Priyanka, Puasa, dan Makanan Sahur Setengah Juta
Tenaga terkuras lantaran harus keluar masuk gang-gang sempit yang pengap dan berputar-putar bak labirin. Terus terang, saya nyaris menyerah. Ingin sekali rasanya meneguk sebotol air mineral yang saya bawa dari hotel.
Wartawan harian Kompas, Wisnu Dewabrata dan Dwi Bayu Radius, berbagi pengalaman menjalani puasa Ramadhan saat liputan ke luar negeri. Bagaimana suka dan duka keduanya selama berpuasa di negeri orang yang mayoritas penduduknya bukan warga Muslim?
Wisnu membagikan pengalamannya saat ke Mumbai, India, dilanjutkan dengan Bayu yang bertandang ke Seoul, Korea Selatan.
Pengalaman di Mumbai
Walau terbilang baru dua kali bepergian ke ”Negeri Hindustan”, India, untuk kepentingan meliput, rasanya selalu ada pengalaman menarik di sana.
Pada kedatangan kedua ini, saya mewakili Kompas menghadiri undangan peluncuran serial terbaru Citadel (2023) di kota Mumbai, India, 2-6 April 2023.
Di kota terbesar sekaligus terpadat populasinya di India itu, serangkaian acara promosi dan peluncuran serial tadi digelar, mulai dari jumpa pers, promosi luar ruang, hingga penayangan terbatas premier serial tersebut.
Kedua bintang utama, Priyanka Chopra Jonas dan Richard Madden, bahkan ikut terbang dan hadir langsung ke Mumbai. Serial Citadel (2023) bergenre laga spionase yang penuh ketegangan, aksi tembak, balap mobil, dan ledakan. Serial itu bakal tayang di pelatform tontonan streaming berbayar (OTT), Amazon Prime Video, pada akhir April 2023.
Tak hanya Priyanka dan Richard, puluhan bintang film dan filmmaker Bollywood juga berbondong-bondong ikut hadir di momen blue carpet pemutaran dua episode awal serial tadi di bioskop, Selasa (4/4/2023) malam.
Kehadiran Priyanka, yang aslinya kelahiran dan keturunan India, sangat dielu-elukan dan memicu antusiasme besar, terutama di kalangan penggemarnya. Priyanka memulai karier filmnya di Bollywood sebelum ”hijrah” ke Hollywood sekitar tujuh tahun lalu. Mantan Miss World tahun 2000 itu populer di India dan bahkan pernah beradu akting bersama bintang besar Bollywood, Shah Rukh Khan.
Malam itu, Priyanka tampil memikat dengan busananya. Namun, bukan itu yang terasa menantang buat saya, melainkan karena acara ini berlangsung saat bulan Ramadhan.
Awalnya saya berpikir untuk memanfaatkan privilege sebagai musafir untuk absen berpuasa dan menggantinya di hari lain setelah Ramadhan. Namun, entah kenapa, kali ini saya memilih tetap berpuasa. Mungkin karena sejak awal saya memperkirakan proses peliputan relatif tak akan terlalu sulit lantaran kebanyakan acara digelar di dalam gedung.
Rangkaian acara sepenuhnya digelar di Hotel St Regis Mumbai dan bioskop PVR, Mal Phoenix Palladium. Kedua lokasi bersebelahan dan terkoneksi. Dari hotel tempat menginap, hanya perlu berjalan kaki sedikit menuju lokasi pemutaran film dan blue carpet.
Satu-satunya tantangan hanyalah penyesuaian selisih waktu. Mumbai 1,5 jam lebih lambat dari Jakarta. Selebihnya tinggal memastikan waktu sahur dan berbuka.
Baca juga: Sulitnya "Doorstop" Pejabat di China
Saya menanyakan itu kepada beberapa orang yang saya temui, tetapi tidak ada jawaban memuaskan yang membuat saya akhirnya googling alias mencari jawaban di Google.
Tak lama, saya merasa konyol sendiri setelah tersadar bahwa mayoritas warga setempat bukanlah Muslim. Mungkin karena terbiasa hidup di Indonesia. Pantas saja tak ada yang paham saat saya bertanya tentang jadwal imsak dan berbuka.
