama berada di Larantuka. Tentu juga dengan berbagai masukan demi kebaikan kota itu. Di atas itu, mereka bersyukur telah melewati sebuah perjalanan spiritual. Rindu mereka kepada Semana Santa pun telah terbayar.