Hasil sensus tahun 2011, populasi warga Muslim di India hanya 14,2 persen atau setara 172 juta jiwa. Angka itu naik menjadi 200 juta satu dekade kemudian tetapi statusnya tetap minoritas.
Tidak heran jika suasana Ramadhan pun tak terasa. Beruntung untuk makanan sahur, panitia pengundang telah mengatur kalau saya bisa memesan makanan layanan kamar.
Pesanan makanan sahur ini sekaligus menjadi pengganti jatah sarapan karena restoran hotel baru buka pukul 06.30-10.00. Padahal, subuh waktu setempat sekitar pukul 04.50 yang didahului imsak yang menjadi pembatas waktu makan sahur.
Baca juga: Jatuh Bangun di Sirkuit Mandalika
Tantangan baru terasa
Hari pertama puasa berlangsung mulus. Tantangan berpuasa baru terasa pada hari kedua ketika saya memutuskan mengisi waktu kosong jelang jadwal acara utama pada pukul 19.00. Para wartawan undangan hanya diminta standby di lokasi acara dua jam sebelumnya.
Saya berinisiatif mencari bahan liputan lain di luar kegiatan dari pihak pengundang. Bersama seorang rekan pegiat media sosial asal Indonesia dan seorang jurnalis Filipina, kami mendaftar tur mandiri ke perkampungan kumuh, Dharavi, di kota Mumbai.
Kami harus naik kereta api sejenis commuter line untuk menuju lokasi. Dharavi berjarak 10 stasiun perhentian dari stasiun KA besar kota Mumbai. Setelah turun kereta, kami masih harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer menuju lokasi.
Luas kawasan Dharavi mencapai 2,4 kilometer persegi dan dihuni lebih dari 1 juta orang. Kawasan kumuh terpadat di Asia itu mulai dikenal dunia lewat film Slumdog Millionaire (2008), yang kemudian memenangkan delapan kategori Academy Awards.
Kawasan itu terbagi menjadi beberapa kluster lokasi industri daur ulang rumahan dan produksi barang-barang bekas limbah. Bersama pemandu wisata dari Reality Tours and Travel, kami bersama tiga wisatawan bule asal Belanda, Jerman, dan Italia berjalan kaki mendatangi satu per satu lokasi.
Perjalanannya sungguh menguras tenaga dan cairan tubuh lantaran cuaca yang sangat panas dan lembab. Tenaga terkuras lantaran kami harus keluar masuk gang-gang sempit yang tertutup, pengap, dan berputar-putar bak labirin.
Baca juga: Kisah Mistis dari Hutan Bakau Pesisir Sumatera
Terus terang, saya nyaris menyerah. Ingin sekali rasanya meneguk sebotol air mineral yang saya bawa dari hotel untuk jaga-jaga kondisi darurat.
Setelah seharian berkeliling dan basah kuyup oleh keringat, wisata daerah kumuh pun tuntas. Kami bertiga langsung kembali ke hotel dan tiba sekitar pukul 15.00. Saya langsung mandi dan bersih-bersih lalu bersiap menuju acara blue carpet serta pemutaran film premier pada malam harinya.
Sore semakin merembang. Lagi-lagi saya kesulitan mencari info jadwal berbuka puasa. Beruntung seorang panitia yang kebetulan Muslim menyempatkan untuk memberi tahu waktu maghrib. Oleh seorang panitia lain, saya lalu diajak masuk lebih dulu ke lokasi acara karena di tempat itu tersaji makanan kecil dan minuman ringan.
Sajian itu sebenarnya untuk para tamu undangan, yang kebanyakan para artis lokal. Mereka pun menikmati camilan sambil bersosialisasi, sementara saya makan untuk berbuka puasa. Lumayanlah walaupun porsinya kurang nendang setelah seharian lapar dan haus di Dharavi.
Selesai acara, mengingat perut ini belum sempat ”tersentuh” makanan berat, saya memilih keluyuransendiri ke dalam mal untuk mencari tempat makan. Beruntung ada satu outlet waralaba ayam goreng asal Amerika Serikat, yang juga populer di Tanah Air.
Masalahnya, menu yang dijual sudah disesuaikan dengan lidah dan perut setempat yang gemar makanan pedas berempah. Bahkan, nasi yang disajikan pun diolah menjadi nasi biryani yang tak kalah pedas dan berbumbu.
Karena lapar, saya tak mau terlalu ambil pusing. Saya bahkan memesan lagi untuk dibawa ke hotel buat makan sahur. Walhasil, saat sahur, perut kembali diisi makanan pedas berbumbu citarasa khas India. Untungnya, perut ini tidak protes kebanyakan pedas.
Hingga acara tuntas dan kembali ke Tanah Air via Singapura, puasa saya berjalan lancar walaupun mungkin tak terlalu sempurna. Setidaknya, saya bisa mempertahankan aktivitas berpuasa saya selama menjadi musafir. Alhamdulillah.
Pengalaman di Seoul
Seperti di Mumbai, tak terlihat pernak-pernik Ramadhan di Seoul. Suhu saat itu masih dingin, bisa anjlok sampai 3 derajat celsius.
”Kalau lihat kalender, liputan hari terakhir (di Seoul) sudah masuk waktu puasa (Ramadhan). Moga-moga, mundur sehari kalau hasil sidang isbat sudah keluar,” ucap saya seraya tersenyum kepada rombongan asal Indonesia.
Rombongan terdiri dari tiga wartawan asal Indonesia, termasuk saya, didampingi seorang staf perusahaan layanan tontonan streaming Netflix sebagai pengundang. Kedatangan kami ke Seoul, Korea Selatan, untuk meliput acara APAC Film Showcase dan konferensi pers film Kill Boksoon selama empat hari hingga 23 Maret 2023.
Menjelang hari terakhir di Seoul, saya harap-harap cemas menantikan hasil sidang isbat penentuan awal waktu puasa Ramadhan oleh Pemerintah RI. Ternyata, hari pertama puasa di Tanah Air tak bergeser dari perkiraan semula.
Jadilah saya meniatkan sahur setelah seharian itu bertugas, dilanjutkan jalan-jalan pada malam harinya. Persoalannya, selepas memburu beberapa narasumber, rombongan wira-wiri menumpang KRL dan berjalan kaki hingga berkilo-kilometer.
Entah sudah berapa jauh saya menyusuri pertokoan, pasar malam, sampai gang perumahan. Demikian pula hari-hari sebelumnya. Lemas rasanya. Nyaris tengah malam saat saya tiba di hotel. Begitu terjaga pada dini hari, pandangan saya terantuk pada selebaran menu sahur yang diselipkan di bawah pintu kamar.
Alamak! Mahal-mahal betul harga makanannya. Hidangan ala Barat yang tergolong komplet, kalau dikonversi dari won bisa mencapai Rp 600.000 per porsi. Ada juga sayur-mayur, mungkin sekitar Rp 150.000 per piring, tetapi jelas enggak bakal nendang.
Bisa dimaklumi karena hotel tempat kami bermalam yang disediakan Netflix adalah bintang lima. Staf Netflix yang menemani sebenarnya sudah mewanti-wanti agar kami tidak sungkan jika ingin memesan makanan. Saya menolak tawaran itu sambil tetap mengucapkan terima kasih.
Lebih-lebih, rasanya enggak rela juga kalau harus makan sahur seharga lebih dari setengah juta rupiah. Sempat terpikir untuk mencari warung yang buka 24 jam, tetapi setelah dicek dengan internet, lokasi terdekat jaraknya sekitar 1,5 kilometer.
Saya putuskan buat molor lagi saja lantaran kaki rasanya juga nyaris mau copot. Bablas sudah sahur pada hari pertama.
Untung hari itu adalah jadwal kepulangan saya ke Jakarta sehingga tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan menu sahur selanjutnya. Waktu berbuka puasa saya jalani di udara. Setelah pramugari memberi tahu telah masuk waktu berbuka, akhirnya saya bisa bersantap lagi.